-- Musa Ismail
DI dunia sastra dan seni musik Riau, siapa yang tak kenal Jefri al Malay. Sebelum tercatat sebagai penyair, pemilik nama asli Jefrizal ini, pernah menjadi vokalis Band Sagu. Berbagai prestasi seni (sastra) yang diraih anak jati Melayu ini, khususnya di dunia kepenyairan. Salah satu prestasi seni yang membanggakan, beliau pernah dinobatkan sebagai Johan Penyair Panggung se-Asia Tenggara pada 2011 di Tanjungpinang. ‘’Ke Mana Nak Melenggang’’ (selanjutnya saya singkat KMNM) merupakan kumpulan puisi pertamanya. Buku yang diterbitkan Yayasan Pusaka Riau, 2013 ini, memuat 80 puisi yang terdiri atas 4 sub-bab: Melenggang ke Hulu (2003), Melenggang ke Hilir (2004), Melenggang ke Darat (2005), Melenggang ke Laut (2006), Melenggang ke Bawah (2007), dan Melenggang ke Atas (2008). Puisi-puisi ini merupakan karyanya yang lahir antara kurun waktu 2003-2008.
Dalam setiap puisi yang ditulisnya, penyair ini sangat peka memilih kata yang menandai latar belakang kebudayaan Melayu. Dalam hal diksi, boleh dikatakan Jefri sebagai salah seorang penyair yang mengangkat batang terendam. Dengan puisi, Jefri telah membuat ‘nisan’ yang menandai siapa sebenarnya si penyair ini jika ditinjau dari sudut antropologi dan sosiologi. Tentang kata dan tanda dalam kaitannya dengan puisi, Jefri menulisnya dalam Seulas Kata sebagai berikut.
‘’Puisi bagi saya juga merupakan tanda
Di mana saya mampu bercermin dari tanda-tanda itu;
Fenomena, kecenderungan suatu zaman, suatu generasi
Semangat realita sosial, pertumbuhan diri, dan lain sebagainya
Puisi juga merefleksikan berbagai kegelisahan
Tentang persoalan-persoalan aktual yang dihadapi
Semuanya itu merupakan tanda-tanda kehidupan.
Menulis puisi adalah untuk menandai diri
Bahwa saya sedang menjalani hidup
Mengalami, mengamati, menghayati, merenungi
Serta mengimajinasikan berbagai hal
Yang kemudian saya rangkai
Menjadi rajutan kata-kata
Untuk mengekspresikan diri dalam memaknai
Misteri kehidupan’’
Ini suatu bukti bahwa kata (bahasa)—sampai kapanpun—tetap menjadi yang terpenting sebagai sarana keharmonisan dan penanda historis peristiwa kehidupan. Bukankah pada dasarnya, karya sastra merupakan catatan peristiwa yang dialami oleh penyair. Catatan peristiwa pengalaman yang bercerai-berai itu lalu menggumpal menjadi karya sastra seperti puisi. Pengalaman penyair ini berupa pengalaman batiniah dan rohaniah atau pergumulan keduanya. Tidak salah jika ada aspek historis dalam karya sastra, termasuk puisi. Dari sinilah, lahir teks (puisi) yang menandai dan memaknai kehidupan. Menurut Susanto dalam bukunya Pengantar Teori Sastra, teks adalah hasil karya manusia yang bermediumkan bahasa. Dalam menghasilkan teks, tentu saja pencipta bermaksud menyampaikan pesan, maksud, dan tujuannya di dalam teks. Selanjutnya, Susanto menjelaskan bahwa dalam kenyataannya teks masuk melalui pengarang dan pembaca, sadar atau tidak, pencipta teks juga mendasarkan diri pada realitas dan sesuatu yang pernah terjadi, yang dialaminya (2011:197-198). Aspek historis ini selalu tidak mendapat perhatian dari pembaca sehingga karya sastra dianggap lamunan semata.
Mencermati puisi-puisi Jefri, pada dasarnya, mencermati peristiwa-peristiwa alamiah Melayu. Rangkaian peristiwa tersebut dikebat secara kuat dengan tali diksi Melayu yang kental. Kita mulai saja membaca judulnya. Kata melenggang, misalnya, suatu kosa kata Melayu yang sangat bermakna. Selain dalam puisi ini, kata melenggang sudah dipakai dalam lirik lagu Tari Lenggang. Secara leksikal, bentuk dasarnya adalah lenggang yang bermakna gerakan tangan berayun-ayun ketika berjalan (2005:659). Jika dikaitkan dengan judul kumpulan puisi ini, terdapat makna tersirat bahwa ada suatu tujuan yang hendak dicapai meskipun sesuatu itu dilakukan dengan suasana yang terlihat agak santai (melenggang). Diksi melenggang itu sebenarnya memberikan rangkaian peristiwa bagi manusia. Misalnya pada kalimat, Gadis itu berjalan melenggang.
Puisi-puisi dalam KMNM didominasi jenis naratif, khususnya romansa. Di samping itu, puisinya pun liris. Puisi naratif adalah puisi yang bersifat seperti narasi, menceritakan, baik sederhana, sugestif, dan kompleks. Jenis puisi ini, yaitu romansa, balada, epik, dan syair. Puisi lirik, menurut Waluyo (1995:136), merupakan gagasan penyair untuk mengungkapkan akulirik atau ide pribadinya. Jenis puisi ini, yaitu elegi (mengungkapkan perasaan duka dan kesedihan, ode (pujaan terhadap seseorang, hal, keadaan), dan serenada (sajak percintaan yang dapat dinyanyikan). Dengan demikian, tidak heran kalau Jefri sebenarnya sangat ekspresif dalam karyanya. Puisi naratif romansa sekaligus liris ini dapat kita cermati dalam Berselingkuh Dalam Kasih yang Teduk (Hulurkan Kepak Maafmu, Eva): Jika riakmu mengebat asa dalam perjalanan waktu yang sungkan/Aku menjadi bagian dari paruh waktunya/Meski terkutuklah aku/...Telah aku gemakan kesendirian/Kulaungkan gemerlap asmara/Tapi hujan mendera... Puisi ini menempatkan akuliris ke dalam jalinan kisah atau dialektika peristiwa dengan ekspresi luka perih, kesunyian, percintaan, perselingkuhan, dan mempertanyakan tentang kesetiaan.
Selain gemar bermain dengan judul panjang, sebagian besar puisi Jefri ditulis dalam bentuk naratif dan liris yang panjang pula. Dialektika naratif dan liris yang kental ekapresif dalam puisi-puisinya terjadi dalam berbagai lingkup estetika: transendental, alamiah, dan manusiawi. Misalnya puisi Air Mata Subuh dan Kerinduan: Dengan kedua mata serta jiwa yang menang, air matanya tergenang/Menciptakan riak-riak layaknya sungai-sungai yang mengalir/Di dalam hutan-hutan, bukit-bukit/Untuk kota-kota yang menanggung kesunyian/Bila menjelma syawal sang penebus kerinduan.
Diksi yang diungkapkan penyair ini memberi kesan tersendiri. Pertama, sebagian besar diksinya berkaitan dengan waktu: subuh, malam, waktu. Kedua, didominasi diksi yang berkaitan dengan alam. Ketiga, memperkenalkan kembali diksi Melayu yang klise: memeram, tekesup, sigau, sebati, rekah-rekah, sekah-sekah, melenjit, lawang, dan sebagainya.
Dialektika naratif yang disuguhkan penyair memiliki vitalitas unik. Vitalitas unik inilah yang membedakan penyair dan karyanya ketika sampai ke tangan publik. Meskipun pada mulanya kata merupakan konvensi publik, tetapi akan berbeda jika kata-kata itu terlahir menjadi puisi. Dari sinilah, kata menjadi terkesan sangat individual dari penyair. Dalam hal ini Sarjono menjelaskan, jika puisi secara intrinsik tidak mampu memandikan kata publik tersebut menjadi kata individu, maka ia tetap akan merupakan kata publik dan akan ditagih maknanya sebagai makna publik (2001:120). Karena itu, tidak heran jika puisi menjadi terputus jika dihubungkan dengan makna publik. Namun, apapun makna yang diberikan publik terhadap suatu puisi, itulah pemahaman yang patut diapresiasi bahwa puisi juga harus mampu dinikmati publik dalam segala keindahan dan keterbatasannya.
Melayu (nusantara) yang selama ini terkenal dengan tradisi berkisah lisannya, seakan-akan menyeruak di balik kepiawaian Jefri. Penyair yang juga berprofesi sebagai guru SMAN 2 Bengkalis ini justru memberikan kesan dialektika mendalam tentang kebudayaan (bahasa) Melayu. Diksi Melayu yang arkais terasa melenggang begitu saja dan menyatu dalam roh setiap puisi yang ditulisnya. Dalam puisinya, kita akan menemukan dialektika narasi romansa, lirik elegi, ode, serta serenada. Dialektika ini membungkus struktur batin puisi begitu kuat dan sangat ekspresif. Kesan dialektika naratif dan lirik ini juga akan lebih hidup ketika kita menyaksikan aksi panggungnya membacakan puisi. Tidak jarang penyair ini justru melagukan beberapa larik puisinya untuk memberikan kesan liris tersebut.
Untuk selanjutnya, saya mengajak kita memaknai puisi yang menjadi tajuk buku ini, yaitu Ke Mana Nak Melenggang: Ke mana nak melenggang/Ke rekah-rekah/Ke patah-patah/Ke mana/Ke mana sajalah. Bait pertama puisi ini menceritakan suatu tujuan yang tak pasti dan mengharapkan suatu kemerdekaan dalam bertindak. Makna ini juga dapat kita temukan pada bait ketiga dan bait ketiga-belas. Pada bait kedua, Lurus jalan ke tikungan/Hendak melenggang kiri dan kanan/Harapkan si tua berikan sokongan/Malah dikasi kami sempadan.
Bait ini memberikan batasan gerak-gerik perbuatan oleh seseorang yang dianggap sesepuh, bisa saja dimaknai dengan berbagai larangan lain yang divonis sebagai ketidakmampuan penerus dalam memimpin. Padahal, sesepuh justru diharapkan menjadi sagang dalam mencapai tujuan. Batasan tersebut pun tergambar dalam bait keempat yang berkaitan dengan kehancuran alamiah. Selanjutnya, kisah kegetiran hidup seperti kedengkian, dendam, kepatuhan, atau surutnya semangat untuk melawan. Namun, di dua bait terakhir puisi ini, penyair sepertinya berpesan untuk mengambil sesuatu yang positif dari suatu peristiwa: Ke mana nak melenggang/Ke melayu/Ke diri sendiri//Buang yang keruh/Ambil yang jernih/Ha...melengganglah...
Makna publik kata melenggang, meskipun tidak semua publik memahaminya, merupakan makna leksikal seperti yang telah dijelaskan dalam kamus. Namun dalam puisi tersebut, interpretasi diksi melenggang tidak bisa kita berikan sempadan demikian sempit. Sadar atau tidak, Jefri memberikan kekuatan makna tersendiri pada diksi yang tentunya sangat Melayu itu. Berdasarkan pemahaman puisi tersebut, diksi melenggang bisa bermakna bermacam-macam. Pertama, melakukan sesuatu dengan menyenangkan, tanpa beban, tanpa tekanan dari siapa dan apa pun. Kedua, kemerdekaan dalam menjalani dan menggapai tujuan hidup. Ketiga, suatu kesenian dan kebudayaan Melayu yang bernilai estetika. Keempat, memaknai tentang kesetiaan hidup sebagai Melayu yang memiliki berbagai nilai kehidupan yang lentur dan manusiawi.
