[JAKARTA] Soal kebinekaan menjadi fokus utama Pidato Kebudayaan tahun ini. Pidato yang menjadi agenda tahunan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) tahun ini memilih I Gusti Agung Ayu Ratih sebagai pembicara. Pilihan yang tepat. Dari sisi isu dan dari sisi pemberi materi.
Cendekiawan asal Bali, I Gusti Agung Ayu Ratih menyampaikan pidato kebudayaan bertajuk "Kita, Sejarah, Kebhinekaan " di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Senin (10/11). Pidato tersebut membahas tentang ideologi kebudayaan yang tertindas oleh peraturan dan undang-undang di Indonesia. (Abimanyu)
Isi keberagaman memang menjadi isu yang sudah selayaknya menjadi perhatian bangsa ini. Pertama, apa boleh buat, sebagaimana sudah dikemukakan banyak kalangan, langkah politik DPR yang mengesahkan RUU Pornografi menjadi UU Pornografi, dinilai mengancam keberagaman. Para seniman dan masyarakat Bali serta Papua, sebagai contoh, jelas merasa telah dilupakan oleh para pembuat kebijakan. Singkat kata, menurut mereka, UU tersebut mengancam keberagaman.
Kedua, sang pembicara, sekitar 20 tahun terakhir tanpa banyak diliput media massa, mencurahkan perhatiannya pada soal yang bekaitan dengan keberagaman. Ia adalah pekerja sekaligus pendiri Jaringan Kerja Budaya, kelompok yang tekun melakukan berbagai kegiatan berkebudayaan dan mengkampanyekan kebinekaan atau arti penting pada soal keberagaman di Indonesia.
Master di bidang Sejarah dan Perbandingan Sastra dari Universitas Wisconsin, Madison Amerika Serikat itu, sekarang memimpin Institut Studi Sejarah Indonesia dengan fokus kegiatan sejarah kebudayaan dan gerakan perempuan. Di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Senin (10/11) malam, I Gusti Agung Ayu Ratih yang akrab dipanggil Gung Ayu, memaparkan pemikirannnya. Judulnya menawan, "Kita, Sejarah, dan Kebhinekaan".
Acara dimulai dengan pidato singkat Ketua Pengurus Harian DKJ, Marco Kusumawijaya. " Kita merasakan bahwa kebinekaan kita terancam oleh kerja demokrasi kita yang tidak maksimal. Padahal, kebinekaan kita itu seharusnya dapat menjadi sumber kehidupan yang lebih baik sebagai manusia yang multidimensi. Kita ingin menghayati kehidupan yang menentang penyeragaman oleh modal ataupun oleh kekuasan serta fundamentalisme agama apa saja yang tidak berdaya toleransi, " kata Marco dalam pengantar pendeknya.
Balawan dan kawan-kawannya sebelumnya membuka acara dengan komposisi musik mereka yang renyah dan hangat. Setelah kedua acara pembuka usai, layar terbuka. I Gusti Agung Ayu Ratih pun terlihat di podium. " Saya ingin menegaskan bahwa ancaman yang kita hadapi saat ini bukanlah teologi yang buruk. Kita seharusnya tidak terjebak dalam perang teologi karena yang kita hadapi adalah pertarungan politik dan kultural. Kita sedang berebut ruang dan pengaruh untuk menentukan rambu-rambu kekuasaan negara dan merumuskan keindonesiaan," kata Gung Ayu.
Dalam arena pertarungan tersebut, menurut Gung Ayu, semua pihak perlu membangun gerakan kebudayaan yang memungkinkan tumbuhnya imajinasi tentang dunia baru dengan cita-cita politik yang jelas. " Kita tidak bisa bertahan dengan posisi anti a atau b sebagai provokasi pihak sana. Kita tidak boleh membiarkan gerak kita ditentukan oleh manuver-manuver yang mereka rancang untuk mengacak-acak kesatuan dan keteraturan derap kita, " tegasnya.
Sebelumnya, Gung Ayu membedah berbagai aspek dari perjalanan sejarah peradaban manusia. Ia juga menguliti masalah tubuh perempuan sebagai medan pertarungan gagasan. Sebagai sejarawan ia mengajak semua pihak untuk merenungkan kembali sejarah nasional Indonesia yang kering dengan catatan sejarah perjuangan kaum perempuan. Sejarah hanya mencatat tokoh perempuan yang terlibat peperangan, seperti Tjoek Njak Dien dan Marta Chistina Tiahahu. Tokoh lain yang ia soroti ialah Fatmawati yang potretnya saat tengah menjadi bendera pusaka selalu dimunculkan." Kalaupun nama Kartini dan Dewi Sartika muncul, mereka seakan-akan tak punya pendapat apa pun tentang kolonialisme, " ucapnya.
Soal negara sekuler dan fundamentalisme pasar bebas kemudian dikupasnya. " Saya hanya ingin menegasan keterkaitan antara kekacauan yang ditimbulkan kebijakan-kebijakan neoliberal dan bangkitnya konservatisme agama. Salah satu obat paling manjur bagi epidemi kamasygulan adalah janji adanya surga dan juru selamat. Fenomena ini sudah mendunia dan tidak terbatas pada masyarakat agraris yang dianggap terbelakang, " tandas aktivis perempuan itu. [A-14]
Sumber: Suara Pembaruan, Selasa, 11 November 2008
No comments:
Post a Comment