-- Arie MP Tamba
NOL! Buku! Itulah puncak sarkasme yang pernah dilontarkan penyair Taufiq Ismail tentang jumlah buku sastra wajib di sekolah-sekolah menengah kita. Padahal, di jenjang pendidikan yang sama, (tidak untuk memuji, tapi mengemukakan fakta), pada zaman Belanda, masing-masing siswa harus membaca 15 sampai 20 buku sastra wajib. Jumlah yang masih terus dipertahankan sampai kini di sekolah-sekolah menengah di Eropa, Amerika, bahkan Asia, seperti Singapura, Jepang, Malaysia, dan juga Brunai Darussalam.
Ini semua, berangkat dari kesadaran akan besarnya fungsi karya sastra, bila diajarkan di sekolah-sekolah menengah. Di mana karya-karya sastra akan membawa siswa mengenali cara-cara membuat cerita, merangkai kisah, melayarkan imajinasi, mengenali berbagai watak manusia dan tatakrama pergaulan dari berbagai masyarakat yang berbeda, sesuai seting cerita atau latar budaya si pengarang.
Karya-karya sastra, khususnya puisi, akan melatih siswa berpikir memanfaatkan peralatan puisi: perbandingan, metafora, perumpamaan, alegori, dll. Membiasakan siswa mendayagunakan setiap kata yang mereka operasikan, agar efektif dan efisien. Tidak digelimangi istilah-istilah asing yang jauh dari konteks masalah, atau berlepotan dengan perbandingan yang tidak seukuran.
Karya-karya sastra, khususnya esai, akan membiasakan siswa dalam hal menyusun argumentasi, deskripsi, disposisi, dll. Karena kumpulan-kumpulan esai yang diperkenalkan kepada siswa itu akan menunjukkan bagaimana para esais menyusun pikiran, mengemukakan ide, menonjolkan gagasan, agar lebih menarik dibaca dan sampai dengan mudah ke pembacanya.
Dengan kata lain, pengajaran karya sastra di sekolah menengah memang tidak ada ruginya; melainkan hanya melahirkan keuntungan bagi siswa. Siswa-siswa hanya akan mendapatkan manfaat besar di bidang pengetahuan dan ilmu-ilmu kehidupan yang diajarkan secara tak langsung oleh para sastrawan, melalui karya-karya mereka.
Tapi, mengapa Indonesia, yang ketika sudah mendapatkan kemerdekaan sebagai masyarakat bebas, memiliki peluang luas untuk menciptakan calon-calon anggota masyarakat yang lebih beradab, memiliki nalar tinggi, berperilaku sopan, mengerti tatakrama pergaulan, mengakrabi ajaran moral dan agama, serta siap bekerja sama dengan berbagai orang dari latar budaya berbeda – justru memilih ’membatasi diri’, atau ’menjauhkan diri’ dari karya sastra yang bermanfaat itu?
Di sinilah persoalan harus dikenali secara mendasar. Bila menyangkut dunia pendidikan di sekolah menengah, urusannya tentu saja sejauh mana kurikulum pengajaran sastra itu disiapkan atau diadakan. Sudahkah kurikulum yang ada, memadai untuk membimbing siswa untuk dapat meraih manfaat maksimal dari karya-karya sastra?
Dari beberapa keluhan para pengajar, yang banyak mengemuka adalah pola kurikulum sastra yang salah. Pendidikan sastra terlalu banyak menekankan pentingnya hapalan, bukan pemahaman. Terlalu dibebani kurikulum sejarah dan ilmu-ilmu sastra, ketimbang pengenalan atau apreasiasi sastra yang bisa digali dari pergaulan dengan karya-karya sastra sebagaimana di negara-negara Eropa.
Sejarah sastra kita lebih banyak mengajarkan nama-nama pengarang dan periode-periode angkatan. Tentu saja ini hanya bagian permukaan saja dari dunia sastra yang sebenarnya. Sebab, nama-nama dan periode kepengarangan hanyalah label dan masa kerja pengarang. Sementara, apa yang mereka kerjakan, seperti apa mereka menghasilkannya, hanya dapat diperlihatkan oleh pengajaran apresiasi atau kritik sastra.
Apreasi dan kritik sastra, tentu saja, bukanlah semata-mata persoalan hapal menghapal, melainkan persoalan berpikir dan latihan berpikir. Tanpa mengenali karya sastra secara lebih mendalam, siswa-siswa akan gagap mengapreasi apalagi mengkritik karya sastra. Padahal, manfaat besar dari pendidikan karya sastra, hanya akan didapatkan dari apresiasi dan kritik.
Karena itu, sudah masanya mengubah kurikulum sastra yang dibebani sejarah dan ilmu sastra, dengan kurikulum sastra yang mengedepankan apresiasi dan kritik sastra. Untuk itu, di sekolah-sekolah menengah kita, tak boleh lagi ada nol buku sastra bacaan wajib. Tapi harus 15 sampai 20 buku, atau mungkin sampai 30 dan 40 buku. Agar siswa-siswa kita semakin terbiasa mengapreasiasi dan berpikir kritis tentang gambaran hidup dan kehidupan, yang coba direfleksikan para pengarang melalui karya sastra.
Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 15 Februari 2009
No comments:
Post a Comment