-- Agus Wibowo*
SASTRA, kata I.A. Richard dalam bukunya Peotries and Science (1926), merupakan dunia yang mampu menyuguhkan imajinasi sehingga memberi inspirasi orang untuk berkarya. Banyak pemikir inovatif dalam ilmu sosial dan sains mempunyai latar belakang teori sastra yang kuat atau setidaknya penikmat sastra. Sebut saja misalnya, Edward W. Said, yang membongkar epistemologi orientalisme sambil membuka pintu poskolonialisme; Michel Foucault, yang mengadakan analisis wacana untuk melihat prawacana; atau Antonio Gramsci, yang melihat sastra sebagai medium pembaharuan moral dan untuk mengungkapkan ideologi-ideologi kelompok sosial, dan sebagainya.
Demikian halnya Einstein, bapak penemu teori relativitas, merupakan penggemar berat puisi-puisi romantik seperti Wordsworth dan Mary Shelley. Einstein tampaknya mengikuti jejak pendahulunya, Alfred North Whitehead, seorang ahli matematika sekaligus pengarang karya monumental Principia Mathematica (1910). Bagi Einstein, sastra more important than knowledge karena mampu menyuplai ide-ide kreatif baginya.
Kita juga tidak asing dengan teori heliosentris, yang dilontarkan Copernicus pada 1512. Teori monumental itu sempat menuai kontroversi lantaran membalik doktrin gereja yang selama berabad-abad diyakini sebagai kebenaran mutlak. Tentu saja, teori ini tidak lahir melalui observasi dengan pergi ke orbit matahari, tetapi berawal dari imajinasi dan intuisi Copernicus--yang juga seorang sastrawan.
Pun begitu dengan ilmu matematika atau aljabar. Disiplin ilmu ini lahir dari ekspresi atau luapan imajinasi yang diguratkan dengan angka, simbol, dan deretan rumus atau persamaan-persamaan. Dalam dunia antariksa, beberapa ilmuwan sekaligus astronomer ternama, seperti Carl Sagan, kosmolog Free Dyson, dan rocketry Wernher Von Braun, mengawali karier dari kegemaran membaca sastra fiksi-fiksi sains.
Beberapa karya sastra konon menjadi inspirasi penemuan sains hebat. Misalnya, penemuan bom atom, balon udara Zeppelin, dan pesawat luar angkasa Appolo 11 milik NASA terinspirasi kisah-kisah yang ditulis Jules Verne dalam novelnya From The Earth to the Moon. Penulis lain yang karyanya tak kalah mencengangkan adalah H.G. Wells, dengan The Time Machine (1895), The Invisible Man (1897), The War of the Worlds (1898), The First Men in the Moon (1901), dan beberapa koleksi novel menarik lainnya.
Ini menunjukkan betapa keistimewaan imajinasi yang disuguhkan sastra, banyak memberi kontribusi positif bagi sains, terutama sebagai inspirasi ilmuwan membuat karya teknologi.
Rendahnya Apresiasi
Titik-temu sastra dan sains, kata Zen, doktor fisika murni lulusan Universitas Kyoto (1991), ada dalam kawasan ontologi dan formal. Pada kawasan ontologi, sastra dan sains sama-sama berupaya mengajukan model-model tentang kenyataan. Pada kawasan formal, keduanya bermain dengan manipulasi simbolik. Selain itu, keduanya memengaruhi: Sains dapat menjadi inspirasi sastrawan, demikian sebaliknya.
Edgar Allan Poe (Eureka), Lewis Carrol (Alice's Adventure in Wonderland), dan Jorge Luis Borges (Ficciones), merupakan sastrawan yang mampu menautkan sastra dan sains menjadi sangat apik dalam karya-karyanya.
Pertanyaanya kemudian, apakah masyarakat menyadari pentingnya sastra dalam kehidupan? Ternyata belum!
Meski sastra merupakan sumber inspirasi lahirnya sains, masyarakat kita justru sering memandang sebelah mata. Orang tua merasa rugi jika putra-putrinya kebetulan kuliah di jurusan atau fakultas sastra. Apalagi, jika menjadi sastrawan atau memiliki menantu sastrawan. Mereka--dengan mengelus dada--pasti akan bertanya, "mau diberi makan apa anak istrimu kelak?"
Paradigma seperti itu terjadi karena masyarakat masih memandang kesuksesan seseorang ditentukan seberapa banyak materi yang dimiliki. Fenomena kultural yang buruk itu masih diperparah "kesombongan" ilmuwan kita yang melihat sains tidak ada relasi sedikit pun dengan sastra. Mereka menganggap perasaan dan instuisi--sebagai basis sastra--tidak ada kaitan dengan pikiran sebagai basis sains.
Artinya, ilmuwan tidak perlu asupan darah dan belulang sastra. Padahal, ilmuwan perlu mengimajinasikan sebuah gambar kawasan atau obyek yang akan ditelitinya, sebelum ia mulai membangun teori lalu mengujinya. Meski langkah sains dituntun oleh metodologis yang khas, tetapi imajinasi merupakan pendahulu semua langkah empiris tersebut. Dengan kata lain, ilmuwan perlu sastra sebagai penopang alam imajinasinya tatkala mengkonsep sebuah hipotesa atau asumsi penelitian.
Akibatnya fenomena itu, perkembangan sains teknologi dan sastra di Indonesia, meminjam istilah Yasraf Amir Piliang (2007), masih terperangkap dalam "dua budaya". Artinya, sains belum memberikan masukan berarti dalam perkembangan sastra, demikian sebaliknya. Dengan kata lain, sastra masih menjadi dunia para penghayal, sementara sains mengukuhkan dirinya sebagai basis kenyataan dan kemajuan.
Kecenderungan ini juga terasa di perguruan-perguruan tinggi (PT) kita. Mata kuliah atau jurusan sastra kurang populer "untuk mengatakan kurang diminati" di kalangan mahasiswa ketimbang mata kuliah atau jurusan sains. Mestinya, ada integrasi atau penambahan muatan mata kuliah antarkedua fakultas tersebut.
Mahasiswa jurusan sastra misalnya, diperkenalkan dengan dunia sains agar kompetensi sastra yang dimilikinya, bisa memberi sumbangsih positif bagi kemajuan sains. Demikian halnya mahasiswa sains, harus diakrabkan dengan sastra--sebagaimana diterapkan Institut Teknologi Bandung (ITB). Tujuannya, mahasiswa diajak berekreasi imajiner dan memaknai berbagai sisi kehidupan yang dapat dipetik dari karya sastra. Selain itu, melalui sastra mahasiswa juga diajak menguliti esensi kehidupan untuk mempertebal rasa kemanusiaan, sekaligus menjadi semacam "starter", pemicu pada penjelajahan pemikiran yang tak terbatas ke segala arah.
Akhirnya, hadirnya sastra dalam fakultas atau jurusan sains, juga sebagai upaya meminimalisasi peran teknologi yang selalu arogan dan merasa give solution. Dengan kata lain, sastra bisa menjadi semacam oase di tengah keangkuhan sains. Semoga!
* Agus Wibowo, esais sastra, mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta
Sumber: Lampung Post, Minggu, 23 November 2008
No comments:
Post a Comment