-- Cahaya Buah Hati
SAYA suka membaca, karya siapa saja, karena menurut Saya siapapun orang yang berani menulis adalah orang yang selangkah lebih maju dari orang yang diam.
Antologi Cita Cahaya adalah sebuah Antologi cerpen dan puisi yang diterbitkan oleh Leutika Prio 2011. Karya para pemenang lomba menulis cerpen dan puisi Xpresi Riau Pos tahun 2010. Mereka sepakat untuk menyatukan karya dalam sebuah antologi Cita Cahaya dan ini menarik karena seperti kita ketahui dalam sejarah masa lalu, Riau telah menorehkan sejarah kepengarangan melegenda, estafet dimulai dari masa Raja Ali Haji lewat adikarya Gurindam 12, Bustan al Katibin dan masih banyak lagi pengarang yang tergabung dalam Rusydyah Klab. Selain mereka, kita juga mengenal Marhalim Zaini, Sutardji Calzoum Bachri, Taufik Ikram Jamil, Musa Ismail dan masih banyak nama-nama lain yang selalu konsisten menorehkan karya.
Cita Cahaya memuat karya-karya Mulya Abdul Syukur, Hj Jatni Azna AR, Ematul Hasanah, Muhammad Asqalani Eneste dan Refila Yusra. Mereka (penulis muda) seperti jamur berlomba berkarya baik dalam mengikuti lomba/sayembara kepenulisan maupun menyerang media-media cetak baik di Riau maupun luar Riau. Tradisi ini memang harus dan wajib dilakukan sebagai bentuk adanya kreativitas kepenulisan yang dinamis.
Berbicara mengenai remaja kita mengenal akan sebuah dunia yang penuh warna, dengan segala tingkah-laku cinta-cintaan, sifat kanak-kanak yang manja, berego, labil, tergesa-gesa, namun disisi lain dunia remaja juga penuh semangat, ide-ide cemerlang, berani, tangguh dan siap tempur. Lalu apakah tema yang mampu ditawarkan oleh penulis remaja (muda) Riau dalam memandang kompleksitas problem sosial/kehidupan. Apakah hanya cinta-cintaan saja?
Menurut Stanton (1965: 88) dan Kenny (1966: 20) tema (theme) adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Namun, ada banyak makna yang terkandung dan ditawarkan oleh cerita itu, maka masalahnya adalah: makna khusus apa yang dapat dinyatakan sebagai tema itu. Atau, jika ada berbagai makna, itu dianggap (sub-sub tema atau tema-tema tambahan), makna yang manakah dan bagaimanakah yang dapat dianggap sebagai makna pokok sekaligus tema pokok cerita yang bersangkutan. (Hartoko dan Rahmanto, 1986: 142) juga menguraikan tema sebagai gagasan dasar yang menopang sebuah karya sastra, yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantik dan yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan.
Adapun proses pembacaan yang saya lakukan terhadap antologi ini yaitu dimulai karya Mulya Abdul Syukur (MAS). Ia menyuguhkan 5 judul cerpen yaitu “Istana Coklat”, “Kaos Kaki Polkadot”, “Like President Like Terrorist”, “Metamorfosis”, dan “Sebutir Apel untuk Adam”. MAS mencoba menawarkan berbagai kisah yang ditampilkan oleh sosok anak kecil, dengan segala hal yang ditemuinya. Jujur MAS mengingatkan saya kepada cerpenis Riau, Olyrinson yang baru-baru ini menerbitkan buku cerpen Sebutir Peluru dalam Buku(Palagan Press, 2011). Mereka seperti mempunyai kesamaan, yaitu suka menjadikan anak-anak sebagai tokoh sentral dalam setiap cerita. Pada cerpen “Istana Coklat”, MAS memakai tokoh Ismail dan Emir, “Kaos Kaki Polkadot” memakai tokoh “aku” dan Korbinian, “Like President Like Terrorist” memakai Abiyu, “Metamorfosis” (Aku-Ray dan Abang), dan “Sebutir Apel untuk Adam” (Adam).
MAS tentu saja memakai gaya dan tutur dia sendiri dalam mengisahkan cerita-ceritanya terasa mengalir dan terkadang kita disontakkan oleh kejutan-kejutan alur cerita seperti pada cerpen “Istana Coklat” awalnya cerita berporos pada “aku” (Ismail) dan Emir yang berkutat menceritakan tentang ibu bagi Ismail dan Emir tentang ayahnya, yang kemudian pada paragraf akhir tokoh si “aku” berubah menjadi si ibu (orang tua Ismail), hal ini memberikan ruang berpikir, ternyata cerita belum selesai dan berpotensi menimbulkan konflik baru. Teringat kembali pada Olyrinson dan bukunya Sebutir Peluru dalam Buku, membuat saya berpikir apakah judul cerpen “Sebutir Apel Untuk Adam” dapat bersinerji dengan “sebutir peluru”, lalu manakah yang lebih tepat “sebutir” atau “sebuah”? Butir dipakai pada penamaan barang yang sifatnya kecil-kecil seperti beras/peluru dll. Atau mungkin MAS ingin menghadirkan warna baru di judul sehingga mampu menarik pembaca untuk turut masuk dan larut dalam cerita-ceritanya?
