Sunday, February 08, 2009

"Salawe Nagara"

-- Jakob Sumardjo

DALAM pantun Panggung Karaton, Prabu Siliwangi menyerahkan peta kepada putranya, Raden Wangi, agar mencari negara yang "berpulau tiga puluh tiga dan berbengawan 65" untuk dijadikan kerajaannya. Ungkapan semacam itu juga dikenal di Tangtu Baduy, yaitu "nagara satelung puluh teulu, bagawan sawidak lima, pancer salawe nagara."

Apakah yang tersembunyi di balik "pulau 33, sungai 65, dan 25 negara?" Kalau ungkapan semacam itu berulang-ulang dikenal dan diucapkan, tentulah mengandung satu makna penting bagi masyarakat Sunda. Itulah semacam peribahasa atau pikukuh adat mengenai kehidupan bernegara di Sunda.

Ada semacam matematika Sunda yang penuh dengan angka-angka, seperti tunggal alias satu, dua, tiga, lima, enam, tujuh, sembilan, dua belas, dua puluh lima, tiga puluh tiga, empat puluh, enam puluh lima, seratus dua puluh lima, dan sebagainya. Hitungan-hitungan itu senantiasa membentuk sistem hubungan tertentu yang memiliki makna kualitas tertentu pula. Matematika ini adalah cara berpikir masyarakatnya.

Bagi orang modern, angka-angka dan penjumlahan semacam itu hanya berlaku nominal belaka. Akan tetapi bagi masyarakat Sunda lama, bahkan sampai sekarang juga terutama di desa-desa, angka-angka punya makna keramat. Ada angka-angka "suci" dan angka-angka "profan". Angka-angka suci itu mengandung kerohanian yang mendatangkan kualitas-kualitas transenden. Jangan bermain-main dengan angka dan jangan meremehkan angka-angka.

Marilah kita mulai dengan angka 33 dan 65. Mengapa angka-angka ini begitu penting dalam cerita pantun dan pikukuh Baduy. Matematika 33 harus dibaca sebagai sistem mandala. Mandala adalah ruang manusia tertentu yang dihadiri oleh daya-daya transenden, kekuatan, kuasa, kesucian, kegaiban, yang adikodrati (supranatural). Ruang itu disimbolkan dalam bentuk bujur sangkar imanen, sedangkan daya-daya adikodratinya disimbolkan dalam bentuk lingkaran yang berimpitan dengan bujur sangkar sehingga simbol mandala disebutkan sebagai "lingkaran dalam bujur sangkar atau bujur sangkar dari lingkaran."

Hadirnya yang transenden di dunia imanen ini diharapkan oleh mereka yang berpikiran religius. Manusia tidak berdaya dalam beberapa persoalan hidupnya sehingga mengharapkan dan memohon agar daya-daya transenden hadir di dunia manusia untuk mengatasinya. Itulah antropologi yang sudah terjadi sejak manusia berada di dunia ini, sedangkan pemikiran mandala ini masuk Indonesia pada zaman Hindu Buddha Indonesia.

Mandala adalah ruang bujur sangkar dunia ini. Mengapa bujur sangkar? Karena mengandung empat sisi yang sama. Jadi, ada dua pasangan kembar sisi-sisi itu menempati arah ruang yang saling berlawanan, yakni utara berhadapan dengan selatan, dan timur berhadapan dengan barat. Hal-hal berlawanan di dunia ini harus disatupadukan secara imbang dan harmonis di tengah-tengah bujur sangkar atau tengah-tengah lingkaran. Entitas pusat ini menghimpun kualitas-kualitas atau potensi-potensi "diam" keempat entitas yang saling berlawanan sehingga melahirkan entitas baru di pusatnya mengandung aktualisasi potensi-potensi dinamisnya. Itulah sebabnya entitas pusat menjadi sakramen alias dijadikan suci. Dan yang suci ini kualitas transenden yang mengandung daya-daya gaib buat kepentingan manusia. Yang suci atau keramat akan mendatangkan berkat. Karena nilainya yang demikian itu, pusat yang sakramen, suci, penuh daya-daya itu tidak boleh disentuh atau tabu. Orang-orang Baduy menyebutnya sebagai buyut.

Kembali ke angka 33. Dibaca dalam bahasa mandala, angka 33 terdiri dari himpunan 32 dan 1 pusat. Angka 33 kalau dibagi dalam bujur sangkar mandala yang empat akan menjadi 8 mandala. Jadi 33 adalah 8 mandala dengan satu pusat yang buyut. Angka delapan juga menunjuk pada arah ruang yang lain, yakni barat laut, barat daya, timur laut, dan tenggara. Semakin banyak ruang berlawanan yang dihimpun pusat, maka semakin tinggi kualitas buyut-nya.

Dengan demikian, angka 33 tidak lain adalah mandala besar yang terdiri dari 1 pusat yang dikitari 32 sudut ruang yang saling berlawanan. Sebutlah "pusat" itu Galuh atau Pajajaran. Galuh adalah buyut pusat yang disakralkan oleh 32 buyut-buyut lain (tak jelas perkampungan atau raja-raja daerah).

Akan tetapi, mengapa 33 pulau? Bukankah tanah Sunda ini daratan belaka? Makna "pulau" ini harus kita hubungkan dengan 65 bengawan atau sungai. Sungai-sungai besar dan kecil di seluruh Sunda ini sangat banyak, lebih dari 65 sungai. Mengapa hanya disebut 65 bengawan? Dibaca secara mandala, 65 adalah 1 pusat dengan 64. Dan 64 jelas perkalian dua dari 32. Hubungannya adalah bahwa 1 pulau memerlukan hadirnya 2 sungai. Jelasnya, 1 pulau atau 1 buyut atau 1 mandala memerlukan hadirnya 2 sungai.

Teka-teki ini terjawab kalau orang pergi ke Kawali, Susuru, dan Karangkamulyan di daerah Ciamis-Banjar. Situs Kawali ternyata dikepung sungai-sungai sehingga merupakan sebuah "pulau" dari daratan sekitarnya. Sungai "pusat" adalah Cimuntur yang mengalir dari arah utara (daerah bukit-hutan Panjalu) ke selatan sampai Karangkamulyan di Bojong, kemudian bertemu dan bersatu dengan Sungai Citanduy yang lebih besar.

Situs Kawali berada di sisi kanan dari arah hulu Cimuntur, sedangkan di utaranya mengalir Sungai Cikadongdong, di selatannya Sungai Cibulan. Dan di sebelah barat situs itu digali terusan yang menghubungkan Sungai Cikadongdong dan Sungai Cibulan, disebut Cigarunggung. Dengan demikian, situs Kawali merupakan "pulau". Dan pulau itulah berisi buyut Kawali, yang sekarang dinamai Astana Gede.

Keadaan serupa juga terdapat di Susuru di daerah Bojong, Kalurahan Karangsari. Di Susuru (tanaman sejenis kaktus?) di sisi kanan Sungai Cimuntur dari arah hulu terdapat situs tua juga. Situs itu berada persis di pertemuan Sungai Cimuntur dengan Sungai Cileuer. Pertemuan kedua sungai itu begitu rupa sehingga membentuk semacam pulau berbentuk dataran tinggi yang hanya dipisahkan oleh jalan masuk dua meter yang diapit dua jurang terjal. Situs itu menjulang tinggi dari kedua aliran sungai sehingga dapat dibuat 14 tingkatan sampai ke puncaknya. Itulah buyut Susuru.

Di situs Karangkamulyan, pulau itu muncul lagi. Karangkamulyan berada di tepi kanan Cimuntur yang bertemu dengan Sungai Citanduy. Dan antara Cimuntur dan Citanduy digali terusan atau parit sehingga situs Karangkamulyan dikepung aliran-aliran sungai dan menjadi pulau. Bekas parit itu masih bisa dilihat sekarang, tapi sudah kering, dan sebagian dipotong jalan raya Banjar-Ciamis.

Begitulah, sudah jelas bahwa 33 pulau dan 65 bengawan dimaksudkan sebagai 33 kabuyutan yang dibentuk di antara pertemuan dua sungai atau tiga sungai, bahkan kalau perlu dibikin sungai buatan atau terusan berupa parit (walungan). Jumlah 33 dengan 65 cocok dalam hitungan matematika spiritualnya. Atau sekurang-kurangnya ungkapan para puun Tangtu dapat dibuktikan dalam realitas.

Sekarang tinggal memecahkan misteri Salawe Nagara. Lengkapnya ungkapan tersebut seperti ini:

Buyut yang dititipkan kepada puun
Nagara tiga puluh tiga
Sungai enam puluh lima
Pancar dua puluh lima negara.

Dibaca dalam bahasa mandala, maka 25 terdiri dari 1 pusat dengan 24 unsur penyatunya. Akan tetapi mengapa 24? Bukankah itu berbeda dengan hitungan matematika Sunda yang 4,8,32, dan 64? Inilah cara berpikir rohaniah Sunda yang sebenarnya. Angka 24 Merupakan perkalian 3 dari 8. Angka 4 dan 6 jelas bermakna mandala tanpa dihitung pusatnya yang hanya satu. Sebutan 3 itu ada di mana-mana di Sunda. Tritangtu. Satu yang tiga dan tiga yang satu. Sebuah pemikiran paradoksal yang jelas akan disumpahi manusia modern yang berpikir linear.

Kalau disebut Salawe Nagara berarti kesatuan tiga negara yang masing-masing memiliki delapan kabuyutan, begitu pula pusat dengan satu kabuyutan. Akan tetapi, bukankah negara yang sempurna dalam alam pikiran masyarakat Sunda lama itu terdiri 33 pulau (33 kabuyutan) yang dibentuk oleh 64 sungainya yang masing-masing menyatu (campur, campuh)? Lalu di mana letak delapan kabuyutan yang lain? Karena hanya ada satu pusat, pusat itulah yang memiliki delapan kabuyutan.

Di situs Karangkamulyan dan Astana Gede Kawali terdapat banyak artefak berupa batu berdiri, batu duduk, batu kursi, punden berundak, lingkaran batu, kolam, yang belum pernah diteliti jumlahnya di tiap situs. Mungkinkah itu yang dimaksud sebagai "kabuyutan pusat" yang terdiri dari delapan buyut? Dengan demikian, tiga situs besar Kawali-Susuru-Karangkamulyan merupakan tiga pusat yang bersatu membentuk Salawe Nagara?

Masih banyak misteri harus dibuka dalam artefak-artefak kabuyutan di tanah Sunda ini. Ada berapa sisa-sisa peninggalan kabuyutan di seluruh Sunda? Apakah Salawe Nagara itu seluruh tanah Sunda? Di mana pusat mandalanya yang terdiri dari delapan kabuyutan itu? Atau Salawe Nagara sebenarnya ada di setiap daerah mandala kekuasaan di Jawa Barat ini? Ini dapat berarti bahwa galuh adalah Salawe Nagara, Pajajaran, juga Salawe Nagara?

Artefak budaya adalah terjemahan dari pikiran kolektif yang merupakan afirmasi masyarakat Sunda. Artefak-artefak budaya Sunda mengundang cara berpikir masyarakatnya. Dan salah satu cara berpikir itu adalah pola rasional "matematika Sunda". Dan masyarakat ini memang banyak menanam pikukuh-pikukuh-nya dalam bentuk bilangan-bilangan, seperti "tilu sapamula, dua sakarupa, hiji eta-eta keneh", "cupu manik astagina", "sakawolu" dan lain-lain.

Sudah tiba saatnya untuk "mengeluarkan" kesundaan ini dari persembunyiannya di balik artefak-artefaknya, baik berupa ungkapan verbal maupun benda-benda budayanya. Bahkan mungkin juga tingkah lakunya. Di balik activities dan artefak Sunda ini akan terbaca ideas Sundanya.

Apa yang saya tulis ini tentu merupakan tafsir belaka. Terbuka cara menafsir lain dalam pola matematikanya. Hal ini bagi saya menunjukkan tingkat kecerdasan yang tinggi pada nenek moyang orang Sunda, yang telah berpikir begitu mendalam, eksak, sederhana, dan jelas jernih. Kualitas-kualitas demikian itu sering saya jumpai dalam pergaulan dengan kawan-kawan Sunda. Bahkan yang dinamakan masyarakat Baduy yang "primitif" (kata mereka) ternyata mengandung kualitas yang saya maksudkan di atas. Artinya, kita tidak boleh menyepelekan cara berpikir tua ini yang memiliki pola rasionalnya sendiri yang amat berbeda dengan pola rasional modern..***

* Jakob Sumardjo, Budayawan

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 08 Februari 2009

No comments: