Thursday, November 06, 2008

[Persona] Bermusik untuk Keseimbangan

PROF Dr Benny Hoedoro Hoed (72) menyebut ruang di bagian depan rumah adalah ruang favoritnya.

”Di sini ruang kerja saya,” kata dia. Ada satu meja besar dengan beberapa kursi di sana dan satu rak buku. Di salah satu dinding terpampang foto Benny dengan putra pertamanya, musikus Hoedarianto Hoed atau Anto Hoed.

Juga ada foto bersama para guru besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (UI), tempat Benny sampai sekarang masih mengajar dan membimbing tesis dan disertasi mahasiswa program S-2 dan S-3.

Banyak orang bertanya tentang asal-usul nama Hoed. Menurut Benny, nama itu berasal dari nama ayahnya, pejabat Jawatan Pekerjaan Umum, yang asli Kauman, Purworejo, Jawa Tengah.

”Ada yang mengira itu nama Belanda. Hoed berasal dari nama Nabi Hud. Ayah dan saudara-saudaranya diberi nama seperti nama nabi-nabi karena kami dari keluarga para haji,” kata Benny.

”Ayah memang berorientasi ke Barat, belajar dari orang Belanda, untuk mencari tahu kelebihan dan kekurangan mereka. Beliau mengatakan, kami tidak boleh takut kepada orang Belanda. Jadi, dia mengajari melihat orang Eropa tidak secara etnosentris dan kita berada di bawah, tetapi linier, sama.”

Di luar urusan akademis, Benny terlibat antara lain dalam kegiatan Jazz Goes to Campus (JGC) yang menjadi ciri UI, sebagai anggota tim seleksi JGC Award.

”Jazz bagian saja dari kesenangan saya pada musik,” kata anak keempat dari lima bersaudara yang sejak tahun 1948 tinggal di Jakarta.

Kesukaannya pada jazz adalah hasil pembiasaan, antara lain mendengar melalui radio. ”Mungkin karena ketika itu tidak banyak pilihan musik yang bisa didengar,” kata Benny yang juga mendengarkan musik klasik.

Dia mengusai instrumen harmonika yang sampai kini masih dia mainkan bersama teman-temannya, sesama penggemar musik jazz, di rumahnya. Sesekali dia datang ke Moonlight atau Black Cat untuk mendengarkan jazz.

”Saya melihat jazz sebagai pemupukan kreativitas yang luar biasa. Harmoni justru dilanggar. Ketika sudah setua ini, saya baru ingat jazz itu suatu tindakan dekonstruksi, mempersoalkan kembali makna yang sudah mapan lalu mengolah kembali menjadi baru,” kata Benny yang menyukai jazz standar.

Dia mengaku bisa menikmati sebagian musik karya menantunya, Melly Goeslaw, tetapi sebagian besar dia sebut lebih cocok untuk anak muda, dan dia senang karena ada beberapa yang memiliki napas jazz meski tak terlalu kentara.

Bermusik juga cara dia menyeimbangkan kehidupan. ”Otak kiri sifatnya analisis dan otak kanan untuk perasaan. Anak-anak saya, selain harus sekolah yang baik, juga harus bisa seni. Kalau dia bergerak dalam bidang musik, keindahan, dia juga harus banyak baca supaya bagian otak analisisnya terjaga. Jadi, ada keseimbangan.” (ninuk mp/ maria hartiningsih)

Sumber: Kompas, Minggu, 2 November 2008

1 comment:

Unknown said...

sip
salam dari Purworejo Pak