-- Imelda
KABUT asap yang melanda hampir di seluruh kota dan kabupaten di Provinsi Riau tiga minggu terakhir salah bentuk parahnya kerusahan lingkungan. Tidak saja menjadi kupasan di media cetak dan elektronik, tema tentang kerusakan lingkungan sebenarnya juga sudah menjadi pusat perhatian sejumlah sastrawan dengan menuangkannya dalam bentuk cerpen, novel, puisi dan tulisan lepas lainnya.
Menarik, humanis, dan punya nilai jual adalah alasan kenapa para sastrawan Riau mau mengangkat tema tentang kerusakan lingkungan. Cerpen ‘’Ocu Sam’’ karya sastrawan Riau Marhalim Zaini dalam kumpulan cerpen Amuk Tun Teja adalah salah satu bentuk karya sastra yang sarat dengan kritik sosial.
Marhalim mampu menggugah para pembaca dengan penyajian cerita yang detail dan latar kehidupan petani desa pemilik tanah kebun di bawah ‘jajahan’ para pendatang. Ceritanya bermula dari seorang laki-laki tua berumur hampir satu abad mengalami depresi berat karena para pendatang telah membakar kebun karet miliknya. Ucu Sam namanya, tinggal seorang diri di rumah panggung reot yang beratapkan rumbia. Lelaki tua tersebut terus menghunuskan sebilah parang panjang sambil berkeliling kampung sembari terus berjalan mengintari kampung sungai Rambai. Ucu Sam terus mengumpat dan mencaci maki para pendatang yang telah membakar habis kebun karet miliknya untuk dijadikan tanaman sawit. Ucu Sam tidak terima dengan semua kejadian itu, sampai akhirnya dia pingsan di tengah jalan dan para penduduk sungai Rambai segera menggotong tubuh renta itu ke rumahnya.
Penduduk sekitar datang berbondong-bondong melihat kejadian pagi itu. Ucu Sam terus berbicara sendiri dalam alam bawa sadarnya. Cacian serta makian terus keluar dari mulutnya. Dia tidak terima terhadap perbuatan para pendatang yang berpura-pura baik bertamu ke kampungnya. Mereka para pendatang telah merampas hak penduduk kampung dan menukarnya dengan kesengsaraan. Kedatangan mereka dengan tujuan ingin menguasai kampung yang sudah ratusan tahun dipeliharanya dengan segala keasrian yang mempesona.
Oleh sebab itu, Ucu Sam ingin membuka mata hati penduduk kampungnya agar tidak terkecoh oleh bujuk rayu pendatang yang berpura-pura baik. Ucu Sam tidak tahu lagi apa yang harus dilakukannya karena tidak satupun orang yang mengerti apa yang dirasakannya. Jangankan orang lain, keluarganya sendiri telah meninggalkannya.
Cerpen ‘’Ocu Sam’’ karya Marhalim Zaini, mengalir, tersaji apik, menarik dan bahasa yang menggugah. Kental dengan bahasa Melayu.
‘’Pukimak! Ini pasti ulah bule bedebah itu! Betul cakapku dulu, pasti budak-budak yang sok pandai tu telah mulai berani buat rusuh, telah berani membawa penjajah ke kampung kita ni. Tengoklah kebun karetku satu-satunya telah mereka bakar. Mereka kira aku ni bengal, tak tau menahu tentang politik kotor mereka tu. Pukimak! Mentang-mentang aku tak sekolah, mereka seenaknya nak menukar kebun karet aku tu dengan janji-janji busuk mereka tu. Oi...ke sinilah! kubabat batang leher kalian...’’! (Amuk Tun Teja, 85).
Kata Pukimak adalah sesuatu ungkapan kebencian dan kemarahan yang tidak tertahankan. Dalam cerpen ini pengarang ingin menyampaikan kesedihan dan kekecewaannya karena negeri yang sangat dicintainya itu telah dirusak oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Pengarang melihat penyerobotan lahan-lahan perkebunan yang terjadi di sekitarnya. Pembakaran kebun karet dilakukan para pemilik HPH (Hak Penguasaan Hutan). Itulah yang terjadi pada kebun karet milik Ucu Sam, yang kemudian juga menimpa kebun karet Wak Loyang dan warga lainnya.
Keluguan, hingga menyebabkan pembakaran lahan di Riau dalam cerpen “Ocu Sam” merupakan gambaran masyarakat kebanyakan yang ada di banyak perkebunan di tanah air. Pengarang piawai menggambarkan peristiwa-peristiwa yang melanda negerinya dengan perantaraan tokoh utama Ucu Sam.
Novel Pasca-Orba
Kritik sosial yang bertema kerusakan lingkungan sebenarnya juga sering diangkat sastrawan Riau yang lain dalam bentuk novel. Dessy Wahyuni dalam tulisan berjudul ‘’Konflik Sosial-Lingkungan dalam Tiga Novel Karya Sastrawan Asal Riau Pasca-Orde Baru’’, menyebut nama Ediruslan Pe Amanriza (Dikalahkan Sang Sapurba, 2000), Hary B Kori’un (Nyanyi Sunyi dari Indragiri, 2004), dan Marhalim Zaini (Hikayat Kampung Mati, 2007).
Beberapa novel yang terbit pasca-Orde Baru ini telah mampu melontarkan kritik sosial-lingkungan, khususnya yang terjadi di Riau, baik secara eksplisit maupun implisit. Konflik yang digambarkan para pengarang tersebut terjadi akibat adanya perbedaan kepentingan beberapa pihak, yaitu masyarakat yang hidup di sekitar hutan, pengusaha, dan juga pemerintah, dalam pengelolaan sumber daya hutan yang ada.
Sebut saja, Dikalahkan Sang Sapurba, karya Ediruslam, secara nyata mengambil latar tempat yang pernah menjadi lokasi persengketaan lahan. Selain latar tempat, Ediruslan juga menciptakan tokoh dan peristiwa yang persis dengan karakter dan kejadian yang ada di dunia nyata. Dengan berasumsi bahwa kelahiran sastra tidak dari kekosongan sosial, maka sastrawan ini telah berhasil merefleksikan realitas sosial ke dalam karyanya.
Ketiga sastrawan ini telah secara lugas menyuguhkan kepada pembaca tentang konflik lahan yang terjadi antara masyarakat di sekitar hutan dengan pihak perusahaan yang sering berlindung di balik punggung pemerintah. Dalam novel-novel tersebut terlihat bahwa masyarakat harus terusir dari tanahnya sendiri akibat alih fungsi hutan menjadi perkebunan atau pabrik kayu. Namun dalam situasi seperti ini, pemerintah tetap saja berpihak pada pemilik modal.
Perusakan lahan dan hutan yang tergambar dalam cerpen “Ocu Sam” (Amuk Tun Teja) dan ketiga novel tersebut memperlihatkan betapa kritisnya para satrawan menyikapi persoalan yang ada di Provinsi Riau. Lewat tulisannya, para sastrawan menyintil, menggoda dan mengkritik orang-orang yang merusak lingkungan. Seakan mereka sadar betul, kerusakan lingkungan berakibat terjadinya kebakaran lahan/hutan, banjir dan punahnya sejumlah satwa. Parahnya lagi, kerusakan lingkungan juga berdampak buruk terhadap kehidupan masyarakat, sehingga timbulnya kemiskinan dan penduduk pun hidup dalam kemelaratan. Masihkah kita terus membiarkan kerusakan lingkungan? n
Imelda, Pegawai Balai Bahasa Provinsi Riau
Sumber: Riau Pos, Minggu, 30 Juni 2013
KABUT asap yang melanda hampir di seluruh kota dan kabupaten di Provinsi Riau tiga minggu terakhir salah bentuk parahnya kerusahan lingkungan. Tidak saja menjadi kupasan di media cetak dan elektronik, tema tentang kerusakan lingkungan sebenarnya juga sudah menjadi pusat perhatian sejumlah sastrawan dengan menuangkannya dalam bentuk cerpen, novel, puisi dan tulisan lepas lainnya.
Menarik, humanis, dan punya nilai jual adalah alasan kenapa para sastrawan Riau mau mengangkat tema tentang kerusakan lingkungan. Cerpen ‘’Ocu Sam’’ karya sastrawan Riau Marhalim Zaini dalam kumpulan cerpen Amuk Tun Teja adalah salah satu bentuk karya sastra yang sarat dengan kritik sosial.
Marhalim mampu menggugah para pembaca dengan penyajian cerita yang detail dan latar kehidupan petani desa pemilik tanah kebun di bawah ‘jajahan’ para pendatang. Ceritanya bermula dari seorang laki-laki tua berumur hampir satu abad mengalami depresi berat karena para pendatang telah membakar kebun karet miliknya. Ucu Sam namanya, tinggal seorang diri di rumah panggung reot yang beratapkan rumbia. Lelaki tua tersebut terus menghunuskan sebilah parang panjang sambil berkeliling kampung sembari terus berjalan mengintari kampung sungai Rambai. Ucu Sam terus mengumpat dan mencaci maki para pendatang yang telah membakar habis kebun karet miliknya untuk dijadikan tanaman sawit. Ucu Sam tidak terima dengan semua kejadian itu, sampai akhirnya dia pingsan di tengah jalan dan para penduduk sungai Rambai segera menggotong tubuh renta itu ke rumahnya.
Penduduk sekitar datang berbondong-bondong melihat kejadian pagi itu. Ucu Sam terus berbicara sendiri dalam alam bawa sadarnya. Cacian serta makian terus keluar dari mulutnya. Dia tidak terima terhadap perbuatan para pendatang yang berpura-pura baik bertamu ke kampungnya. Mereka para pendatang telah merampas hak penduduk kampung dan menukarnya dengan kesengsaraan. Kedatangan mereka dengan tujuan ingin menguasai kampung yang sudah ratusan tahun dipeliharanya dengan segala keasrian yang mempesona.
Oleh sebab itu, Ucu Sam ingin membuka mata hati penduduk kampungnya agar tidak terkecoh oleh bujuk rayu pendatang yang berpura-pura baik. Ucu Sam tidak tahu lagi apa yang harus dilakukannya karena tidak satupun orang yang mengerti apa yang dirasakannya. Jangankan orang lain, keluarganya sendiri telah meninggalkannya.
Cerpen ‘’Ocu Sam’’ karya Marhalim Zaini, mengalir, tersaji apik, menarik dan bahasa yang menggugah. Kental dengan bahasa Melayu.
‘’Pukimak! Ini pasti ulah bule bedebah itu! Betul cakapku dulu, pasti budak-budak yang sok pandai tu telah mulai berani buat rusuh, telah berani membawa penjajah ke kampung kita ni. Tengoklah kebun karetku satu-satunya telah mereka bakar. Mereka kira aku ni bengal, tak tau menahu tentang politik kotor mereka tu. Pukimak! Mentang-mentang aku tak sekolah, mereka seenaknya nak menukar kebun karet aku tu dengan janji-janji busuk mereka tu. Oi...ke sinilah! kubabat batang leher kalian...’’! (Amuk Tun Teja, 85).
Kata Pukimak adalah sesuatu ungkapan kebencian dan kemarahan yang tidak tertahankan. Dalam cerpen ini pengarang ingin menyampaikan kesedihan dan kekecewaannya karena negeri yang sangat dicintainya itu telah dirusak oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Pengarang melihat penyerobotan lahan-lahan perkebunan yang terjadi di sekitarnya. Pembakaran kebun karet dilakukan para pemilik HPH (Hak Penguasaan Hutan). Itulah yang terjadi pada kebun karet milik Ucu Sam, yang kemudian juga menimpa kebun karet Wak Loyang dan warga lainnya.
Keluguan, hingga menyebabkan pembakaran lahan di Riau dalam cerpen “Ocu Sam” merupakan gambaran masyarakat kebanyakan yang ada di banyak perkebunan di tanah air. Pengarang piawai menggambarkan peristiwa-peristiwa yang melanda negerinya dengan perantaraan tokoh utama Ucu Sam.
Novel Pasca-Orba
Kritik sosial yang bertema kerusakan lingkungan sebenarnya juga sering diangkat sastrawan Riau yang lain dalam bentuk novel. Dessy Wahyuni dalam tulisan berjudul ‘’Konflik Sosial-Lingkungan dalam Tiga Novel Karya Sastrawan Asal Riau Pasca-Orde Baru’’, menyebut nama Ediruslan Pe Amanriza (Dikalahkan Sang Sapurba, 2000), Hary B Kori’un (Nyanyi Sunyi dari Indragiri, 2004), dan Marhalim Zaini (Hikayat Kampung Mati, 2007).
Beberapa novel yang terbit pasca-Orde Baru ini telah mampu melontarkan kritik sosial-lingkungan, khususnya yang terjadi di Riau, baik secara eksplisit maupun implisit. Konflik yang digambarkan para pengarang tersebut terjadi akibat adanya perbedaan kepentingan beberapa pihak, yaitu masyarakat yang hidup di sekitar hutan, pengusaha, dan juga pemerintah, dalam pengelolaan sumber daya hutan yang ada.
Sebut saja, Dikalahkan Sang Sapurba, karya Ediruslam, secara nyata mengambil latar tempat yang pernah menjadi lokasi persengketaan lahan. Selain latar tempat, Ediruslan juga menciptakan tokoh dan peristiwa yang persis dengan karakter dan kejadian yang ada di dunia nyata. Dengan berasumsi bahwa kelahiran sastra tidak dari kekosongan sosial, maka sastrawan ini telah berhasil merefleksikan realitas sosial ke dalam karyanya.
Ketiga sastrawan ini telah secara lugas menyuguhkan kepada pembaca tentang konflik lahan yang terjadi antara masyarakat di sekitar hutan dengan pihak perusahaan yang sering berlindung di balik punggung pemerintah. Dalam novel-novel tersebut terlihat bahwa masyarakat harus terusir dari tanahnya sendiri akibat alih fungsi hutan menjadi perkebunan atau pabrik kayu. Namun dalam situasi seperti ini, pemerintah tetap saja berpihak pada pemilik modal.
Perusakan lahan dan hutan yang tergambar dalam cerpen “Ocu Sam” (Amuk Tun Teja) dan ketiga novel tersebut memperlihatkan betapa kritisnya para satrawan menyikapi persoalan yang ada di Provinsi Riau. Lewat tulisannya, para sastrawan menyintil, menggoda dan mengkritik orang-orang yang merusak lingkungan. Seakan mereka sadar betul, kerusakan lingkungan berakibat terjadinya kebakaran lahan/hutan, banjir dan punahnya sejumlah satwa. Parahnya lagi, kerusakan lingkungan juga berdampak buruk terhadap kehidupan masyarakat, sehingga timbulnya kemiskinan dan penduduk pun hidup dalam kemelaratan. Masihkah kita terus membiarkan kerusakan lingkungan? n
Imelda, Pegawai Balai Bahasa Provinsi Riau
Sumber: Riau Pos, Minggu, 30 Juni 2013
No comments:
Post a Comment