-- Hasanuddin WS*
HAL yang cukup mempengaruhi kreativitas para pengarang kita akhir-akhir ini yang juga bermuara kepada estetika karya adalah “gangguan” apa yang dapat kita sebut sebagai aspek produksi sosial teks. Satu di antara yang berhubungan dan mempengaruhi pengarang kita hari ini adalah soal peran industri media cetak dan penerbitan. Dunia popularitas dan pencitraan yang muncul sebagai efek samping dari dunia industri media cetak dan penerbitan akhir-akhir ini lebih menyebabkan munculnya kebudayaan massa yang tak terelakkan.
Melalui industri media cetak dan penerbitan, lahirlah pengarang-pengarang, sejumlah pengarang, bahkan pengarang muda belia dengan berbagai karya sastra yang memperlihatkan ciri estetika tersendiri. Hal ini sesungguhnya dapat dipahami dan tak mungkin dilepaskan dari kondisi produksi sosial teksnya. Koran dan media cetak lainnya diterbitkan di mana-mana oleh siapa saja. Sesiapa pun dengan mudah dapat memublikasikan hasil karyanya dengan cara apa saja. Pengarang yang memiliki kapital bisa memodali penerbitan karyanya sendiri, tentu setelah melalui kalkulasi perhitungan bisnis.
Karya-karya semacam ini tampak lebih “laris-manis” di pasaran daripada karya-karya cerpen atau novel yang dihasilkan oleh para pengarang dan cerpenis mapan. Penampilan fisik para cerpenis dan penulis novel yang disebutkan terakhir ini tidak begitu berbeda dengan para selebritis pada tataran “gaya hidup”, tampilan mereka bahkan berciri metroseksual. Mereka tidak (belum?) tampak sebagai sosok intelektual sebagaimana layaknya para pemikir kebudayaan yang kita kenal sebelumnya.
Kebudayaan massa yang tumbuh dan berkembang drastis ini sekaligus menyebabkan pengkajian terhadap akar tradisi budaya dan juga pengkajian silang antarbudaya yang sungguh-sungguh dari para sastrawan dan cerpenis kita belum tergarap secara maksimal sebagaimana tampak pada hasil-hasil karya mereka. Menurut Budi Darma di sinilah letak persoalan sesungguhnya.
Budi Darma berpendapat bahwa pengarang kita tidak seharusnya mengangkat unsur-unsur kebudayaan dan persoalan manusia dan kemanusiaan secara harafiah. Kerja para pengarang bukanlah kerja inventarisasi, tetapi menangkap dan mengangkat kelebat jiwa dan semangat unsur-unsur tersebut. Oleh sebab itu, Budi Darma berkesimpulan bahwa terlepas dari mutu karya sastrawan, termasuk cerpenis kita yang bagus, seharusnya masih diragukan apakah sastrawan dan cerpenis tersebut telah benar-benar menampilkan hasil galian yang sebenarnya.
Munculnya fenomena baru di dalam proses penciptaan, penerbitan, dan pemublikasian karya sastra Indonesia memunculkan pertanyaan lainnya, yaitu apakah masih penting dan relevan membicarakan aspek estetika karya secara dikotomi. Bagaimana menjelaskan fenomena tentang seorang siswa SMP, dengan uang tabungannya menerbitkan karya yang mereka tulis yang mereka sebut sebagai novel atau cerpen, dan kemudian karya mereka itu terbukti laris, laku, disukai, dan digemari oleh pembaca (seusia) nya. Mereka menulis apa yang mereka namakan cerpen dan novel itu menurut ukuran mereka sendiri.
Mereka tidak peduli dengan berbagai pakem dan aturan tentang apa yang kita sebut cerpen dan novel sebelumnya. Apa yang mereka anggap menarik untuk ditulis mereka tulis dan apa yang mereka anggap tidak perlu ditulis mereka tinggalkan. Mereka begitu menikmatinya di dalam menghasilkan karya, menerbitkannya, hingga menikmati efek samping yang mereka perloleh dari kesemuanya itu, yaitu popularitas dan dunia pencitraan. Juga bagaimana sebaiknya kita harus menjelaskan fenomena “meledaknya” Novel Laskar pelangi dan Novel Ayat-Ayat Cinta di dalam kancah penerbitan kita hari ini.
Apalagi setelah novel-novel ini difilmkan dan ditonton oleh begitu banyak orang, bahkan oleh para pemimpin negara. Ketika para pembesar negeri ini menonton film-film itu, media massa memublikasikannya secara fantastis. Apakah dapat dijelaskan melalui suatu kajian teoretis bahwa kedua novel ini keunggulan estetikanya memang melebihi Novel Keluarga Gerilya atau Novel Mereka yang Dilumpuhkan karya Pramudya Ananta Toer atau Novel Olenka karya Budi Darma?
Situasi budaya massa ini tampaknya ikut mempengaruhi sebagian besar sastrawan kita di dalam upaya menerbitkan karya-karya mereka. Hubungan antara sastrawan dan penerbit tidak sekedar urusan benefit, tetapi mungkin lebih pada aspek profit. Penerbit punya kekuatan untuk mengatur apa yang mungkin disebut sastra, baik persoalan jenis karya maupun dalam hal tematik dan stilistik.
Suatu ciptaan sastra, mampu muncul dan bertahan atau sebaliknya tidak mampu bertahan di tengah-tengah masyarakatnya, dalam beberapa hal memang disebabkan oleh karya itu sendiri. Maksudnya, meskipun karya itu diciptakan, disadur, atau disalin kembali oleh pengarang atau penulis, tetap saja pengarang atau penulis menjadi tidak mutlak. Dalam kerangka alur pikiran ini, pengarang atau penulis hanya berperan sebagai “bidan” dan bukan “ibu” bagi ciptaan sastra.
Ciptaan sastra itu merupakan “anak kandung” dari segenap lingkungan sosial yang menjadi “ibu kandung” nya. Oleh sebab itu, jika suatu ciptaan sastra mampu muncul dan bertahan di tengah-tengah publiknya, mungkin ia berutang kepada kenyataan sosial yang melingkupinya, misalnya antara lain, keberadaan bahasa dan simbol-simbol yang telah ada sebelumnya, invensi, atau penemuan alat tulis (mesin tik, komputer, komputer note book), percetakan dan penerbitan, media-massa, orientasi nilai budaya masyarakat, dan kondisi sosial politik.
Umar Junus menguatkan kenyataan ini dengan mengatakan bahwa sebuah karya seni, sastra misalnya, tercipta dan diciptakan bukan sekedar dilandasi faktor estetika semata, tetapi juga menyangkut aspek-aspek lainnya. Aspek-aspek lainnya itu adalah seperangkat kenyataan sosial di sekeliling pengarang, penulis, penyalin, atau penyadur. Perangkat sosial itu misalnya yang berhubungan dengan (a) seks, (b) pekerjaan, (c) pendidikan, (d) tempat tinggal, (e) agama, (f) nilai dan sikap hidup masyarakat, (g) kompetensi dan kesanggupan bahasa dan sastra masyarakat, dan (h) pengalaman analisisnya yang memungkinkannya mempertanyakan suatu nilai yang tak dapat lagi diterimanya.
Dengan kenyataan ini, maka dapatlah dipahami bahwa sesungguhnya proses produksi suatu cipta karya seni (cerpen, novel, puisi, teks drama) dapat ditentukan dan dikontrol baik muatan estetiknya bahkan jumlah produksinya, sedemikian rupanya, oleh apa yang kita disebut sebagai galeri, media-massa, koran, majalah, penerbit, komunitas, fans club, paket wisata, dan semacamnya.
Sekedar bahan diskusi, bagaimana seharusnya kita menyikapi apa yang ditulis Andre Hirata di dalam tetralogi Laskar pelangi-nya itu? Maksudnya, sudahkah kita pastikan secara estetika apakah yang ditulis oleh Andre Hirata itu novel (fiksi), memoar, autobiografi, atau apa namanya? Jika novel sebagaimana yang dinyatakan oleh banyak pihak dan oleh penulisnya sendiri, mengapa di dunia nyata muncul sosok sungguhan ibu guru Muslimah dan tokoh-tokoh lainnya.
Bahkan karena begitu “kacaunya” kita memaknai kondisi produksi sosial teks itu, pemerintah secara resmi memberikan penghargaan kepada Ibu Muslimah sebagai guru yang pantas diteladani hanya karena ia dilukiskan sebagai guru yang inspiratif di dalam cerita yang disebut novel oleh salah seorang bekas muridnya. Beribu bahkan puluhan ribu guru kongkret lainnya yang sungguh-sungguh mengabdi kepada dunia pendidikan pada wilayah yang bahkan lebih terpencil dibandingkan Pulau Belitung tetapi tidak ada bekas muridnya yang menuliskannya di dalam cerita mendadak terkesima.
Guru yang baik, yang pantas diberikan satyalencana oleh kepala negara ternyata indikatornya tidak lagi jelas. Pencitraan oleh media massa yang kemudian diakui bersama ternyata dapat juga dijadikan indikator oleh pemerintah. Dunia fiksi dan persepsi pada kasus ini ternyata berjalan sejajar dengan dunia nyata dan objektif faktual. Kalau sudah begini masih pentingkah membicarakan estetika sastra secara dikotomi?
* Hasanuddin WS, Guru Besar Ilmu Sastra dan Humaniora FBSS Universitas Negeri Padang
Sumber: Padang Ekspres, Minggu, 25 Januari 2009
No comments:
Post a Comment