-- Ahmad Ubaidillah
ADA satu fenomena dari dunia kampus akhir-akhir ini yang menarik untuk diamati. Tindakan dan pemikiran orang-orang kampus, meski tidak semua, telah mengalami kecenderungan yang bersifat remeh, tidak esensial, dan banal. Rektor, dosen, dan mahasiswa, sebagai elemen utama kampus, telah merayakan banalitas budaya kampus. Ruang-ruang kebudayaan dipenuhi oleh berbagai pertunjukan, tontonan, tayangan, representasi dan tindakan-tindakan yang mengeksploitasi berbagai bentuk yang bersifat permukaan. Hal-hal yang bersifat substansial (intelektualitas, moralitas, spiritualitas) dilibas oleh sesuatu yang bersifat sensasional (kesenangan, tontonan, pertunjukan).
Theodor Adorno, salah satu teoritikus dari Mahzab Frankfurt (Frankfurt School), mengatakan kebudayaan yang dibangun mengikuti model-model budaya komoditas atau industri budaya, hanya menghasilkan wujud-wujud kebudayaan yang dangkal, yang di dalamnya lebih dipentingkan daya tarik, keterpesonaan, dan ekstasi massa yang bersifat temporer, dengan mengeksploitasi berbagai fetishism, untuk memenuhi "hasrat rendah" (desire) manusia, di antaranya adalah seks, kekerasan, dan mistik.
Kebudayaan yang dibungkus dengan format budaya massa tersebut biasanya dikendalikan oleh sekelompok elite (produsen, pengusaha, media massa) untuk menarik massa yang luas dan menciptakan bentuk-bentuk kebudayaan yang dapat dipahami dengan mudah oleh massa sehingga ia cenderung bergantung pada bentuk-bentuk kebudayaan yang ringan, enteng, mudah, menghibur, "menarik perhatian" (eye catching), dan menimbulkan pesona?inilah banalitas budaya, sebuah budaya yang remeh-temeh.
Dalam konteks kampus, budaya remeh-temeh tersebut akan menciptakan sebuah lingkungan, keadaan, dan suasana kampus, yang tidak ubahnya seperti shop display, di mana mahasiswa lebih senang menampilkan gaya pakaian, gaya bicara, gaya ponsel, gaya kendaraan, gaya tongkrongan, sebagai cara untuk menampilkan status, prestise, dan kelas, ketimbang mengejar ilmu pengetahuan.Mereka asyik tenggelam dalam mengejar tugas, nilai, dan kelulusan, tetapi tidak punya waktu, keinginan, dan antusias untuk bersosialisasi dan bergaul di dalam kehidupan nyata (sosial, politik, kultural, spiritual).
Tidak hanya itu, banalitas kampus saat ini telah menciptakan kondisi kampus yang penuh dengan ruang-ruang budaya populer dan gaya hidup. Aktivitas-aktivitas kampus, di satu pihak kini mengikuti model-model ekspresi budaya populer, misalnya kuliah di sebuah kafe, yang menyediakan doorprize, studi banding (baca: jalan-jalan) yang disponsori perusahaan; di pihak lain, mengikuti model asylum, mahasiswa dikondisikan hidup di dalam sebuah ruang steril, yang tidak ada kontak dengan masyarakat, dan terlibat menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat. Padahal, kontak dengan masyarakat dan terlibat menyelesaikan persoalan-persoalan masyarakat, misalnya memberikan pencerahan keilmuan atau memberikan pendidikan kewirausahaan, sudah menjadi tugas dan tanggung jawab seorang mahasiswa.
Banalitas budaya kampus juga menciptakan anak bangsa (mahasiswa) sebagai manusia penerus bangsa yang cenderung hanyut, terpesona atau menerima begitu saja apa-apa yang ditawarkan padanya (tontonan, produk, kesenangan, gaya, gaya hidup), tanpa mampu lagi mengembangkan daya kritis dalam dirinya dan mencoba melawan. Inilah manusia yang digambarkan Baudrillard, In the Shadow of the Silent Majorities (1983), sebagai manusia fatalis, yang tidak berdaya di dalam kekuasaan sistem (objek, tontonan, media, citra), manusia yang terlena dalam kesadaran dan hanyut di dalam logikanya--homo fatalis.
Anehnya, manusia kampus sebagai manusia fatalis sudah terserap ke dalam berbagai dunia (musik, fashion, komoditas, gaya hidup) yang bersifat enteng dan remeh-temeh, dan tidak dapat melepaskan diri darinya. Kalau sudah begini, manusia kampus tersebut sudah menjadi mayoritas yang diam (the silent majorities), yang tidak mampu melakukan kritik dan refleksi dan mereka hanya dapat menyerap segala sesuatu yang disodorkan kepadanya tanpa mampu menginternalisasikan, mengkritisi, dan memaknainya secara jernih dan bemakna.
Manusia kampus (rektor, dosen, mahasiswa, dan sebagainya) ketika sudah ?teracuni? banalitas budaya akan menjadi manusia penikmat (gaya, pengetahuan, teori), ketimbang pencipta. Mereka lebih nyaman menjadi pemakai ketimbang pencipta.
Akibatnya, ini hanya menghasilkan kebudayaan yang tidak produktif, yang hanya terperosok pada budaya konsumerisme. Inilah anak bangsa yang menghabiskan hidupnya, di satu pihak, untuk mencari nilai, gelar, pangkat, dan kelulusan; di pihak lain kepuasaan, keterpesonaan dan kesenangan, dan tidak punya waktu lagi untuk mengembangkan aspek-aspek kemanusiaan lainnya, seperti intelektualitas, produktivitas, sosialitas, spiritualitas, dan religiositas.
Oleh karena itu, dalam meneropong arah budaya kampus di masa depan agar tidak terjadi budaya remeh-temeh tersebut, harus ada upaya-upaya untuk menghentikan dominasi banalitas, popularisme, sifat steril, dan asylum budaya kampus. Seluruh "warga" kampus harus menciptakan budaya tandingan (counter culture) untuk mengimbangi atau melawan budaya banal tersebut sehingga kelak akan tercipta sebuah wajah budaya kampus yang lebih produktif, substantif, humanis, dan bermakna, yang di dalamnya manusia-manusia kampus tidak lagi menjadi "subjek pasif" kebudayaan, tetapi menjadi "subjek aktif", yang mampu secara dinamis, kreatif, dan inovatif membangun dunia kebudayaannya sendiri.
Selain itu, untuk membangun budaya kampus yang lebih humanis, bermakna, dan luhur, kita harus mereproduksi "manusia aktivis", yaitu manusia yang mempunyai daya kritis, daya kreativitas, jiwa kepeloporan, keinginan berprestasi, hasrat inovasi, dan jiwa kosmopolitan, yang secara bersama-sama mampu membangun sebuah masyarakat yang tidak lagi dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan luar (kapitalisme, globalisasi, atau neoliberalisme), tetapi secara kreatif mampu memproduksi sebuah budaya yang digali dari nilai-nilai, budaya bangsa sendiri yang bermuatan kebaikan, kebenaran, dan keindahan.
Ahmad Ubaidillah, Mahasiswa pada Program Magister Studi Islam UII Yogyakarta
Sumber: Lampung Post, Selasa, 18 Juni 2013
No comments:
Post a Comment