"WAYAN... Wayan... si tua itu tak pernah kelihatan kalau sedang dibutuhkan," teriak Gusti Biang (Ninik L Karim), seorang perempuan tua, memanggil Wayan (Irianto), pembantunya.
Adegan itu membuka lakon satu babak Teater Mandiri berjudul Bila Malam Bertambah Malam. Pementasan yang disutradarai Putu Wijaya itu bertutur tentang cinta yang bersemi di antara dua manusia terbentur dengan keangkuhan tatanan sosial di Bali.
Ratu Ngurah (Arswendy Nasution) dari kasta tertinggi di Bali jatuh hati dengan Nyoman Niti (Fien Herman) yang berkasta Sudra. Keangkuhan tatanan sosial itu tergambarkan dalam sosok Gusti Biang yang merupakan Ibu Ngurah.
Pementasan yang digelar di Teater Salihara pada 21-22 Juni itu diangkat dari novel Bila Malam Bertambah Malam karya Putu Wijaya yang ditulis 49 tahun lalu.
Lakon Biang digambarkan Putu sebagai bangsawan tua sisa-sisa feodalisme yang hidup di masyarakat Bali ketika zaman kemerdekaan RI. Biang masih ingin mempertahankan tatanan lama yang menjerat manusia berdasarkan kasta dan status sosial.
Guncangan pun tak terhindarkan akibat perbenturan nilai lama yang akan melapuk dengan mekarnya nilai-nilai baru. Biang tak siap menerima kenyataan bahwa dunia sudah berubah. "Bahwa dunia sudah berubah, orang harus menghargai satu sama lain tanpa membeda-bedakan lagi," kata Wayan dalam satu adegan.
Ngurah bukannya tidak menyadari tabiat sang ibu. Ia terpaksa memendam lama bunga cintanya kepada Nyoman, pembantu yang sudah 10 tahun mengabdi di keluarganya. Dalam cerita ini, seluruh percikan konflik bersumber dari Biang yang diperankan dengan apik oleh Ninik.
Penonton terhanyut dengan karakter keras kepala, egois, serakah, angkuh, kikir, munafik, dan kejam. Seluruh sifat jahat manusia tercampur di dalam sosok Biang. Diam-diam, Biang juga menyembunyikan aib besar di balik kemasyhuran nama besar keluarganya. Cerita berakhir bahagia bagi semua.
Serbaminimalis Sebagai sutradara sekaligus penulis naskah, Putu Wijaya berhasil membuat alur terasa hidup dengan percikan konflik yang sangat sederhana. Tata panggung yang serbaminimalis, hanya dua meja, satu kursi, dan sebuah foto I Gusti Ngurah Ketut, suami Biang, mampu ditutupi dengan akting brilian para pelakon. Lewat peran psikologi, setiap karakter digambarkan dan digali secara nyata dengan dialog yang singkat tapi terasa hidup.
Putra Bali ini hendak menunjukkan realitas bahwa manusia kerap membenam kebenaran demi menjaga apa yang diyakini sebagai harmoni. Topeng demi topeng saling bertukar untuk menutupi kebohongan dengan kebohongan lainnya. Lewat tokoh Biang, ia menyindir sikap diskriminasi yang masih tumbuh subur di masyarakat. Mulai dari pengusiran kelompok Syiah Sampang, Ahmadiyah, hingga sengketa Gereja Yasmin.
"Bila Malam Bertambah Malam relevan dengan kondisi sekarang. Kondisi yang membutuhkan perubahan hingga tercapai Indonesia tanpa diskriminasi," tegasnya. (Pol/M-2)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 23 Juni 2013
Ratu Ngurah (Arswendy Nasution) dari kasta tertinggi di Bali jatuh hati dengan Nyoman Niti (Fien Herman) yang berkasta Sudra. Keangkuhan tatanan sosial itu tergambarkan dalam sosok Gusti Biang yang merupakan Ibu Ngurah.
Pementasan yang digelar di Teater Salihara pada 21-22 Juni itu diangkat dari novel Bila Malam Bertambah Malam karya Putu Wijaya yang ditulis 49 tahun lalu.
Lakon Biang digambarkan Putu sebagai bangsawan tua sisa-sisa feodalisme yang hidup di masyarakat Bali ketika zaman kemerdekaan RI. Biang masih ingin mempertahankan tatanan lama yang menjerat manusia berdasarkan kasta dan status sosial.
Guncangan pun tak terhindarkan akibat perbenturan nilai lama yang akan melapuk dengan mekarnya nilai-nilai baru. Biang tak siap menerima kenyataan bahwa dunia sudah berubah. "Bahwa dunia sudah berubah, orang harus menghargai satu sama lain tanpa membeda-bedakan lagi," kata Wayan dalam satu adegan.
Ngurah bukannya tidak menyadari tabiat sang ibu. Ia terpaksa memendam lama bunga cintanya kepada Nyoman, pembantu yang sudah 10 tahun mengabdi di keluarganya. Dalam cerita ini, seluruh percikan konflik bersumber dari Biang yang diperankan dengan apik oleh Ninik.
Penonton terhanyut dengan karakter keras kepala, egois, serakah, angkuh, kikir, munafik, dan kejam. Seluruh sifat jahat manusia tercampur di dalam sosok Biang. Diam-diam, Biang juga menyembunyikan aib besar di balik kemasyhuran nama besar keluarganya. Cerita berakhir bahagia bagi semua.
Serbaminimalis Sebagai sutradara sekaligus penulis naskah, Putu Wijaya berhasil membuat alur terasa hidup dengan percikan konflik yang sangat sederhana. Tata panggung yang serbaminimalis, hanya dua meja, satu kursi, dan sebuah foto I Gusti Ngurah Ketut, suami Biang, mampu ditutupi dengan akting brilian para pelakon. Lewat peran psikologi, setiap karakter digambarkan dan digali secara nyata dengan dialog yang singkat tapi terasa hidup.
Putra Bali ini hendak menunjukkan realitas bahwa manusia kerap membenam kebenaran demi menjaga apa yang diyakini sebagai harmoni. Topeng demi topeng saling bertukar untuk menutupi kebohongan dengan kebohongan lainnya. Lewat tokoh Biang, ia menyindir sikap diskriminasi yang masih tumbuh subur di masyarakat. Mulai dari pengusiran kelompok Syiah Sampang, Ahmadiyah, hingga sengketa Gereja Yasmin.
"Bila Malam Bertambah Malam relevan dengan kondisi sekarang. Kondisi yang membutuhkan perubahan hingga tercapai Indonesia tanpa diskriminasi," tegasnya. (Pol/M-2)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 23 Juni 2013
No comments:
Post a Comment