Jakarta, Kompas Mantan Panglima Kodam IX/Udayana Letjen (Purn) Sintong Panjaitan menegaskan, isi buku perjalanan kariernya, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando, tidak bertujuan politis, apalagi sekadar mencari sensasi, berniat menyakiti, apalagi menghukum orang atau pihak tertentu.
Hal itu disampaikan Sintong, Rabu (11/3) malam, saat membuka acara peluncuran bukunya di Balai Sudirman, Jakarta. Hadir sejumlah pejabat, seperti Menneg Ristek Kusmayanto Kadiman, Menko Kesra Aburizal Bakrie, Kepala BIN Syamsir Siregar, mantan Presiden Abdurrahman Wahid, politisi senior Akbar Tandjung, dan sesepuh TNI.
Meski demikian, Sintong menegaskan, pemaparan dalam bukunya itu dimaksudkan untuk membuka dan mengungkapkan sebanyak mungkin pengalamannya di militer untuk masyarakat Indonesia.
”Saya tidak suka berpolitik praktis. Buku ini sama sekali tidak bernuansa politik. Buku ini juga sama sekali bukan merupakan manipulasi politik untuk menghakimi atau menyalahkan seseorang atau pihak tertentu,” ujar Sintong.
Ia menambahkan, melalui bukunya, ia ingin masyarakat mengetahui apa yang terjadi pada masa lalu, sekaligus bisa dijadikan salah satu sumber catatan sejarah. Tujuannya, masyarakat belajar dari kesalahan dan tak mengulangi pada masa depan.
”Awalnya buku ini dibuat atas desakan istri dan keluarga. Mereka coba meyakinkan saya agar membuka apa adanya semua yang saya alami. Semua itu adalah sejarah penting, baik bagi TNI maupun bangsa. Walau seburuk atau semenyenangkan apa pun, semua itu tidak boleh dihapus begitu saja,” ujar Sintong.
Ia juga menegaskan, penyakit korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN)-lah yang merusak seluruh sendi kehidupan bangsa, termasuk TNI, pada masa lalu ketika Orde Baru berkuasa.
”Dalam kehidupan ABRI, terutama pada era ’80 dan ’90-an, selain korupsi dan kolusi, saya menyaksikan sendiri bagaimana nepotisme berperan besar merusak organisasi dan kesatuan komando ABRI kala itu,” katanya.
Saat membahas buku Sintong, mantan Ketua MPR Saiful Sulun menyatakan, pada masa Orde Baru, TNI mengalami pembusukan. Ada banyak peristiwa, mulai dari Santa Cruz di Dili, Timor Timur, penculikan aktivis pada 1997- 1998, dan Tragedi Mei, yang semuanya melibatkan TNI sebagai institusi.
”Hal itu terjadi karena Orde Baru dan TNI saat itu kemasukan racun feodalisme yang mengakibatkan Presiden jadi sangat berkuasa, sementara nepotisme tumbuh berkembang,” ujar Saiful. (DWA)
Sumber: Kompas, Kamis, 12 Maret 2009
No comments:
Post a Comment