-- Rudyono Darsono
ADA persoalan krusial yang masih kerap muncul di ranah bangsa yang kini memasuki usianya yang ke-66, yakni persoalan pluralisme.
Kekerasan berlatar belakang suku, agama, atau kelompok sosial dan politik yang tidak jarang pula menimbulkan jatuhnya korban, bahkan mengancam disintegrasi bangsa, adalah indikasi jelas tentang masih adanya persoalan bangsa yang hingga kini belum terselesaikan secara tuntas.
Bukan tidak mungkin itu akan menjadi persoalan abadi, jika pluralisme tidak dikelola dengan baik.
Pengelolaan pluralisme ini bukan saja menyangkut penataan pluralisme itu sendiri secara benar, seperti mencegah munculnya konflik dalam keanekaragaman yang mengancam keutuhan dan kemajuan bangsa, tetapi yang paling penting adalah membangun dan mengembangkan pluralisme dengan postur tubuhnya yang pas sesuai dengan format republik ini.
Salah satu media yang paling penting dalam pembangunan dan pengembangan pluralisme adalah media pendidikan. Ini karena pendidikan merupakan media pencerdasan anak-anak bangsa untuk membangun masa depan bangsa dan negara.
Satu hal yang perlu dicatat bahwa gagalnya pembangunan masa depan bangsa di bidang apa pun, terutama karena gagalnya paradigma pendidikan berbasis pluralisme itu.
Jika kita ingin mencapai perikehidupan bangsa yang berkeadilan dan damai, yang menghargai pluralisme, maka hal itu mesti dimulai dari anak didik. Gandhi mengatakan, “If we to reach real peace in this world shall have begin with children.”
Paradigma Pendidikan
Esai ini mengemukakan persoalan bagaimana mengemas pluralisme bangsa ini lewat jalan pendidikan. Pendidikan harus ditempatkan pada garda paling depan dalam mendekonstruksi teologi pluralisme dengan membuat metodologi pendidikan yang tepat untuk mendukungnya.
Konstruksi pendidikan dalam Orde Baru yang berbasiskan penyeragaman identitas budaya bangsa, misalnya harus dikaji dan mesti disesuaikan dengan paradigme reformasi, yaitu paradigma pendidikan yang berbasis pluralisme bangsa.
Kegagalan Orde Baru dalam menggagas dan mengimplementasikan paradigma pendidikan yang tidak berbasis pluralisme tersebut dapat terlihat lewat berbagai distorsi yang muncul ke permukaan. Distorsi pertama dimengerti sebagai sebuah doktrin yang senantiasa dijadikan pembenaran bagi terjadinya konflik antaragama yang tak jarang didekati secara represif.
Fenomena eksklusivisme masih sangat kental mewarnai kurikulum pendidikan agama di sekolah yang dilakukan melalui “pencucian otak” anak didik secara sistematis. Para pendidik pun seperti tidak bisa berbuat apa-apa dalam menghadapi kenyataan yang eksklusif itu.
Perbedaan teologis yang substansial dari setiap agama tidak dihormati secara proporsional dalam kurikulum dan praktik pendidikan. Nilai-nilai agamis seperti kebenaran dan perdamaian tidak diperjuangkan untuk menata pluralisme dengan cara menghormati perbedaan-perbedaan yang ada, dan persoalan pluralisme diselesaikan secara elegan.
Namun, sayangnya semua masalah yang muncul kerap diendapkan dengan cara-cara yang represif. Akhirnya, semua itu pun hanya ibarat menyimpan bom waktu yang kemudian meledak dalam aneka kekerasan berlatar agama dan etnis seperti yang terjadi pada awal reformasi, bahkan hingga sekarang.
Kedua, pendidikan kita cenderung mengedepankan truth claim ketimbang truth exchange. Materi pelajaran yang diajarkan di sekolah yang membenarkan apa yang diyakini benar dan menghakimi apa yang diyakini salah. Kebenaran yang satu dimutlakkan untuk yang lainnya.
Anak didik tidak diberi ruang cukup untuk menguji kebenaran lainnya, seperti kebenaran teologis yang ada pada agama lainnya. Akhirnya, anak didik menjadi kurang kritis terhadap setiap masalah dan aneka macam nilai yang ada dan tidak kreatif dalam mengelola hidup.
Lebih dari itu, praksis pendidikan yang indoktrinatif juga kerap mendominasi kesadaran murid, dan itu terasa sekali di perguruan tinggi.
Tidak disadari, itu tidak lebih merupakan suatu praktik penindasan terselubung, bersifat nekrophilis –meminjam istilah Erich Fromm, yang artinya bahwa sistem pendidikan itu tidak mengarahkan murid kepada cinta akan kehidupan dan/atau terhadap segala sesuatu yang berkembang, tetapi lebih kepada segala yang bersifat mekanis, sehingga mereka menghadapi hidup ini secara mekanis pula.
Ingat bahwa pendidikan adalah suatu proses sosial, sehingga pendidikan sebaiknya dipahami juga sebagai proses humanisasi, yaitu usaha agar seluruh sikap dan perilaku, serta aneka kegiatan seseorang bersifat manusiawi.
Di situ pula pendidikan dikatakan sebagai proses pembentukan manusia seutuhnya lahir batin, dengan karakter dan watak kebangsaan yang kuat dan bersifat plural. Dengan begitu, dari situ anak didik dapat diarahkan untuk lebih tahu dalam menghargai dan menghormati aneka macam nilai dalam masyarakat seperti nilai pluralisme.
Perubahan Paradigma
Kini, tidak ada jalan yang lebih tepat selain bahwa realitas plural kemajemukan kita harus mendapat perhatian yang memadai dalam dunia pendidikan kita.
Pendidikan agama, sebagai contoh, tidak boleh disejajarkan sebagai bagian dari usaha seseorang untuk memonopoli Tuhan dan kebenaran, dan dengan sendirinya menghakimi orang lain yang berbeda agama atau keyakinan dengannya.
Akibatnya, realitas plural kehidupan agama kurang berfungsi sebagai tali pengikat persatuan bangsa yang berdiri berlandaskan pada Pancasila yang mengagungkan pluralisme itu.
Karena itu, pendidikan kita harus dikembangkan kepada ranah pluralisme untuk merangsang daya pikir dan kreativitas anak didik, serta kepada realitas dinamika masyarakat, bukannya menciptakan menara gading yang tercerabut dari akar kehidupan masyarakat plural.
Sistem pendidikan, metode, dan cara belajar-mengajar pun harus diarahkan kepada pembentukan pola pikir dinamik, kreatif, dan pluralis bagi siswa dan mahasiswa, agar di dalam diri mereka tumbuh semangat toleransi dan saling menghormati.
Dalam hal ini, untuk mengubah paradigma dan metodologi pendidikan harus ada kebijakan pendidikan yang tegas, bahkan radikal, dari para pemegang kebijakan negara, yaitu dengan mengubah secara fundamental pendidikan sebagai subjek dinamika realitas kehidupan masyarakat.
Dengan demikian siswa dan mahasiswa dapat memahami dan mengelola realitas pluralisme bangsa secara tepat.
Rudyono Darsono, Ketua Yayasan Perguruan Tinggi 17 Agustus 1945, Jakarta.
Sumber: Sinar Harapan, Jumat, 30 September 2011
No comments:
Post a Comment