BUKU Jurnalisme Bencana, Bencana Jurnalisme, Kesaksian dari Tanah Bencana tulisan Ahmad Arif (33) diawali kisah memilukan Bedu Saini (38), warga Lambaro Skep, Kuta Alam, Banda Aceh, yang kehilangan dua anak dan ibu yang melahirkannya saat bencana tsunami mengguncang Aceh pada 26 Desember 2004.
Bedu, pewarta foto harian Serambi Indonesia, saat air bah mengganas tengah bersantai di dalam rumah bersama anggota keluarga. Istrinya, Khalidah (35), menggendong si bungsu, bayi laki-laki berusia 4 bulan yang belum diberi nama.
Naluri sebagai pewarta foto ”memaksa” Bedu meninggalkan keluarga, meski ....air di dalam bak kamar mandi tumpah ke lantai serta dinding dan atap rumah berderak seperti hendak roboh. Ini sebuah pertanda telah terjadi sebuah gempa.
”Aku tetap pergi walaupun anak-anak masih ketakutan dan ibuku meminta tetap tinggal,” kata Bedu. Sebuah dorongan yang bertahun-tahun mengalir dalam nadinya mengalahkan semua: dorongan meliput, melihat dari dekat apa yang tengah terjadi, dan mengabadikannya dengan kamera.
Kepergian Bedu ”dibayar mahal”. Ketika ia pulang ke rumah—setelah mengabadikan gambar-gambar kerusakan Kota Banda Aceh lewat kamera Nikon D-100-nya—ibunya serta bayi lelaki yang belum bernama itu dan anak sulungnya tak terlihat lagi. Khalidah kemudian berkisah tentang dua anak mereka dan sang ibu yang hilang terseret air.
Bedu hanya bisa terpaku mendengar kisah istrinya. Secepat datangnya gelombang, secepat itu pula orang-orang terdekat menghilang terbawa pusaran air hitam.
Bahaya akan selalu membayangi kerja wartawan. Namun, seandainya dalam posisi Bedu Saini, sanggupkah kita melakukan hal sama?
Buku ini mencoba menguraikan beragam persoalan dan dilema yang dihadapi wartawan di medan bencana, meliputi: detik-detik pertama wartawan sebagai korban, saksi, sekaligus pelapor bencana. Lebih dari itu, buku yang ditulis oleh satu dari sekian wartawan muda di Kompas ini juga mengkritisi cara kerja wartawan—di daerah bencana—yang kadang menulis berita tanpa keseimbangan dan mengecek ulang adanya sebuah fakta sehingga berita yang disajikan bisa disebut ”kabar bohong”.
”Kabar bohong”, antara lain, tentang ditemukannya 500 mayat akibat banjir bandang di Aceh Tamiang, akhir Desember 2006. Berita ini dijadikan berita utama sebagian surat kabar. ”Saya bersikukuh kabar itu belum jelas. Akhirnya terbukti, hanya isapan jempol,” tulis Arif dalam buku terbitan Kepustakaan Populer Gramedia, 2010, ini. Dalam praktik jurnalisme di Indonesia, hiburan, gosip, dan berita kadang bercampur aduk.
Buku Ahmad Arif mencoba melintasi reportase. Ada analisis, komentar, hasil riset sejarah, dan lain-lain. ”Pembaca juga dapat memanfaatkan data selebihnya yang cukup banyak,” tulis Goenawan Mohamad, pemimpin redaksi pertama majalah Tempo, di sampul belakang. (POM)
Sumber: Kompas, Jumat, 30 April 2010
No comments:
Post a Comment