Sunday, February 01, 2009

Rancage

-- Arie MP Tamba

PENGHARGAAN sastra Rancage sudah berlangsung sejak 1989. Penghargaan ini secara khusus diberikan kepada para sastrawan yang telah menulis karya dan menerbitkannya sebagai buku dalam bahasa Sunda, dan juga kepada mereka (atau pihak) yang dianggap berjasa dalam pengembangan bahasa Sunda.

Namun beberapa tahun kemudian, penghargaan juga diberikan kepada para sastrawan yang menulis karyanya dalam bahasa Jawa, Bali, dan yang terbaru: Lampung. Hingga, menjadi jelas, bahwa perhatian orang yang paling berperan di balik Yayasan Rancage, yakni yayasan pemberi penghargaan sastra tersebut – tidaklah semata-mata untuk pemeliharaan sastra berbahasa Sunda semata – melainkan berbagai karya sastra berbahasa daerah di Indonesia umumnya.

Orang yang menyediakan sendiri koceknya untuk penghargaan Rancage itu, terutama pada beberapa tahun awal, adalah Ajip Rosidi. Ia seorang sastrawan Indonesia yang telah berkarya sejak usia belasan tahun, di antaranya, bahkan menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Suluh Pelajar (1953-1955) pada usia 15 tahun. Ia dikenal aktif sebagai penyair, novelis, esais, organisatoris, dan juga "juru bicara" tentang Indonesia ke dunia luar, khususnya Jepang.

Sejak April 1981, Ajip memang mengajar di Osaka Gaikokugo Daigaku (Osaka Gaidai), Osaka, Jepang. Juga memberikan kuliah pada Kyoto Sangyo Daigaku di Kyoto (1982-1996), Tenri Daigaku di Nara (1982-1995), dan di Asahi Cultural Center.

Dan selama bekerja di negeri matahari terbit itu, Ajip seperti mendapatkan keleluasaan untuk mengekspresikan dirinya. Sebuah milis menyebutkan, tak kurang dari 50 judul buku dalam bahasa Indonesia dan bahasa Sunda ia hasilkan selama di Jepang tersebut.

Sebelum ke Jepang, Ajip juga mengurusi kesenian dan kebudayaan Indonesia umumnya. Ia pernah menjabat Ketua Dewan Kesenian Jakarta, 1972-1981. Ketua Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi), Direktur Penerbit Dunia Pustaka Jaya, maupun Pemimpin Redaksi Majalah Kebudayaan Budaya Jaya (1968-1979).

Tapi secara khusus, dibandingkan kebanyakan seniman Indonesia lainnya, Ajip adalah seniman Indonesia yang paling banyak memberikan perhatian terhadap potensi sastra dan bahasa daerah (dan juga daerah secara geografis!) bagi pengembangan kesusastraan Indonesia.

Ketika pada 1950-an teman-teman sastrawannya seperti sukar melepaskan diri dari pengaruh kebudayaan dunia (baca: Barat), Ajip justru semakin mendekatkan diri dengan kebudayaan daerah, bahasa daerah, dan juga daerah. Ia sengaja meninggalkan Jakarta, ketika seniman-seniman daerah berlomba datang dan hidup di Jakarta, agar lebih langsung menggauli kebudayaan dunia seperti didengungkan Chairil Anwar, dkk. Ajip pindah ke Jatiwangi, Jawa Barat, dan berkarya dari sana.

Berkali-kali Ajip menyebutkan dalam beberapa esainya, bahwa sastrawan Indonesia pada masanya, lebih dulu mengenal bahasa ibu mereka (baca: bahasa daerah) ketimbang bahasa Indonesia. Dengan begitu, beberapa sastrawan sangat jelas memperlihatkan bagaimana mereka sebenarnya sedang mengekspresikan diri dalam bahasa daerah, yang mereka tuliskan dalam bahasa Indonesia.

Ajip sudah menemukan gejala ini jauh sebelumnya, hingga ke masa Balai Pustaka. Karya-karya sastra terbitan Balai Pustaka, sejak pada masa kolonial hingga zaman awal kemerdekaan, sangat dipengaruhi bahasa Minang. Karena pada masa itu, sastrawan Minanglah yang paling produktif dan paling banyak karyanya diterbitkan Balai Pustaka.

Uniknya, akibat yang terjadi adalah, bagaimana para sastrawan asal Jawa, Sunda, Bali, Manado, dan daerah-daerah lainnya, yang bermunculan kemudian, ikut pula menulis dalam bahasa Indonesia yang sarat dipengaruhi idiom-idiom bahasa Minang.

Lalu, pada tahun-tahun berikutnya, tarik-menarik pengaruh berbagai bahasa daerah atau bahasa ibu para sastrawan Indonesia semakin mewarnai perkembangan sastra Indonesia. Ajip menyebutkan, karya-karya Romo Mangunwijaya, Darmanto Jatman, Linus Suryadi, di antaranya, sangat jelas memperlihatkan pembauran idiom bahasa Jawa ke dalam karya sastra berbahasa Indonesia mereka.

Pada beberapa karya, pembauran ini bersifat produktif. Hasilnya adalah karya sastra berbahasa Indonesia yang semakin kaya. Tapi, pada beberapa karya penyertaan bahasa daerah ini memang terkesan dipaksakan. Maka, muncullah karya sastra berbahasa Indonesia yang dipenuhi cangkokan istilah bahasa daerah yang tidak signifikan dan fungsional.

Tapi yang jelas, kenyataan penyertaan bahasa daerah ke dalam sastra Indonesia ini, semakin meyakinkan Ajip. Bahwa potensi bahasa daerah dan kebudayaan daerah – adalah sama pentingnya dengan potensi bahasa dan kebudayaan dunia, atau lebih tepatnya potensi bahasa dan kebudayaan berbagai negara lain – sebagai bahan bagi perkembangan sastra Indonesia yang lebih dinamis di tengah pergaulan sastra global. Dulu, sekarang, esok, dan sampai kapan pun!

Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 1 Februari 2009

No comments: