Sunday, February 15, 2009

Oase Budaya: Dipandang Sebelah Mata

-- Dwi Fitria

Hingga kini pendidikan sastra belum mendapat perhatian semestinya.

Ada beberapa bacaan wajib yang harus dibaca oleh para siswa sekolah menengah di Amerika. Selain Shakespeare yang tentu saja tak akan dilewatkan, karya-karya klasik semisal A Tale of Two Cities buah pena Charles Dickens, The Scarlett Letter karya Nathaniel Hawthorne hanya sedikit dari bacaan yang wajib dibaca para pelajar sekolah menengah berusia 12-18 tahun di sana.

Tahun 2007 American Library Association (Asosiasi Perpustakaan Amerika) bahkan punya ide untuk menyandingkan buku-buku sastra klasik itu dengan karya-karya sastra yang lebih kontemporer semisal Life of Pi karya Yann Martel, The Kite Runner yang ditulis oleh Khaled Hosseini, atau Night oleh Ellie Wiesel.

Ini mereka lakukan untuk terus memupuk minat baca para siswa, dengan pemikiran bahwa para siswa akan lebih mudah mendalami materi bacaan yang lebih berhubungan dengan kondisi zaman mereka.

Di Indonesia, kondisi pengajaran sastra yang kondusif seperti itu masih jauh panggang dari api. Jangankan memasukkan buku-buku pengarang mutakhir sebagai bagian dari kurikulum, karya-karya klasik semisal Bumi Manusia, Merahnya Merah, atau Harimau Harimau saja, belum menjadi bagian dari bacaan wajib para siswa sekolah menengah. Hingga saat ini, sastra belum juga mendapatkan porsi yang semestinya dalam sistem pendidikan kita.

“Kondisi ini memang sudah jadi masalah yang belum juga ditemukan solusinya. Sastra tidak diperhatikan karena masih saja banyak yang menganggap bahwa sastra itu kurang penting. Yang dipentingkan hanyalah hal-hal yang bersifat fisik saja. Padahal pendidikan bahasa dan sastra yang tepat akan memperkaya batin para siswanya,” ujar Dewaki Kramadibrata, mantan ketua Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas
Indonesia.

Tekanan Kurikulum

Kurikulum di Indonesia, telah beberapa kali mengalami perubahan mulai dari tahun 1950, 1958, 1964, 1968, 1975/1976, 1984, 1994, 2004 dan kemudian 2006. Pada tahun 1984 pelajaran Bahasa Indonesia, berubah menjadi pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Tetapi penekanan pelajaran ini masih berat “hanya” pada aspek kebahasaannya saja. Sastra seolah-olah menjadi tambahan, karena hanya diajarkan 2-3 jam perminggu.

Sementara kurikulum terbaru, kurikulum 2006, memberikan keleluasaan bagi para guru untuk mengembangkan sendiri materi ajarnya. Dalam kurikulum baru itu ada begitu banyak mata pelajaran yang dibebankan kepada siswa. Namun, porsi pendidikan humaniora seperti bahasa dan sastra harus bersaing ketat dengan mata pelajaran lain yang berhubungan dengan eksakta.

Endo Senggono, Ketua PDS HB Jassin mengatakan ada inisiatif untuk memasukkan materi-materi sastra yang lebih “segar” ke dalam kurikulum terbaru. Beberapa peneliti pendidikan kerap datang ke PDS untuk melakukan pengayaan terhadap materi sastra yang diajarkan.

“Sayangnya kemudian, semangat yang seharusnya bisa membawa perubahan ini dibenturkan pada sistem pendidikan yang berbasis pada Ujian Nasional yang sifatnya masih tersentralisasi,” ujar Endo. “Inisiatif untuk mengajarkan materi sastra dengan lebih menekankan pada apresiasi kemudian harus terbentur pada format ujian pilihan ganda yang hanya menguji pengetahuan teknis sebatas siapa yang mengarang apa, atau karya sastra ini diciptakan pada tahun berapa, termasuk pada angkatan sastra yang mana.”

Hal lain yang masih menjadi batu sandungan adalah kompetensi guru bahasa dan sastra Indonesia. Menurut Nur Zen Hae, seorang sastrawan yang cukup punya perhatian pada perkembangan pendidikan sastra, kebanyakan guru masih terpaku pada teori bahasa alih-alih apresiasi sastra sendiri.

“Contohnya jika memelajari esai, bukannya memperkenalkan esai sebagai bentuk tulisan, tapi malah menghapalkan bentuk-bentuk esai, semisal deskriptif, atau naratif. Atau puisi, karena kurang memahami bagaimana mengupas sebuah puisi, yang dibuat kemudian adalah musikalisasi puisi. Bahkan lebih parah lagi, pelajaran tentang itu bahkan dilewatkan begitu saja.”

Menghidupkan Apreasiasi

Dalam proses pendidikan guru di fakultas-fakultas keguruan, proporsi apresiasi sastra yang sesungguhnya merupakan salah satu bagian terpenting dalam pengajaran sastra, tidak sebesar hal-hal lain yang berhubungan dengan aspek linguistiknya. “Pelajaran-pelajaran semisal morfologi, sintaksis, metode penelitian punya porsi yang besar. Mata kuliah yang berhubungan dengan apresiasi sastra mungkin hanya sepertiganya saja,” ujar penyair yang saat ini menjabat Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta itu.

Sehingga untuk mengembangkan minat sastranya, seorang mahasiswa institut keguruan harus mencari di luar. “Jangan berharap terlalu banyak dari mata kuliah yang diberikan, pendidikan sastra yang kaya justru akan didapatkan jika aktif mengunjungi diskusi dan acara sastra yang kerap diadakan di kantung-kantung budaya semisal Taman Ismail Marzuki atau Utan Kayu.”

Sementara menurut Dewaki, agak kurang tepat jika kesalahan sepenuhnya ditimpakan kepada pendidik. “Guru pada dasarnya hanya mengikuti kurikulum yang berlaku.” Kurikulum saat ini masih lebih memberikan memberikan penekanan pada penguasaan teknis bahasa saja. “Proporsi untuk membedah sastra secara lebih serius memang diberikan, tapi kesannya bukanlah sebuah kewajiban. Boleh dilakukan boleh tidak.”

Apresiasi sastra bukannya tidak diusahakan, buku-buku pelajaran dengan menggunakan kurikulum 2006 telah memasukkan proporsi semisal analisis teks sastra. “Tapi tetap teks-teks yang dimasukkan amatlah panjang. Saya tak yakin siswa berminat untuk bahkan membacanya,” ujar Dewaki.

Selain itu pelajaran bahasa yang masuk dalam kategori humaniora masih harus bersaing dengan pelajaran eksakta. “Guru harus bisa memilah-milah waktu yang sedikit, dengan pelajaran-pelajaran lain di luar bahasa, yang proporsinya tidak bisa dibilang ringan,” ujar Dewaki. ”Jalan sastra sepertinya masih panjang untuk bisa menempati posisi yang seharusnya.

Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 15 Februari 2009

No comments: