-- Arie MP Tamba
(Pementasan Bila Malam Bertambah Malam oleh Teater Mandiri di Festival Salihara tanggal 21, 22, Juni 2013)
LAKON Bila Malam Bertambah Malam (BMBM) saya tulis 49 tahun yang lalu. Untuk menenangkan hati seorang gadis yang takut menikah dengan bangsawan di Puri. Keluarganya punya pengalaman buruk. Kakak perempuannya yang menikah ke puri mendapat perlakuan yang sangat diskriminatis. Bayangkan mandi pun tidak boleh di kamar mandi yang sama.
Misi BMBM waktu itu gagal. Walau sebagai lakon sering dimainkan di Bali, karena leluconnyalah yang lebih tertangkap. Bukan kritik sosialnya. Tapi itu lumayan menguntungkan, karena karier BMBM sebagai lakon jadi lancar. Tak pernah kesandung, diterima oleh semua penonton. Tidak ada yang merasa dilucuti atau dikritik.
Saya belum pernah menggarap BMBM bersama Teater Mandiri karena asyik dengan teater senirupa/visual. Ketika Salihara mengajak tampil dalam festival dan menyebut BMBM dan Lautan Bernyanyi (1967) saya terkesima dan merasa tertantang. Tetapi saya ragu apakah masalah perbedaan kasta masih menarik untuk ditonton.
Kemudian kebetulan saya menonton talkshow Soegeng Surjadi wawancara dengan menteri ESDM Ir. Jero Wacik, SE, soal kekayaan bahan bakar Indonesia. Pak Wacik memberikan statement yang sangat menarik. Bahwa kita harus "mengubah paradigma" tentang kekayaan bahan bakar, bukan lagi pada minyak tetapi pada gas alam, batu bara, dan panas bumi.
Dengan "paradigma baru" itu, kekayaan minyak kita yang sudah tipis, tidak serta merta akan menyebabkan kebangkrutan. Kita masih tetap negeri yang kaya sumber energi bila mengalihkan andalan kita pada yang tersebut di atas tadi.
BMBM juga memiliki semangat "paradigma baru" yang relevan dengan kondisi kita sekarang. Kondisi yang membutuhkan perubahan hingga tercapai "Indonesia tanpa diskriminiasi" ( Denny JA )Maka saya pun jadi mantap mengusung BMBM.
Baru satu kali saya mentas di Salihara (Kereta Kencana. 2009). Panggung Salihara sangat menarik, mengingatkan Saya pada LaMaMa di New York. Penontonnya pun pilihan. Mereka dari jenis yang tidak hanya melihat teater sebagai hiburan, tetapi "masukan"
Karena itu saya tidak ragu-ragu untuk mengekspresikan BMBM, tidak lagi seperti ketika saya tulis dulu, tetapi dengan seluruh pengalaman pentas yang saya jalani selama ini.
Realisme didalam BMBM tidak membatasi saya untuk melakukan berbagai upaya untuk membuatnya menjadi sebuah tontonan. Saya banyak berguru pada tontonan teater rakyat/tradisional yang menempatkan penonton bukan hanya sebagai obyek. Saya melibatkan penonton sebagai peserta. Karena itu garis pemisah antara penonton dan tontonan tak segan-segan diterobos, dengan harapan akan tercipta interaksi timbal balik.
Celetukan-celetukan yang di luar teks, tapi memungkinkan lakon menjadi lebih ganas mencakar hati penonton, dilancarkan untuk menghangatkan suasana yang memungkinkan penonton sebagai peserta tontonan bebas untuk mengembangkan imajinasinya. Saya juga dengan sengaja kadang-kadang mematahkan emosi peristiwa yang sedang menanjak, membelokkannya dengan "kejam", untuk mengajak pentonton tidak melihat apa yang mereka tonton sebagai sebuah "realita". Bagi saya tontonan bukan kenyataan juga bukan tiruan dari kenyataan, tetapi hanya alat untuk "mematik" penonton melanjutkan/mengembangkan imajinasinya sendiri.
Saya masih sangat menghormati apa yang dimaksud dengan "empati" dalam sebuah pertunjukan. Namun saya mencoba mencapainya dari sudut kebalikannya. Apa yang ada diatas pentas tidak perlu dipercaya sebagai kejadian yang sebenarnya. Itu hanyalah sebuah kepura-puraan. Tetapi kepura-puraan yang dilakukan dengan sepenuh hati, sehingga menimbulkan satu tendangan yang membuat penonton mencapai kesuatu titik perasaan, yang tak mungkin dicapainya dalam peristiwa sehari-hari. Di situlah arti sebuah tontonan.
Karena Mandiri tidak punya pemain wanita yang klop untuk tokoh Gusti Biang. Itu alasannya kenapa saya meminang Niniek L Karim yang sudah bekerja sama dengan saya dalam Kereta Kencana. Saya sangat berterimakasih kepada mba Niniek, karena bersedia mengikuti "realisme" Teater Mandiri. Realisme dalam teater berlapis-lapis. Teater Populer (Teguh karya), Teater Kecil (Arfin C Noer), Bengkel Teater (WS Rendra), Teater Koma (N.Riantiarno), STB Suyatna (Anirun), ATNI (Asrul Sani, Wahyu Sihombing ,Pramana Pmd dll) punya warna sendiri mengekspresikan realisme. Demikian juga saya dan Teater Mandiri.
Tidak sebagaimana biasanya, Teater Mandiri tidak akan banyak menampilkan idiom-idiom visual, tetapi lebih bertutur untuk menampilkan seni laku.
Tata panggung (set dan properti) akan hadir dengan sangat sederhana sehingga yang benar-benar menjadi tontonan dalam BMBM ini adalah para pelaku.
Menemani Niniek L Karim, Yanto Kribo akan memainkan tokoh Wayan, Fien Herman jadi tokoh Nyoman dan Arswendi Nasution sebagai Ngurah
Musik akan dijaga oleh I Gusti Kompyang Raka, dkk. Tata Artistik oleh Teater Mandiri (Alung Seroja, BEI, Acak Winarso).
Dalam rencana, kalau kesehatan saya memungkinkan (setelah 2 bulan mendekam di rumah sakit), dibagian akhir, saya akan meniru tontonan "smack down", muncul menggantikan Yanto Kribo sebagai Wayan, mengunci pertunjukan BMBM. Ini sudah pernah saya lakukan dalam pementasan ZETAN di TIM, tetapi tak seorang penonton pun yang "ngeh" lelucon itu. Kita lihat saja apa yang terjadi.
Selamat ikut serta dalam tontonan BMBM.
Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 16 Juni 2013
No comments:
Post a Comment