Jefri memang penyair yang penuh semangat. Puisi-puisinya yang panjang itu merupakan suatu bukti dan fakta sejarah tentang semangatnya. Melalui puisinya, Jefri berhasil mengetengahkan celah dialog yang menggema. Pembaca seakan-akan diajak mengalami suatu peristiwa dan berdialog dengan rangkaian peristiwa dalam puisinya. Puisi-puisi dialektika naratif semacam ini, menurut saya, akan melelahkan jika hanya dibaca. Justru puisi-puisi ini akan lebih menyentak jika dipentaskan seperti dramatisasi puisi atau visualisasi puisi.***
Musa Ismail, Sastrawan Riau yang rajin menulis berbagai karya seperti sajak, cerpen dan esai. Dia sebagai guru SMAN 3 Bengkalis dan penulis.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 2 Juni 2013
DI dunia sastra dan seni musik Riau, siapa yang tak kenal Jefri al Malay. Sebelum tercatat sebagai penyair, pemilik nama asli Jefrizal ini, pernah menjadi vokalis Band Sagu. Berbagai prestasi seni (sastra) yang diraih anak jati Melayu ini, khususnya di dunia kepenyairan. Salah satu prestasi seni yang membanggakan, beliau pernah dinobatkan sebagai Johan Penyair Panggung se-Asia Tenggara pada 2011 di Tanjungpinang. ‘’Ke Mana Nak Melenggang’’ (selanjutnya saya singkat KMNM) merupakan kumpulan puisi pertamanya. Buku yang diterbitkan Yayasan Pusaka Riau, 2013 ini, memuat 80 puisi yang terdiri atas 4 sub-bab: Melenggang ke Hulu (2003), Melenggang ke Hilir (2004), Melenggang ke Darat (2005), Melenggang ke Laut (2006), Melenggang ke Bawah (2007), dan Melenggang ke Atas (2008). Puisi-puisi ini merupakan karyanya yang lahir antara kurun waktu 2003-2008.
Dalam setiap puisi yang ditulisnya, penyair ini sangat peka memilih kata yang menandai latar belakang kebudayaan Melayu. Dalam hal diksi, boleh dikatakan Jefri sebagai salah seorang penyair yang mengangkat batang terendam. Dengan puisi, Jefri telah membuat ‘nisan’ yang menandai siapa sebenarnya si penyair ini jika ditinjau dari sudut antropologi dan sosiologi. Tentang kata dan tanda dalam kaitannya dengan puisi, Jefri menulisnya dalam Seulas Kata sebagai berikut.
‘’Puisi bagi saya juga merupakan tanda
Di mana saya mampu bercermin dari tanda-tanda itu;
Fenomena, kecenderungan suatu zaman, suatu generasi
Semangat realita sosial, pertumbuhan diri, dan lain sebagainya
Puisi juga merefleksikan berbagai kegelisahan
Tentang persoalan-persoalan aktual yang dihadapi
Semuanya itu merupakan tanda-tanda kehidupan.
Menulis puisi adalah untuk menandai diri
Bahwa saya sedang menjalani hidup
Mengalami, mengamati, menghayati, merenungi
Serta mengimajinasikan berbagai hal
Yang kemudian saya rangkai
Menjadi rajutan kata-kata
Untuk mengekspresikan diri dalam memaknai
Misteri kehidupan’’
Ini suatu bukti bahwa kata (bahasa)—sampai kapanpun—tetap menjadi yang terpenting sebagai sarana keharmonisan dan penanda historis peristiwa kehidupan. Bukankah pada dasarnya, karya sastra merupakan catatan peristiwa yang dialami oleh penyair. Catatan peristiwa pengalaman yang bercerai-berai itu lalu menggumpal menjadi karya sastra seperti puisi. Pengalaman penyair ini berupa pengalaman batiniah dan rohaniah atau pergumulan keduanya. Tidak salah jika ada aspek historis dalam karya sastra, termasuk puisi. Dari sinilah, lahir teks (puisi) yang menandai dan memaknai kehidupan. Menurut Susanto dalam bukunya Pengantar Teori Sastra, teks adalah hasil karya manusia yang bermediumkan bahasa. Dalam menghasilkan teks, tentu saja pencipta bermaksud menyampaikan pesan, maksud, dan tujuannya di dalam teks. Selanjutnya, Susanto menjelaskan bahwa dalam kenyataannya teks masuk melalui pengarang dan pembaca, sadar atau tidak, pencipta teks juga mendasarkan diri pada realitas dan sesuatu yang pernah terjadi, yang dialaminya (2011:197-198). Aspek historis ini selalu tidak mendapat perhatian dari pembaca sehingga karya sastra dianggap lamunan semata.
