Sunday, February 08, 2009

Oase Budaya: Cyber

-- Arie MP Tamba

SASTRA cyber (internet) kini menjadi satu kategori pelabelan untuk produk sastra Indonesia setelah sastra majalah, sastra buku, dan sastra koran. Dari penamaannya yang diperluas berdasarkan media ungkapnya, segera jelas bahwa sastra cyber dikhususkan pada karya-karya sastra yang dipublikasikan di (atau disosialisaskan melalui) internet.

Meski, penamaan itu sendiri tidak serta-merta dapat diterima sebagai pembatasan; karena memudahkan dalam penamaan. Sebab, yang berlangsung di lapangan adalah, bagaimana karya-karya sastra koran, sastra majalah, sastra cyber, kemudian juga dibukukan. Atau fenomena mutakhir, sastra koran, sastra buku, sastra majalah, ditampilkan lagi di dalam sastra cyber.

Yang bisa dikemukakan adalah, adanya ciri-ciri khas sastra cyber yang tidak ditemukan pada sastra-sastra lainnya. Melalui media internet, atau di dunia maya, seorang pengarang dapat menayangkan karyanya secara langsung tanpa harus melalui editing ketat dari otoritas lain. Proses yang lazimnya dilalui, ketika seorang pengarang akan mengirimkan karya-karyanya ke koran, majalah, atau menerbitkannya sebagai buku.

Jadi, ada spontanitas tayang yang khas. Walau tidak tertutup kemungkinan, para pengarang tertentu mengedit lebih dulu tulisannya, sebelum meluncurkannya ke dunia maya. Karena itulah, beberapa pengarang sengaja menamakan blognya sebagai "kamar kerja". Sebab di sana, para pengakses dapat pula melihat karya "utuh" si pengarang/penyair yang ditayangkan, juga ketika telah mengalami penyempurnaan melalui editing, nantinya.

Lalu, yang juga mengesankan adalah bagaimana para pengarang dunia maya mendapatkan kebebasan berekspresi yang sesungguhnya. Sejak mulai mengerjap sebagai ide, lalu dituliskan/ditayangkan, dan disempurnakaan selama beberapa saat, si pengarang sepenuhnya memunculkan karyanya sendirian saja.

Di dunia maya, si pengarang tak memerlukan pihak lain untuk mengevaluasi karyanya. Pihak yang seringkali menjadi kendala penerbitan di dunia sastra koran, majalah, atau buku. Sebab, di dunia penerbitan/cetak ini, campur tangan editor (atau pihak lain itu) ada kalanya cukup mendalam, sebagai bagian dari pelaksanaan sebuah standarisasi nilai yang sudah "disepakati" bersama.

Karena tidak adanya editor dan terbuka luasnya media internet inilah, seorang editor koran pernah mengistilahkan karya-karya sastra cyber adalah timbunan sampah. Sebab, karya-karya yang tertayang dihasilkan siapa saja, dengan semau-maunya, sesuka-sukanya, tanpa pengawasan seorang editor yang telah diakui. Terkadang memang ada moderator untuk milis kolektif, tapi tugas-tugasnya hanyalah menjaga kelancaran penayangan, ketimbang mengevaluasi mutu karya yang layak tayang.

Di sisi lain, ada juga pertanyaan yang mengejar: mengapa para pengarang cyber masih harus mengincar penerbitan karya mereka ke dalam buku. Bukankah dunia cyber itu sudah begitu luas membuka peluang? Mengapa membatasi diri lagi ke dalam buku-buku, yang halaman-halamannya sangat terbatas?

Namun, apa pun pertanyaan yang bisa dimunculkan, itu sesungguhnya bisa saja menjadi risiko media sastra yang dapat terjadi pula di sastra koran, majalah, atau buku. Apalagi bila sudah menyangkut paradigma artistik, yang hendak disesuaikan dengan media publikasinya. Bahwa sastra koran misalnya, tak lebih dari 10 ribu karakter di koran yang satu, namun bisa lebih banyak karakter di koran lainnya.

Atau sastra cyber, mengapa ditampilkan masih saja seperti karya-karya di sastra koran, majalah atau buku. Mengapa tidak memanfaatkan fitur-fitur teknologi informasi canggih seperti dimiliki komputer. Misalnya: dengan huruf melompat-lompat? Atau tampil secara simultan dengan video-clip, musik, pewarnaan, atau permainan simulasi desain grafis canggih?

Yang pasti adalah, melalui dunia sastra cyber sekarang ini, kita bisa menemukan lagi para penyair yang telah lama menghilang, di antaranya Ook Nugroho. Ook adalah seorang penyair 1980-an, yang memiliki kekuatan liris yang khas dan rajin menyampaikan gagasannya tentang perkembangan sastra pada masanya. Namun, telah belasan tahun Ook seperti raib dari koran-koran dan majalah.

Tapi dengan maraknya sastra cyber, Ook muncul lagi dengan ketajaman puitik dan pemikiran yang sama. Kini, ditambah lagi dengan produktivitas. Produktivitas yang hanya dapat diimbangi oleh penyair Johannes Sugianto dan Hasan Aspahani yang hampir setiap hari menayangkan puisi baru dan juga pikiran-pikiran segar kegiatan bersastra mereka. Sebuah fenomena, yang tentunya tak akan tertampung (atau tertandingi) oleh kekuatan sastra koran, majalah, dan penerbitan buku kita. Hidup sastra cyber!

Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 8 Februari 2009

No comments: