Sunday, June 09, 2013

[Pustaka] Sebuah Persembahan untuk Ibunda

Tiada sosok yang akan mampu menggantikan peran ibu.


Judul buku : Ibuk
Penulis : Iwan Setyawan
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : I, Juni 2012
Tebal : 293 halaman
“KAMU mesti pergi, Le!‘ jawab Ibuk singkat tapi tegas. “Pergi gimana, buk? Bayar kuliah Mbak Nani saja sudah ngos-ngosan. Ibuk tidak menjawab segera. Ia terdiam sesaat. “Kamu mesti pergi Le. Ibuk akan jalan.‘ (halaman 133).

Tinah adalah gadis kampung dari kota Batu, Jawa Timur. Dia dipersunting oleh Sim, seorang kenek angkot yang kelak naik pangkat menjadi supir angkot. Tinah yang lugu lebih memilih Sim ketimbang Cak Ali, sesama pedagang di pasar.

Tinah yang kemudian dipanggil Ibuk oleh kelima anak-anaknya berhasil membimbing putra-putrinya menjadi sukses. Ibuk yang tidak mengenyam pendidikan berhasil menjadikan tokoh Bayek bisa sekolah mulai dari SD, SMP, SMU, hingga akhirnya menyelesaikan pendidikan di Institut Pertanian Bogor (IPB).

Ibuk menjadi orang yang berkukuh untuk mendorong putra satu-satunya, Bayek melanjutkan kuliah di perguruan tinggi, meski di tengah kehidupan yang serba terbatas.

Ibuk juga yang memberikan dukungan kepada Bayek untuk bekerja dan kemudian meretas karier di luar negeri tepatnya di kota New York, Amerika Serikat. Bayek alias sang penulis Iwan Setyawan sukses menjadi salah satu direktur di korporasi kelas dunia Nielsen.

Perjalanan jatuh bangun keluarga Iwan dituturkan dengan pengorbanan Ibuk yang piawai dalam banyak hal. Hmm, bukankah seorang ibu memang punya peran multi yang begitu hebatnya mulai dari mengasuh anak, mengatur keuangan, memasak, membantu mengerjakan pekerjaan rumah, dan lainnya.

Ibu memang sedemikian hebatnya. Ibuk, ibu, emak, bunda, umi, mama, mami, atau apalah sebutan lainnya memang menjadi sosok dominan dalam kehidupan banyak orang. Maka begitu banyak penulis yang mengungkapkan kecintaannya kepada ibu dalam karya tulisan.

Contohnya yaitu Rindu Ibu adalah Rindu Ibuku karya Motinggo Busye, Dua Ibu karya Arswendo Atmowiloto, Emak karya Daoed Joesoef, hingga Ibunda karya penulis asal Rusia, Maxim Gorky. Lantas sekarang Iwan yang menuliskannya.

Novel Ibuk adalah novel kedua Iwan Setyawan setelah sukses dengan 9 Summers 10 Autumns : Dari Kota Apel ke The Big Apple. Jika pada novel pertamanya, Iwan bertutur banyak soal dirinya dan sekelumit tentang keluarganya, maka pada novel keduanya Iwan yang menjadikan sosok Ibundanya sebagai sosok sentral.

Novel 9 Summers 10 Autumns : Dari Kota Apel ke The Big Apple sudah dicetak belasan kali hingga awal 2011 silam, sementara novel Ibuk dirilis pada pertengahan 2012 lalu. Sudah lama memang, namun kebetulan film 9 Summers 10 Autumns : Dari Kota Apel ke The Big Apple baru dirilis di sejumlah bioskop di tanah air mulai akhir April 2013 lalu.

Film itu seperti merangkum kedua novel ini menjadi satu kesatuan cerita yang menceritakan perjalanan Iwan Setyawan alias Bayek dari keluarga yang miskin berayahkan supir angkutan umum dan seorang ibu rumah tangga yang kemudian kelak sukses menjadi direktur di salah satu perusahaan kelas dunia di New York.

Sosok Ibuk yang menjadi figur sentral sudah tentu menjadi protagonis kesuksesan Iwan Setyawan. Ibuk yang sederhana, tidak sekolah tinggi, dan lugu itu tetap punya cita-cita tinggi untuk semua putra putrinya.

Novel Ibuk tidak menyajikan kata-kata indah layaknya karya sastra tingkat tinggi. Novel ini “hanya‘ menyajikan sebuah perjuangan kecil seorang ibuk dalam membesarkan putra putrinya. Tidak perlu bergenit dengan penggunaan bahasa yang indah, tetapi novel ini penuh makna.

Bahasa yang sederhana, tidak perlu rumit dan njelimet pun memaparkan bagaimana perjuangan seorang anak menggapai mimpi yang ditopang doa, usaha, dan upaya orangtua dalam hal ini ibu. Seorang anak yang pergi jauh, bekerja keras mengumpulkan uang demi keluarganya agar keluar dari derita kemiskinan.

Ceritanya pun tidak muluk dan tidak berlebihan, tetapi menyuguhkan realita keluarga Indonesia. Kasih sayang orangtua dan saudara. Perjuangan seorang anak, pengorbanan seorang ibu. Dan juga bukti kalau pendidikan tinggi bisa mengubah nasib seseorang.

Kisahnya juga apa adanya, tentang kenangan seorang Iwan Setyawan tentang keluarganya terutama ibunya. Ya, inilah novel yang menjadikan kisah pribadi sebagai latar belakangnya. Sejumlah penulis pun melakukannya. Salah satunya A. Fuadi yang ngetop dengan trilogi novel Negeri 5 Menara yang juga sudah difilmkan.

Lantaran diceritakan secara runut, kadang memang terasa membosankan, tetapi inilah jalan cerita sebenarnya perjalanan hidup keluarga sang penulis. Tetapi banyak pelajaran berharga yang bisa diambil dari kedua novel ini terutama dari novel Ibuk.

Dodiek Adyttya Dwiwanto

Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 9 Juni 2013




  

No comments: