-- Aristofani Fahmi
SETIAP tahun perhelatan dalam rangka ulang tahun kota Pekanbaru, panitia selalu menghadirkan panggung seni sebagai ajang hiburan. Namun, panggung expo yang bertajuk “panggung seni melayu” tahun ini sedikit berbeda. Perbedaannya adalah pengisi acara pada malam ketiga tanggal 21 Juni 2013 penyelenggaraan kegiatan. Jika pada malam sebelumnya pengisi acara didominasi oleh sajian budaya melayu, malam ketiga dihadirkan pengisi acara dari kebudayaan Bali. Komunitas Nak Nik Etnik memberi warna lain pada ruang pertunjukan malam itu.
Nak Nik Etnik menyajikan tiga musik garapan pada penampilannya sebagai penutup acara malam ketiga Pekanbaru Expo. Pertunjukan mereka dimulai dengan sebuah karya musik yang diberi judul Gebyar. Kemungkinan judul ini diambil dari nama perangkat gamelan yang paling populer di Bali saat ini, yaitu Gong Kebyar: instrumen yang digunakan merupakan sebagian kecil dari perangkat gamelan Gong Kebyar. Kalau boleh memperkenalkan beberapa instrumen tersebut antara lain, Jublag, Gangsa polos, Gangsa Nyangsih, Kantil Polos, Kantil Nyangsih, dan Kempluk. Selain itu juga ada dua buah gitar akustik sebagai instrumen yang turut melengkapi garapan.
Karya ‘’Gebyar’’ memang pas sengaja dimainkan sebagai pembuka Tempo yang cepat dan penuh semangat berhasil menarik perhatian penonton yang memadati area Expo di kawasan purna MTQ. Menarik, sebab tanpa sadar interval nada slendro khas Bali dihadirkan secara ‘live’ yang selama ini mungkin hanya dapat dikenali melalui media. Selain itu teknik Polos-Nyangsih atau bersahutan antara gamelan satu dengan yang lainnya makin menambah “Gebyar” pertunjukan Nak Nik Etnik. Ya... Itulah yang menjadi salah satu daya tarik gamelan Bali: pertunjukan sekaligus akrobat bunyi.
Karya kedua berjudul Janger. karya ini ditandai dengan masuknya seorang perempuan sambil menari dengan gemulai bergerak ke tengah panggung. Rupanya perempuan tadi seorang vokalis. Karya ini merupakan garapan baru terhadap lagu dolanan anak-anak yang juga berjudul Janger. Berbeda dari karya pertama, karya Janger digarap lebih ‘soft’ dengan tempo yang lambat. Tak ketinggalan pola pola permainan cecandetan yang mirip dengan teknik bersahutan dalam polos-nyangsih kembali menjadi andalan. Lagu Janger pernah digarap juga oleh gitaris I Wayan Balawan. Hanya saja gitaris yang berjuluk magic fingers ini menggarap lagu Janger dengan konsep rock.
Karya terakhir penampilan Nak Nik Etnik menggarap lagu slow rock berjudul “ ‘ada yang hilang’ band Bip. Pada garapan ini, teknik berpadu dengan teknik undur-undur atau permainan cecandetan mengisi sajian. Secara keseluruhan sajian terakhir ini memberikan kesempatan yang lebih leluasa kepada dua buah gitar akustik untuk bermain mengisi jalinan pola melodis yang dibentuk oleh gamelan. Lagu slow rock yang dibawakan menjelma menjadi rock dengan wajah yang lain: world music?
Diakui oleh komposer Nak Nik Etnik, Ida Bagus Gede Dharma karya yang dibawakan mencoba memadukan dua unsur musik, yakni etnik dan akustik (unplugged). Teknik permainan Gamelan didapat semasa kecil di Banjar (sebutan untuk desa) di Bali. Perdaduan musik Bali dan unsur lainbukan pertama kali dilakukannya. ‘’Semasa kuliah di Surabaya pernah membentuk kelompok bersama kawan-kawan di kampus,’’ kata Gede Dharma saat latihan di Pura 20 Juni 2013.
Sebagaimana proses kreatif yang diterapkan Gede Dharma di Surabaya, karya digarap dengan gitar atau piano pada seputar akor A. Hal ini disebabkan instrumen interval nada gamelan Bali dekat dengan frekuensi akor A dalam interval nada musik barat. Namun jika disimak lebih detail, perpaduan dua instrumen ini (gitar dan gamelan) tidak sepenuhnya memainkan nada yang tepat. Sesekali terdengar nada yang agak false di antara jalinan melodi yang dimainkan. Bagi penulis, hal ini merupakan keunikan tersendiri. Kesan false tersebut memberi tanda bahwa dua unsur masing-masing memiliki kontribusi dalam pembentukan estetetika: bukan barat bukan timur, tapi keduanya. Dalam dunia gamelan, baik Jawa maupun Bali fenomena ini disebut dengan ‘blero’ atau dia nada yang tidak persis sama. Dan memang tidak akan pernah ada dua nada yang sama frekuensinya dalam satu atau dua buah instrumen. Dalam musik barat hal ini dikenal dengan istilah dissonan.
Menurut Manager Nak Nik Etnik, Putu Andy, Nak Nik Etnik berasal dari bahasa Bali anak kecil. Makna dari anak kecil adalah sesuatu yang masih baru. Maksudnya adalah kesadaran kami mengenai keberadaan kami di kota Pekanbaru. Komunitas ini dibentuk sebagai upaya untuk menjadi bagian dari Kota Pekanbaru.
Nak Nik Etnik yang personilnya antara lain: Ida Bagus Gede Dharma, Putu Andy, Gede Artha, Agung Wira, Putu Nita, Made Faramita, Badai, Gede Eben dan mahasiswa Sendratasik UIR Joserizal. Kecuali Joserizal, peraonil Nak Nik Etnik adalah umat Hindu di Pura Jagatnatha Pekanbaru ini yang mencoba berkenalan dengan publik kota Pekanbaru. Sambutan hangat publik Pekanbaru malam itu menjadi awal yang baik bagi eksistensi komunitas Nak Nik Etnik kedepannya. ‘’Semoga masyarakat Pekanbaru dapat menerima keberadaan kami,’’ tutur Putu Andy.***
Aristofani Fahmi, penonton kesenian. Tinggal di Pekanbaru
Sumber: Riau Pos, Minggu, 30 Juni 2013
SETIAP tahun perhelatan dalam rangka ulang tahun kota Pekanbaru, panitia selalu menghadirkan panggung seni sebagai ajang hiburan. Namun, panggung expo yang bertajuk “panggung seni melayu” tahun ini sedikit berbeda. Perbedaannya adalah pengisi acara pada malam ketiga tanggal 21 Juni 2013 penyelenggaraan kegiatan. Jika pada malam sebelumnya pengisi acara didominasi oleh sajian budaya melayu, malam ketiga dihadirkan pengisi acara dari kebudayaan Bali. Komunitas Nak Nik Etnik memberi warna lain pada ruang pertunjukan malam itu.
Nak Nik Etnik menyajikan tiga musik garapan pada penampilannya sebagai penutup acara malam ketiga Pekanbaru Expo. Pertunjukan mereka dimulai dengan sebuah karya musik yang diberi judul Gebyar. Kemungkinan judul ini diambil dari nama perangkat gamelan yang paling populer di Bali saat ini, yaitu Gong Kebyar: instrumen yang digunakan merupakan sebagian kecil dari perangkat gamelan Gong Kebyar. Kalau boleh memperkenalkan beberapa instrumen tersebut antara lain, Jublag, Gangsa polos, Gangsa Nyangsih, Kantil Polos, Kantil Nyangsih, dan Kempluk. Selain itu juga ada dua buah gitar akustik sebagai instrumen yang turut melengkapi garapan.
Karya ‘’Gebyar’’ memang pas sengaja dimainkan sebagai pembuka Tempo yang cepat dan penuh semangat berhasil menarik perhatian penonton yang memadati area Expo di kawasan purna MTQ. Menarik, sebab tanpa sadar interval nada slendro khas Bali dihadirkan secara ‘live’ yang selama ini mungkin hanya dapat dikenali melalui media. Selain itu teknik Polos-Nyangsih atau bersahutan antara gamelan satu dengan yang lainnya makin menambah “Gebyar” pertunjukan Nak Nik Etnik. Ya... Itulah yang menjadi salah satu daya tarik gamelan Bali: pertunjukan sekaligus akrobat bunyi.
Karya kedua berjudul Janger. karya ini ditandai dengan masuknya seorang perempuan sambil menari dengan gemulai bergerak ke tengah panggung. Rupanya perempuan tadi seorang vokalis. Karya ini merupakan garapan baru terhadap lagu dolanan anak-anak yang juga berjudul Janger. Berbeda dari karya pertama, karya Janger digarap lebih ‘soft’ dengan tempo yang lambat. Tak ketinggalan pola pola permainan cecandetan yang mirip dengan teknik bersahutan dalam polos-nyangsih kembali menjadi andalan. Lagu Janger pernah digarap juga oleh gitaris I Wayan Balawan. Hanya saja gitaris yang berjuluk magic fingers ini menggarap lagu Janger dengan konsep rock.
Karya terakhir penampilan Nak Nik Etnik menggarap lagu slow rock berjudul “ ‘ada yang hilang’ band Bip. Pada garapan ini, teknik berpadu dengan teknik undur-undur atau permainan cecandetan mengisi sajian. Secara keseluruhan sajian terakhir ini memberikan kesempatan yang lebih leluasa kepada dua buah gitar akustik untuk bermain mengisi jalinan pola melodis yang dibentuk oleh gamelan. Lagu slow rock yang dibawakan menjelma menjadi rock dengan wajah yang lain: world music?
Diakui oleh komposer Nak Nik Etnik, Ida Bagus Gede Dharma karya yang dibawakan mencoba memadukan dua unsur musik, yakni etnik dan akustik (unplugged). Teknik permainan Gamelan didapat semasa kecil di Banjar (sebutan untuk desa) di Bali. Perdaduan musik Bali dan unsur lainbukan pertama kali dilakukannya. ‘’Semasa kuliah di Surabaya pernah membentuk kelompok bersama kawan-kawan di kampus,’’ kata Gede Dharma saat latihan di Pura 20 Juni 2013.
Sebagaimana proses kreatif yang diterapkan Gede Dharma di Surabaya, karya digarap dengan gitar atau piano pada seputar akor A. Hal ini disebabkan instrumen interval nada gamelan Bali dekat dengan frekuensi akor A dalam interval nada musik barat. Namun jika disimak lebih detail, perpaduan dua instrumen ini (gitar dan gamelan) tidak sepenuhnya memainkan nada yang tepat. Sesekali terdengar nada yang agak false di antara jalinan melodi yang dimainkan. Bagi penulis, hal ini merupakan keunikan tersendiri. Kesan false tersebut memberi tanda bahwa dua unsur masing-masing memiliki kontribusi dalam pembentukan estetetika: bukan barat bukan timur, tapi keduanya. Dalam dunia gamelan, baik Jawa maupun Bali fenomena ini disebut dengan ‘blero’ atau dia nada yang tidak persis sama. Dan memang tidak akan pernah ada dua nada yang sama frekuensinya dalam satu atau dua buah instrumen. Dalam musik barat hal ini dikenal dengan istilah dissonan.
Menurut Manager Nak Nik Etnik, Putu Andy, Nak Nik Etnik berasal dari bahasa Bali anak kecil. Makna dari anak kecil adalah sesuatu yang masih baru. Maksudnya adalah kesadaran kami mengenai keberadaan kami di kota Pekanbaru. Komunitas ini dibentuk sebagai upaya untuk menjadi bagian dari Kota Pekanbaru.
Nak Nik Etnik yang personilnya antara lain: Ida Bagus Gede Dharma, Putu Andy, Gede Artha, Agung Wira, Putu Nita, Made Faramita, Badai, Gede Eben dan mahasiswa Sendratasik UIR Joserizal. Kecuali Joserizal, peraonil Nak Nik Etnik adalah umat Hindu di Pura Jagatnatha Pekanbaru ini yang mencoba berkenalan dengan publik kota Pekanbaru. Sambutan hangat publik Pekanbaru malam itu menjadi awal yang baik bagi eksistensi komunitas Nak Nik Etnik kedepannya. ‘’Semoga masyarakat Pekanbaru dapat menerima keberadaan kami,’’ tutur Putu Andy.***
Aristofani Fahmi, penonton kesenian. Tinggal di Pekanbaru
Sumber: Riau Pos, Minggu, 30 Juni 2013
No comments:
Post a Comment