Mencermati puisi-puisi Jefri, pada dasarnya, mencermati peristiwa-peristiwa alamiah Melayu. Rangkaian peristiwa tersebut dikebat secara kuat dengan tali diksi Melayu yang kental. Kita mulai saja membaca judulnya. Kata melenggang, misalnya, suatu kosa kata Melayu yang sangat bermakna. Selain dalam puisi ini, kata melenggang sudah dipakai dalam lirik lagu Tari Lenggang. Secara leksikal, bentuk dasarnya adalah lenggang yang bermakna gerakan tangan berayun-ayun ketika berjalan (2005:659). Jika dikaitkan dengan judul kumpulan puisi ini, terdapat makna tersirat bahwa ada suatu tujuan yang hendak dicapai meskipun sesuatu itu dilakukan dengan suasana yang terlihat agak santai (melenggang). Diksi melenggang itu sebenarnya memberikan rangkaian peristiwa bagi manusia. Misalnya pada kalimat, Gadis itu berjalan melenggang.
Puisi-puisi dalam KMNM didominasi jenis naratif, khususnya romansa. Di samping itu, puisinya pun liris. Puisi naratif adalah puisi yang bersifat seperti narasi, menceritakan, baik sederhana, sugestif, dan kompleks. Jenis puisi ini, yaitu romansa, balada, epik, dan syair. Puisi lirik, menurut Waluyo (1995:136), merupakan gagasan penyair untuk mengungkapkan akulirik atau ide pribadinya. Jenis puisi ini, yaitu elegi (mengungkapkan perasaan duka dan kesedihan, ode (pujaan terhadap seseorang, hal, keadaan), dan serenada (sajak percintaan yang dapat dinyanyikan). Dengan demikian, tidak heran kalau Jefri sebenarnya sangat ekspresif dalam karyanya. Puisi naratif romansa sekaligus liris ini dapat kita cermati dalam Berselingkuh Dalam Kasih yang Teduk (Hulurkan Kepak Maafmu, Eva): Jika riakmu mengebat asa dalam perjalanan waktu yang sungkan/Aku menjadi bagian dari paruh waktunya/Meski terkutuklah aku/...Telah aku gemakan kesendirian/Kulaungkan gemerlap asmara/Tapi hujan mendera... Puisi ini menempatkan akuliris ke dalam jalinan kisah atau dialektika peristiwa dengan ekspresi luka perih, kesunyian, percintaan, perselingkuhan, dan mempertanyakan tentang kesetiaan.
Selain gemar bermain dengan judul panjang, sebagian besar puisi Jefri ditulis dalam bentuk naratif dan liris yang panjang pula. Dialektika naratif dan liris yang kental ekapresif dalam puisi-puisinya terjadi dalam berbagai lingkup estetika: transendental, alamiah, dan manusiawi. Misalnya puisi Air Mata Subuh dan Kerinduan: Dengan kedua mata serta jiwa yang menang, air matanya tergenang/Menciptakan riak-riak layaknya sungai-sungai yang mengalir/Di dalam hutan-hutan, bukit-bukit/Untuk kota-kota yang menanggung kesunyian/Bila menjelma syawal sang penebus kerinduan.
Diksi yang diungkapkan penyair ini memberi kesan tersendiri. Pertama, sebagian besar diksinya berkaitan dengan waktu: subuh, malam, waktu. Kedua, didominasi diksi yang berkaitan dengan alam. Ketiga, memperkenalkan kembali diksi Melayu yang klise: memeram, tekesup, sigau, sebati, rekah-rekah, sekah-sekah, melenjit, lawang, dan sebagainya.
Dialektika naratif yang disuguhkan penyair memiliki vitalitas unik. Vitalitas unik inilah yang membedakan penyair dan karyanya ketika sampai ke tangan publik. Meskipun pada mulanya kata merupakan konvensi publik, tetapi akan berbeda jika kata-kata itu terlahir menjadi puisi. Dari sinilah, kata menjadi terkesan sangat individual dari penyair. Dalam hal ini Sarjono menjelaskan, jika puisi secara intrinsik tidak mampu memandikan kata publik tersebut menjadi kata individu, maka ia tetap akan merupakan kata publik dan akan ditagih maknanya sebagai makna publik (2001:120). Karena itu, tidak heran jika puisi menjadi terputus jika dihubungkan dengan makna publik. Namun, apapun makna yang diberikan publik terhadap suatu puisi, itulah pemahaman yang patut diapresiasi bahwa puisi juga harus mampu dinikmati publik dalam segala keindahan dan keterbatasannya.
Melayu (nusantara) yang selama ini terkenal dengan tradisi berkisah lisannya, seakan-akan menyeruak di balik kepiawaian Jefri. Penyair yang juga berprofesi sebagai guru SMAN 2 Bengkalis ini justru memberikan kesan dialektika mendalam tentang kebudayaan (bahasa) Melayu. Diksi Melayu yang arkais terasa melenggang begitu saja dan menyatu dalam roh setiap puisi yang ditulisnya. Dalam puisinya, kita akan menemukan dialektika narasi romansa, lirik elegi, ode, serta serenada. Dialektika ini membungkus struktur batin puisi begitu kuat dan sangat ekspresif. Kesan dialektika naratif dan lirik ini juga akan lebih hidup ketika kita menyaksikan aksi panggungnya membacakan puisi. Tidak jarang penyair ini justru melagukan beberapa larik puisinya untuk memberikan kesan liris tersebut.
Untuk selanjutnya, saya mengajak kita memaknai puisi yang menjadi tajuk buku ini, yaitu Ke Mana Nak Melenggang: Ke mana nak melenggang/Ke rekah-rekah/Ke patah-patah/Ke mana/Ke mana sajalah. Bait pertama puisi ini menceritakan suatu tujuan yang tak pasti dan mengharapkan suatu kemerdekaan dalam bertindak. Makna ini juga dapat kita temukan pada bait ketiga dan bait ketiga-belas. Pada bait kedua, Lurus jalan ke tikungan/Hendak melenggang kiri dan kanan/Harapkan si tua berikan sokongan/Malah dikasi kami sempadan.
Bait ini memberikan batasan gerak-gerik perbuatan oleh seseorang yang dianggap sesepuh, bisa saja dimaknai dengan berbagai larangan lain yang divonis sebagai ketidakmampuan penerus dalam memimpin. Padahal, sesepuh justru diharapkan menjadi sagang dalam mencapai tujuan. Batasan tersebut pun tergambar dalam bait keempat yang berkaitan dengan kehancuran alamiah. Selanjutnya, kisah kegetiran hidup seperti kedengkian, dendam, kepatuhan, atau surutnya semangat untuk melawan. Namun, di dua bait terakhir puisi ini, penyair sepertinya berpesan untuk mengambil sesuatu yang positif dari suatu peristiwa: Ke mana nak melenggang/Ke melayu/Ke diri sendiri//Buang yang keruh/Ambil yang jernih/Ha...melengganglah...
Makna publik kata melenggang, meskipun tidak semua publik memahaminya, merupakan makna leksikal seperti yang telah dijelaskan dalam kamus. Namun dalam puisi tersebut, interpretasi diksi melenggang tidak bisa kita berikan sempadan demikian sempit. Sadar atau tidak, Jefri memberikan kekuatan makna tersendiri pada diksi yang tentunya sangat Melayu itu. Berdasarkan pemahaman puisi tersebut, diksi melenggang bisa bermakna bermacam-macam. Pertama, melakukan sesuatu dengan menyenangkan, tanpa beban, tanpa tekanan dari siapa dan apa pun. Kedua, kemerdekaan dalam menjalani dan menggapai tujuan hidup. Ketiga, suatu kesenian dan kebudayaan Melayu yang bernilai estetika. Keempat, memaknai tentang kesetiaan hidup sebagai Melayu yang memiliki berbagai nilai kehidupan yang lentur dan manusiawi.
Jefri memang penyair yang penuh semangat. Puisi-puisinya yang panjang itu merupakan suatu bukti dan fakta sejarah tentang semangatnya. Melalui puisinya, Jefri berhasil mengetengahkan celah dialog yang menggema. Pembaca seakan-akan diajak mengalami suatu peristiwa dan berdialog dengan rangkaian peristiwa dalam puisinya. Puisi-puisi dialektika naratif semacam ini, menurut saya, akan melelahkan jika hanya dibaca. Justru puisi-puisi ini akan lebih menyentak jika dipentaskan seperti dramatisasi puisi atau visualisasi puisi.***
Musa Ismail, Sastrawan Riau yang rajin menulis berbagai karya seperti sajak, cerpen dan esai. Dia sebagai guru SMAN 3 Bengkalis dan penulis.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 2 Juni 2013
No comments:
Post a Comment