-- Geger Riyanto*
AKHIR-AKHIR ini, sejumlah politisi menyatakan mengenai penangguhan pencarian kandidat RI-2. Lihat setelah pemilu legislatif, ujar beberapa. Wacana ini memperlihatkan bagaimana pemilu legislatif dipandang menentukan peta kekuatan partai-partai setelah memobilisasi calon konstituennya—yang kerap diterjemahkan, menggempur masyarakat dengan iklan politik yang berbondong-bondong.
Tetapi yang kerapkali kita jumpai dari iklan-iklan itu adalah bagaimana mereka sangat berandal kepada kharisma tokoh sentralnya. Kita pun tak bisa menerka, akan jadi apa suatu partai tanpa tokoh sentralnya. Mereka, para politisi itu, tahu bahwa pemilu legislatif masih terlalu abstrak untuk menentukan dukungan terhadap suatu tokoh. Dengan sendirinya, mereka tidak konsisten terhadap pendapatnya sendiri.
Persoalan mendalam
Namun, tak hanya soal abstraknya profil pemilih, ini sebenarnya persoalan yang sangat dalam untuk sistem politik kita. Dikatakan demokrasi tetapi kita tak memiliki imaji mengenai rakyat kita sendiri, sebab partai politik tak mampu merepresentasikan mereka.
Dari waktu ke waktu, partai politik hanya memanfaatkan tren isu yang berkembang pada saat pemilihan berlangsung untuk menampilkan sosok yang dapat menggayung momentum itu, namun tidak secara konsisten turun ke bawah dan mewadahi mereka. Bukankah sudah betapa runyamnya wadah politik kita itu, ketika koalisi antar partai yang berada dua ekstrem ideologi yang berbeda selalu dimungkinkan?
Mungkin karena beban sejarah kita juga. Selama puluhan tahun kekuasaan yang lalu, sekujur kelembagaan politik di Indonesia dimatikan. Menyisakan sang pemimpin sebagai episentrum kekuasaan, satu-satunya tonggak untuk warga berpegangan. Bantuan ekonomi dari blok Barat yang berkepentingan menjadikan Indonesia peredam komunisme, disertai bom minyak pada 70-an, kian mengukuhkan keberhasilan pembangunan ekonomi—yang selalu dikontraskan dengan perekonomian inflasi berat pada Demokrasi Terpimpin Sukarno.
Sementara, setelah figur Suharto diturunkan, demokrasi (seakan-akan) membawa ketidakpastian. Yang diketahui mayoritas warga hanyalah, harga-harga terus naik, kesenjangan meningkat, dan perilaku elite politik mengecewakan. Pada masa Orde Baru, semua itu ditutupi dengan totalisasi kekuasaan dan berbagai subsidi yang dimungkinkan terkait konstelasi global saat itu—yang mempunyai kepentingan bertumpuk di Indonesia.
Oleh karena itu, yang tertinggal di sebagian benak warga hanyalah imaji-imaji keberhasilan dan stabilitas pembangunan. Lalu kultur masyarakat ahistoris dan apolitis peninggalan Orde Baru ini menjadi arena strategis bagi kelompok-kelompok politik berkompetisi, menggulirkan sosok besar-sosok besar baru yang mengemban aroma penguasa puluhan tahun itu.
Lihatlah kebanyakan politisi atau mesin partai dalam politik pencitraannya menampilkan dirinya sebagai pengayom, bukan aktor yang memperjuangkan satu isu tertentu dengan konsisten. Sebagai pengayom, agen dan mesin politik menempatkan dirinya berjarak dari warga, mengonstruksikan diri tak setara dengan manusia biasa, sebagai juru selamat—atau "Manusia Setengah Dewa" bila memakai istilah Iwan Fals.
"Big Bang"
Tetapi, data-data survei yang memperlihatkan berkali lipatnya jumlah golongan putih, membuktikan bahwa warga Indonesia sudah tak bisa dihentikan di bawah kaki tokoh kharismatik. Telah mengkristal keresahan bahwa oposisi yang semestinya bertugas menggolkan isu kongkret selama ini hanya menjadi kecelakaan sejarah. Yang sampai hari ini kita tahu, oposisi adalah mendadak oposisi dari mereka yang tidak mendapatkan jatah kue kekuasaan setelah pemilihan.
Atau bisa jadi juga, sebagian warga justru rindu terhadap sosok yang jauh lebih besar. Betapa tidak sakralnya politik di era demokrasi liberal ini, sehingga orang nomor satu pun begitu mudah digoyang. Sosok yang pada awalnya tampil sebagai pahlawan di iklan politik, tergerus oleh kekuatan-kekuatan besar lain, hingga hanya tersisa sebagai sosok kecil yang dianggap gagal memimpin. Dan warga yang gamang, kehilangan pijakan berdiri, bisa jadi menaruh harapannya kepada dia yang memiliki bayang-bayang raksasa masa lalu dan dianggap kokoh untuk menjadi tempat berdirinya.
Namun, di antara kemungkinan-kemungkinan itu kita tahu bahwa ke depan hanya satu pihak yang akan terus bingung: rakyat. Tidak dengan mesin atau agen politik yang kepentingannya selalu terakomodasi. Sementara rakyat limbung karena tak kunjung ada yang dapat dipegang. Semua terlalu jauh, semua terlalu di atas, semua juru selamat. Dan tiba-tiba saja, turun kebijakan dari langit yang tak berpihak kepada mereka.
Bila kita terus berjalan ke depan dengan menutup mata dari kondisi yang berlarut-larut tersebut, kemungkinan selanjutnya adalah terjadi ledakan dari rakyat. Entah ledakan yang eksplosif atau implosif, meluluhkan yang di luar mereka atau menghancurkan kedalaman mereka sendiri. Kita masih ada di angka tiga, tetapi bila tak berubah, segera, tiga, dua, satu... dhuaaar!***
* Geger Riyanto, Peneliti di Klaster Kebudayaan dan Seni LabSosio UI
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 21 Maret 2009
No comments:
Post a Comment