-- Thomas Koten
BERDASARKAN teori terorisme, ada begitu banyak latar belakang lahirnya terorisme, seperti ekonomi, sosial dan politik. Yang paling banyak, menurut Michael Foucault dan Derrida, adalah terorisme berlatar belakang politik. Karena itu, dikatakannya, terorisme merupakan pesan ekstrem dari kalangan sindikat anarkisme sosial dan politik di tengah krisis ekonomi dan politik dengan menghalalkan segala cara.
Khususnya, terorisme berlatar belakang politik, umumnya bertolak dari persaingan politik, dendam politik atau sebagai cermin ketiadaan demokrasi akibat dari pemerintahan yang represif. Artinya, pemerintahan yang represif dapat menggiring masyarakat ke arah kehidupan yang tanpa perdamaian. Kedamaian dan ketenteraman di bawah pemerintahan yang represif, kerap dikatakan hanyalah semu atau sekadar kamuflase. Karena, di dalam pemerintahan yang represif, tidak tumbuh dialog, keterbukaan dan toleransi yang substansial. Yang ada adalah ketenangan yang dibungkus kecurigaan.
Karena itu, muncullah opini bahwa demokrasi harus dibangun, tetapi harus lebih dulu melenyapkan pemerintahan otoriter yang represif agar kedamaian esensial dapat tercipta di tengah masyarakat. Ternyata, meskipun pemerintahan Orde Baru yang dinilai otoriter itu rontok dan demokrasi pun sudah sekian lama dibangun, tetapi terorisme terus saja tumbuh dengan aksi teror bom yang tanpa henti.
Ironisnya, persaingan dalam perebutan kekuasaan yang terbungkus ambisi pribadi, kerap mencipakan konflik internal dan tak jarang melahirkan aksi terorisme. Belum lagi, aksi terorisme yang kerap dilakukan oleh kelompok-kelompok radikal. Dan, sebenarnya dengan terus menerus terjadinya aksi terorisme itu, bangsa ini terutama para aparat keamanan negara sudah berpengalaman dalam mencegah atau mengatasinya. Namun, mengapa para aparat keamanan negara selalu kecolongan? Atau, apakah terorisme itu dilakukan oleh negara untuk maksud tertentu?
Pertanyaan tersebut harus dijawab dengan mengatakan bahwa bangsa ini, terutama aparat negara belum memiliki manajemen antikekerasan. Padahal, sebagai sebuah negara besar dan sangat majemuk serta demokratis, bangunan manajemen antikekerasan yang membingkai demokrasi, merupakan sesuatu yang mutlak dibangun, supaya terorisme mudah dicegah, aksi kekerasan dapat diantisipasi, demokrasi substansif dapat tercipta dan kedamaian dapat terbangun di negeri ini.
Masalahnya, partai politik yang salah satu tugasnya memberikan pendidikan politik kepada masyarakat, dengan ikut menciptakan ketenangan politik, ternyata dalam realitasnya juga hanya menjadi jembatan ambisius pragmatis untuk meraih dan merengkuh kekuasaan. Ambisi politik yang tidak terkirakan untuk menang dalam perebutan kekuasaan, menyeret para politisinya ke sikap fanatisme sempit, sehingga kadang-kadang orang pun curiga jangan-jangan aksi kekerasan atau terorisme yang terjadi selama ini, ada juga keterlibatan unsur-unsur politik.
Di samping itu, para agamawan yang diharapkan menciptakan ketenangan di kalangan umat, kerap juga menjadi obor pembakar emosi masyarakat yang kemudian melahirkan kekerasan berlatar belakang agama itu. Agama-agama yang sesungguhnya sangat mencintai perdamaian, akhirnya tercoreng wajahnya dan berubah menjadi agama-agama berwajah kekerasan. Umat beragama yang sangat mencintai perdamaian dan toleransi serta ingin hidup tenteram pun terus terusik, tidak berdaya dan hanya menggerutu.
Dengan demikian, mimpi rakyat untuk tercipta budaya damai, dengan praksis kehidupan sosial, ekonomi dan politik yang bermartabat, hanyalah terpahat di dinding kosong tanpa makna. Kita pun hanya bertanya, apakah keadaan seperti ini terus dibiarkan tanpa usaha yang sungguh-sungguh untuk mencegah terorisme dan kekerasan serta menciptakan perdamaian sejati menuju masyarakat dan bangsa yang berkeadaban?
Teologi Anti-kekerasan
Untuk mencegah munculnya aksi terorisme atau kekerasan lainnya, maka sangat diperlukan suatu bangunan 'teologi antikekerasan'. Sebuah bangunan teologi yang senantiasa menghargai kehidupan dalam diri setiap insan di dunia. Teologi yang dibangun dengan mengemban aksi dialog, aksi solidaritas, sekaligus mempersempit ruang kesalahpahaman, iri dan dengki yang kesemuanya telah menjadi sumber kekerasan dan pemicu aksi teror.
Dialog dan solidaritas sebagai wadah teologi antikekerasan ini mesti diprakarsai oleh tokoh-tokoh masyarakat dan agamawan, yang sekaligus mencerminkan kuatnya 'teologi baru' yang bisa menggiring masyarakat plural yang memiliki aneka kepentingan berbeda kepada suatu kehidupan bersama yang damai dan beradab. Sebuah teologi antikekerasan yang terus menerus dikembangkan untuk menciptakan perdamaian yang menyeluruh. Teologi antikekerasan ini juga diserap masuk ke dalam ruang-ruang kehidupan masyarakat seluruhnya dan menyenyawa dalam dimensi kehidupan ekonomi, sosial dan politik agar tercipta aneka kehidupan yang damai.
Teologi antikekerasan menjadi penting, karena dengan teologi ini, kekerasan ditempatkan dalam bingkai religius, yaitu terbangunnya keharmonisan dan keselarasan yang bebas dari kekerasan. Dan, teologi antikekerasan juga dijadikan sebagai tantangan untuk mewujudkan utopia iman dalam dialektika dengan realitas kekerasan dan kejahatan politik, bahkan juga ekonomi dan sosial. Karena, di dalam teologi antikekerasan itu juga hakikatnya tersembul utopia-profetisme iman yang terus membawa pesan perdamaian dalam setiap lini kehidupan, terutama lini politik yang senantiasa memperanakkan terorisme. ***
Thomas Koten, seorang sarjana filsasat dan teologi, Direktur Social and Development Center
Sumber: Suara Karya, Selasa, 27 September 2011
No comments:
Post a Comment