PENAFSIRAN atas kehidupan di Jakarta membuat sederet seniman melakukan berbagai rekaan. Mereka mencoba mengaktualkan berbagai peristiwa di Ibu Kota ke dalam karya pertunjukan.
Mulai dari kemacetan, kasus korupsi, perkelahian, hingga nikmatnya menyeruput kopi di kafe-kafe ekonomis hingga berkelas tak lepas dari pengamatan mereka. Penuh kritik menggelitik.
Lewat pementasan Panggung Seni: 486 Tahun HUT Kota Jakarta di Plaza Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, pertengahan pekan ini, sederet seniman menghadirkan pementasan beragam, mulai pembacaan puisi, pembacaan cerpen, musikalisasi puisi, pantomim, hingga stand up comedy.
Ada yang menyita perhatian ratusan penonton yang duduk beratap tenda darurat malam itu. Kelompok pantomim Standar Mime, misalnya, menghadirkan lakon Koran karya almarhum Sena A Utoyo.
Ada yang menjadi titik persoalan, yaitu penantian akan sebuah bus untuk bisa berangkat bekerja. “Latar belakang cerita di sebuah halte. Kami sedang menunggu bus. Namun, persoalan tentang sebuah koran membuat kami lupa untuk naik ke bus,” ujar salah satu pemain Damar Rizal Marzuki seusai pementasan.
Aksi panggung Damar dan dua rekannya, Farie Judhistira dan Satria Agustani Sahputra, cukup sederhana. Mereka mulai masuk satu per satu dengan menggunakan bahasa tubuh.
Wajah ketiga aktor itu memang dibuat menyerupai badut sehingga terkesan kocak dan lucu. Damar terlihat gelisah menanti bus. Namun, ia pun kaget ketika Farie dan Satria masuk mengagetkannya.
Lalu, mereka bertiga mulai membaca sebuah koran secara bergantian. Ada sebuah berita korupsi yang menghebohkan sehingga membuat mereka lupa untuk bepergian dengan bus.
Aksi saat mereka bertiga mencoba saling merampas koran, misalnya, membuat pementasan semakin mendapatkan titik klimaks. Sontak, koran itu pun sobek sehingga tak bisa mereka baca.
Namun, ada yang menarik karena seperti adegan dalam sulap, Damar pun mengeluarkan sebuah koran yang baru. Kedua pemain lainnya pun langsung tertawa girang. “Karya Sena A Utoyo ini penuh dengan kekocakan. Kami mencoba mengangkat tentang persoalan sederhana," timpal Satria.
Kritik
Pementasan malam itu semakin pedas saat Fikar W Eda mencoba membacakan dua sajak yang digarap dengan unsur musikalisasi. Dua buah sajak tersebut ialah Jakarta Kopi Pagi dan Matahari Kuning Tugu Monas.
Sajak kedua, misalnya, ia baca secara lantang. Ada kemarahan yang begitu kuat dalam wajahnya. Ia beraksi penuh penjiwaan sehingga mampu membuat ratusan penonton ikut larut.
Sajak Matahari Kuning Tugu Monas itu berbunyi, 'Matahari kuning Tugu Monas jatuh di ukiran batu memantulkan bayang sengsara wajah republik tukang utang... Di bawah matahari kuning Tugu Monas mereka mengetuk palu tentang besaran hutang yang dilunasi tanpa kesudahan.
Selain Fikar, ada pula para pembaca sajak seperti Jose Rizal Manua, Hana Fransisca, dan Shinta Miranda. Mereka menghadirkan teknik dan cara yang berbeda. Jose pun terlihat lantang, sedangkan Miranda cukup mendayu-dayu namun tegas.
Pementasan malam apresiasi seni dan budaya itu penuh dengan sebuah harapan. Jakarta memang memiliki keistimewaan karena di sinilah semua manusia berkumpul dari penjuru negeri ini. Semua menyatu dan menciptakan bianglala yang penuh warna. (Iwa/M-2)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 30 Juni 2013
PEMENTASAN PANTOMIM: Pemain pantomim mementaskan dirinya dalam pagelaran panggung HUT DKI Jakarta di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis (27/6). MI/ANGGA YUNIAR |
Lewat pementasan Panggung Seni: 486 Tahun HUT Kota Jakarta di Plaza Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, pertengahan pekan ini, sederet seniman menghadirkan pementasan beragam, mulai pembacaan puisi, pembacaan cerpen, musikalisasi puisi, pantomim, hingga stand up comedy.
Ada yang menyita perhatian ratusan penonton yang duduk beratap tenda darurat malam itu. Kelompok pantomim Standar Mime, misalnya, menghadirkan lakon Koran karya almarhum Sena A Utoyo.
Ada yang menjadi titik persoalan, yaitu penantian akan sebuah bus untuk bisa berangkat bekerja. “Latar belakang cerita di sebuah halte. Kami sedang menunggu bus. Namun, persoalan tentang sebuah koran membuat kami lupa untuk naik ke bus,” ujar salah satu pemain Damar Rizal Marzuki seusai pementasan.
Aksi panggung Damar dan dua rekannya, Farie Judhistira dan Satria Agustani Sahputra, cukup sederhana. Mereka mulai masuk satu per satu dengan menggunakan bahasa tubuh.
Wajah ketiga aktor itu memang dibuat menyerupai badut sehingga terkesan kocak dan lucu. Damar terlihat gelisah menanti bus. Namun, ia pun kaget ketika Farie dan Satria masuk mengagetkannya.
Lalu, mereka bertiga mulai membaca sebuah koran secara bergantian. Ada sebuah berita korupsi yang menghebohkan sehingga membuat mereka lupa untuk bepergian dengan bus.
Aksi saat mereka bertiga mencoba saling merampas koran, misalnya, membuat pementasan semakin mendapatkan titik klimaks. Sontak, koran itu pun sobek sehingga tak bisa mereka baca.
Namun, ada yang menarik karena seperti adegan dalam sulap, Damar pun mengeluarkan sebuah koran yang baru. Kedua pemain lainnya pun langsung tertawa girang. “Karya Sena A Utoyo ini penuh dengan kekocakan. Kami mencoba mengangkat tentang persoalan sederhana," timpal Satria.
Kritik
Pementasan malam itu semakin pedas saat Fikar W Eda mencoba membacakan dua sajak yang digarap dengan unsur musikalisasi. Dua buah sajak tersebut ialah Jakarta Kopi Pagi dan Matahari Kuning Tugu Monas.
Sajak kedua, misalnya, ia baca secara lantang. Ada kemarahan yang begitu kuat dalam wajahnya. Ia beraksi penuh penjiwaan sehingga mampu membuat ratusan penonton ikut larut.
Sajak Matahari Kuning Tugu Monas itu berbunyi, 'Matahari kuning Tugu Monas jatuh di ukiran batu memantulkan bayang sengsara wajah republik tukang utang... Di bawah matahari kuning Tugu Monas mereka mengetuk palu tentang besaran hutang yang dilunasi tanpa kesudahan.
Selain Fikar, ada pula para pembaca sajak seperti Jose Rizal Manua, Hana Fransisca, dan Shinta Miranda. Mereka menghadirkan teknik dan cara yang berbeda. Jose pun terlihat lantang, sedangkan Miranda cukup mendayu-dayu namun tegas.
Pementasan malam apresiasi seni dan budaya itu penuh dengan sebuah harapan. Jakarta memang memiliki keistimewaan karena di sinilah semua manusia berkumpul dari penjuru negeri ini. Semua menyatu dan menciptakan bianglala yang penuh warna. (Iwa/M-2)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 30 Juni 2013
No comments:
Post a Comment