Pembacaan dilanjutkan pada 5 cerpen Hj Jatni Azna AR yaitu “Menari Bersama Angin”, “Biarkan Aku seperti Chairil”, “Ninek Sihir”, “Serenada Empat Roda”, dan “Rembulan di Atas Ombak”. Sama dengan MAS, cerpen-cerpen Jatni juga menyuarakan tentang tema sosial/kehidupan yang di tokohkan pada tokoh-tokoh yang beragam tidak seperti MAS yang suka bercerita melalui tokoh anak-anak. Di cerpen “Serenada Empat Roda” misalnya, Jatni menghadirkan tokoh-tokoh dewasa Atan (kondektur) dan Bang Itam si supir bus, menggambarkan jalanan yang menyimpan kisah-kisah unik, terpantul dari setiap sudut baik di terminal, lampu merah, trotoar, halte, bus, gelandangan dan Jatni mampu mengisahkan itu.
Walaupun tema sosial/kehidupan memang sangat menarik untuk dieksplor menjadi cerita namun Jatni harus mampu menggali lagi potensi itu sehingga bisa membeberkan cerita-cerita yang dalam, alur yang menarik dan tidak seperti dipaksakan terlihat pada cerpen “Biarkan Aku Seperti Chairil” yang terasa sangat sempit penceritaannya, padahal kalau Jatni mau masih bisa mengembangkannya.
Dalam cerpen-cerpen Ematul Hasanah (EH) yaitu “Senyum Terakhir Arini”, “Rembulan di Hati Emak”, “Menanti Ayah”, “Luka Adinda”, dan “Klepto”. Saya seperti tersantuk pada keseragaman tema yaitu masalah rumah tangga. Seperti di cerpen “Senyum Terakhir Arini” cerpen ini menceritakan tentang ibu tiri yang ternyata tidak sekejam yang dibayangkan. Penyesalan Nayla terjadi setelah kematian Arini (si adik tiri). Pada cerpen “Rembulan di Hati Emak” juga menceritakan betapa seorang bapak tega menelantarkan keluarga (Midah dan ibunya). Dalam cerpen “Menanti Ayah” juga mengetengahkan hal yang sama yaitu seorang ayah yang gagal menghidupi keluarganya dan harus merantau/kehilangan nyawa di Selat Malaka. Sedang dalam cerpen “Luka Adinda”, Ema kembali menyuarakan pengalaman pahit yang dialami Ayu ketika melihat kegagalan rumah tangga orang tuanya yang membuat ia ragu-ragu menerima lamaran Faiz.
Membaca puisi adalah hal yang paling saya suka, karena bagi saya puisi bagai ruang untuk mengutarakan segala problem tanpa menyakiti atau menyinggung dan ruang itu telah mulai dibangun oleh Muhammad Asqalani Eneste (MAE) dan Refila Yusra.
Membaca puisi MAE seperti membawa saya ke dalam sebuah dunia yang memang tidak baru tapi entah, serasa tidak saya kenal ada sentuhan kata-kata yang kurang saya pahami. MAE seperti membangun jembatan yang panjang dengan banyak patahan-patahan kayu (diksi) terkadang mengajak saya terus maju menyusur setiap patahan/patahan kayu itu kadang mengajak berhenti sejenak diam lalu jalan lagi untuk menemukan kemana hendak MAE muarakan puisi ini.
Berbeda betul dengan MAE, Refila Yusra cenderung berani untuk tidak menyembunyikan sesuatu di dalam puisi-puisinyanya meskipun demikian ada kekuatan yang sangat lembut dan membuat puisi-puisi ini terasa begitu romantis.
Ternyata, mereka (Mulya Abdul Syukur, Hj Jatni Azna AR, Ematul Hasanah, Muhammad Asqalani Eneste dan Refila Yusra) walaupun muda namun tetap mampu berkarya dan mendedahkan keprihatinannya. Mereka tidak hanya berkutat dalam kehidupan remajanya yang penuh cinta-cintaan, tapi juga mampu menyuarakan mengenai problem kehidupan di sekitarnya.
Cahaya Buah Hati, penyair dan penyuka buku. Tinggal di Pekanbaru.
Sumber: Riau Pos, 4 September 2011
No comments:
Post a Comment