Friday, March 13, 2009

100 Tahun Sjahrir: Kecerdasan dan Demokrasi

-- Salomo Simanungkalit

PERTENGAHAN Februari lalu seorang dosen Filsafat UI menumpang pesawat terbang. Seorang laki-laki menengok nomor bangkunya, mendekatinya, dan setengah memaksa meminta dosen itu bersedia menukar kertas pas naiknya dengan kertas pas laki-laki itu.

”Saya ingin agar saya menang,” kata laki-laki itu setelah menjelaskan bahwa nomor kursi sang dosen sama dengan nomor partai dan nomor urutnya sebagai caleg. ”Ini semacam keajaiban.”

Mau tahu nomor kursi peruntungan itu?

”Kebetulan nomor 31,” kata sang dosen yang cukup kuyup bertungkus lumus dengan pikiran-pikiran Sutan Sjahrir.

Ketika Sutan Sjahrir kali pertama memenangi kursi perdana menteri di pertengahan November 1945, Soekarno jengkel terhadap pesaingnya itu. Dia mengatakan, ”Seperti rotan, saya hanya melengkung, tetapi tidak patah.”

Beberapa waktu lalu kita merekam persaingan elite politik masa kini. Seorang calon presiden mengatakan, ”Ah, dia hanya bisa tebar pesona.” Yang dituju membalas dengan, ”Jangan main keroyok, dong!”

Betapa jauh jarak abstraksi ungkapan politikus di masa Sjahrir dengan ungkapan politikus masa kini. Bandingkan metafora ”saya hanya melengkung, tetapi tidak patah” dengan ungkapan telanjang ”jangan main keroyok, dong”. Segi ini gagal dipertahankan, apalagi ditingkatkan, para politisi sejak masa Orde Baru sampai hari-hari ini. Maka, kita meragukan apakah cukup stok kecerdasan para elite politik hari- hari ini untuk menyelenggarakan demokrasi jika mutu metaforanya saja terasa dangkal.

Terbengkalai

Seluruh politik Sjahrir adalah politik pedagogis, politik yang bersifat mendidik. Dengan titik berat pada pengaderan, Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang ia dirikan telah menghasilkan kader-kader yang secara intelektual bermutu tinggi. Seperti yang dikatakan Rosihan Anwar mengutip banyak pengamat asing, Sjahrir bukanlah politikus, melainkan lebih sebagai pendidik, edukator. Sifat serupa kurang lebih tampak pada banyak anggota PSI atau hanya simpatisan PSI.

Djohan Syahruzah, tangan kanan dan keponakan Sjahrir, selain pemuka PSI juga pendidik. Kader yang ia didik bahkan jadi anggota Politbiro PKI: MH Lukman. LM Sitorus yang sekjen PSI dan sejarawan menulis tentang pergerakan politik di Indonesia. Soebadio Sastrosatomo yang ketua Fraksi PSI di parlemen dasawarsa 1950-an adalah pendidik dalam bidang politik. Sumitro Djojohadikusumo yang mendirikan Fakultas Ekonomi UI adalah guru besar yang mendidik ekonom sekaliber Widjojo Nitisastro dan Mohammad Sadli. Sarbini Sumawinata adalah guru besar Fakultas Ekonomi UI dalam ekonomi kerakyatan. Soedjatmoko adalah diplomat dan rektor Universitas PBB di Tokyo. TB Simatupang ikut jaringan Sjahrir di zaman Jepang dan setelah pensiun sebagai Kepala Staf Angkatan Perang bergerak sebagai pendidik melalui Dewan Gereja- gereja di Indonesia.

Diakui atau tidak, menurut Rosihan Anwar, orang-orang semacam Rahman Tolleng, Maruli Silitonga, Marsillam Simandjuntak, PK Ojong, Onghokham, Parakitri Tahi Simbolon, YB Mangunwijaya, Sjahrir yang ekonom, Daniel Dhakidae, dan Hariman Siregar adalah orang yang berhabitat di PSI. Mereka bekerja menurut bakat dan kompetensi masing-masing dalam pelbagai bidang dan profesi.

Yang kita hadapi sekarang adalah gumpalan-gumpalan politik demagogis, politik dengan penghasutan terhadap orang banyak dengan kata-kata yang dusta untuk membangkitkan emosi rakyat. Kita memiliki perangkat demokrasi yang komplet seperti partai, parlemen, pemilu, pers, dan Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi, yang mengalir dalam instalasi itu bukan politik yang ada pikirannya. Para demagog itu bekerja 24 jam mengendus dan mengintai kekuasaan semata- mata demi diri sendiri dan kekuasaan itu sendiri dengan menjalankan politik yang dikendalikan oleh, misalnya, sirkulasi uang dan keyakinan religius yang cenderung absolut. Karena itu, saat ini demokrasi kita sedang terbengkalai.

Demokrasi membutuhkan perawatan politik pedagogi: mengajar rakyat untuk merdeka dalam berpikir agar merdeka memutuskan pilihan. Ideal politik inilah yang diupayakan Sutan Sjahrir sebagai inti dari perjuangan kita, yakni bukan semata-mata perjuangan demi kedaulatan negara atau demi cita-cita bangsa, melainkan demi kemerdekaan jiwa manusia. Pedagogi politik Sjahrir adalah pedagogi kemanusiaan universal: pendidikan kewarganegaraan untuk membantu rakyat keluar dari kolonialisme, fasisme, dan feodalisme.

Analisis politik pada Sjahrir memerlukan daya berpikir yang kuat dan inilah relevansi pikiran- pikiran Sjahrir dalam hari-hari ini untuk menyaring semua anjuran ideologi yang bersifat doktrin, ideologi yang hendak menyatukan manusia dalam ikatan absolut yang—demi itu—kekerasan diselenggarakan.

Sumber: Kompas, Jumat, 13 Maret 2009

No comments: