-- Kurniawan Junaedhie
PENGADILAN Puisi yang digelar di oleh komunitas Tangerang Serumpun awal Maret lalu bukan hal baru. Ini hanya mengingatkan pada serangkaian peristiwa budaya sejenis yang sudah banyak digelar tanah air. Sebutlah Pengadilan Puisi Yayat Hendayana pada tahun 2005 dan Pengadilan Puisi yang diselenggarakan di Taman Budaya Jawa Timur pada tahun 2002. Sesuai namanya, semua acara ini, meski menyajikan materi yang serius, lebih sering mengundang tawa.
Sebutan 'pengadilan' sendiri, sudah terasa lucu. Apalagi kalau kita menilik bahwa dalam pengadilan puisi, juga digunakan berbagai simbol dan terminologi pengadilan seperti hakim, jaksa, pembela, saksi a de charge dan saksi de charge juga panitera.
Dalam acara Pengadilan Puisi di Bandung itu, misalnya, Tim Jaksa yang terdiri dari para penyair seperti H Usep Romli, Cecep Burdiansyah menuding Yayat tidak pantas disebut sebagai penyair.
Sebab, karya yang dihasilkannya baru tiga buku. Selain itu, puisinya dinilai tidak memberikan makna baru. Sementara penyair Saini KM dan Hawe Setiawan sebagai pembela berargumen, si terdakwa tidak bersalah. Tak kalah serunya argumentasi para saksi yang memberatkan dan meringankan si terdakwa. Argumen-argumen itu pada dasarnya pengetahuan luas dan mendalam, teoritis dan praktis tentang fenomena puisi dalam manfaatnya terhadap kehidupan manusia. Dan tentu saja kita tahu, Yayat Hendayana tetap penyair.
Acara Pengadilan Puisi di Jawa Timur itu lebih humor lagiTTK2 terdakwanya, sastrawan Jawa yang pernah menerima hadiah Rancage, sedang jaksa penuntut, orang-orang yang tidak pernah mendapatkan hadiah itu. Jaksa menuntut agar penerima mengembalikan hadiah itu, dan meminta maaf pada masyarakat melalui media massa karena proses penilaiannya bernuansa kolusi dan nepotisme.
Inspirasi acara-acara itu tentu saja peristiwa yang kini dikenang sebagai Pengadilan Puisi Indonesia Mutakhir yang diselenggarakan Yayasan Arena di Aula Universitas Parahyangan Bandung pada 8 September 1974. Dalam acara itu bertindak sebagai Hakim Sanento Yuliman dan Darmanto Jatman sedang pembela Taufik Ismail. Adapun saksi-saksi memberatkan: Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi WM, Sides Sudyarto DS dan Pamusuk Eneste, sedang saksi meringankan Saini KM, Wing Kardjo, Adri Darmadji dan Yudhistira Ardinugraha.
Sukirnanto mengecam bahwa majalah sastra Horison, telah mengembang biakkan puisi lirik secara berlebihan sehingga tidak memberi tempat bagi munculnya kemungkinan-kemungkinan baru dalam pengucapan puisi Indonesia modern.
Puisi lirik yang dimaksud adalah puisi yang dikembangkan Goenawan dan Sapardi yang saat itu berkembang dengan amat subur di majalah sastra Horison dan media-media massa lainnya, seperti Basis dan Budaya Jaya. Majalah-majalah itu tidak menerima puisi-puisi karya karya Sutardji yang 'melawan' kata, dan puisi-puisi karya Darmanto yang banyak memasukkan kata-kata dalam bahasa Jawa.
Dengan demikian secara resmi yang diadili dalam acara itu ada 4 (empat) pihak, yaitu: 1. sistem penilaian terhadap puisi Indonesia mutakhir, 2. kritikus sastra HB Jassin dan MS Hutagalung, 3. penyair mapan Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono serta 4. Majalah Horison. Dalam siding pengadilan itu, Sukirnanto yang bertindak sebagai jaksa penuntut umum menuding bahwa kehidupan puisi Indonesia akhir-akhir ini (1974), tidak sehat, tidak jelas dan brengsek! Hal itu terjadi karena menurutnya, kritikus seperti H.B. Jassin dan M.S.
Hutagalung tidak lagi cemerlang dalam mengapresiasi puisi yang ditulis oleh para penyair yang datang kemudian. Selain itu, majalah sastra Horison pun dituduh pula tidak memberikan ruang dan kemungkinan baru bagi perkembangan dan pertumbuhan puisi Indonesia, yang ditulis di luar jalur puisi lirik sebagaimana dikembangkan Goenawan Mohamad yang disempurnakan Sapardi Djoko Damono dan ditiru habis-habisan (epigon) Abdul Hadi W.M. Untuk itu Goenawan Mohamad pun dituntut berhenti menulis puisi karena dinilai tidak berkembang. Demikian juga Rendra dan Sapardi Djoko Damono dituntut sama pula. Tidak hanya itu. Hakim Sanento Juliman dan Darmanto Jatman pun menyatakan pula dalam putusannya bahwa majalah sastra Horison harus menambah kata "baru" pada logo majalah tersebut. Selain itu, para redakturnya dituntut untuk pensiun. Mereka yang dituntut pensiun itu antara lain Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, H.B. Jassin, dan sejumlah tokoh lainnya.
Dagelan itu belum selesai. Selang dua minggu setelah acara itu, pada 21 September 1974 di Universitas Sastra Indonesia Jakarta diadakan acara Jawaban Atas Pengadilan Puisi. Dalam acara itu, tampil berbicara semua nama yang dihujat dalam acara Pengadilan Puisi Bandung, yaitu HB Jassin, MS Hutagalung, Goenawan Mohamad dan Sapardi Djoko Damono. Kini giliran penyair Slamet Sukirnanto jadi bulan-bulanan.
Uniknya, dalam acara di Rawamangun itu, Slamet Sukirnanto minta maaf. Dan ini membuat Taufik Ismail terpingkal-pingkal. Goenawan sendiri, mengatakan pengadilan puisi itu adalah perkerjaan penyair yang tidak lagi bisa menulis puisi. Ia mengatakan: "Maka Pak tua, jangan menangis! Tak ada salahnya puisi itu hidup tanpa kita"
Betapa pun lucunya, pengadilan puisi sebagai sebuah format lain dari sebuah diskusi, mestinya memang bisa mengungkap banyak masalah-masalah kesusastraan serius yang selama ini tidak kita lihat. Hanya lucunya lagi, event itu selalu berhenti sebagai peristiwa budaya. Puisi dan persoalan sastra masih disikapi dengan kerut dahi, dan maki-maki, dan bukan menjadi sesuatu yang menyenangkan, menawan dan mencerahkan.***
* Kurniawan Junaedhie, sastrawan, mukim di Jakarta
Sumber: Suara Karya, Sabtu, 24 April 2010
No comments:
Post a Comment