Sunday, July 26, 2009

Panggung Dinar Rahayu

-- Sapardi Djoko Damono*

KITA senantiasa berada pada saat ini dan di sini. Itulah "dunia" yang kita kenal. Masalah kita, dengan demikian, adalah bagian dari yang saat ini dan di sini, tak putusnya berubah, selalu menuju ke sesuatu tetapi hanya bisa sampai di sini, di saat ini. Kita merasa mengenal baik hal itu dan karenanya menganggapnya sebagal hal sehari-hari yang bisa saja tidak ada daya tariknya lagi. Karena tidak betah berada di "dunia" yang demikian itu, kita ingin melepaskan diri dan melesat ke suatu situasi yang membebaskan kita dari yang sehari-hari itu.

Dan kita pun menciptakan dongeng. Bermacam-macam jenisnya, dari yang rasanya masih sangat dekat dengan "dunia" kita sehingga kita merasa sudah mengenalnya sampai yang begitu jauh sehingga hanya bisa "dibaca" oleh sebagian kecil dari kita. Dan karena kita ini merupakan bagian dari proses kelahiran dan kematian, spektrum yang tak terbatas bentangannya tetapi yang tidak juga bisa lepas dari keadaan kita sebagai yang berada di sini di saat ini, masalah yang kita sodorkan dalam dongeng ternyata itu-itu juga. Yang menarik untuk dibicarakan adalah cara meracik dongeng itu.

Itulah yang perlu dibicarakan berkenaan dengan sejumlah cerita pendek yang dikumpulkan Dinar Rahayu dalam Lacrimosa. Kalaupun merasa tak usah memedulikan pesan yang ingin disampaikannya, kita tahu bahwa masalah yang ditulisnya adalah sejumlah titik dalam spektrum itu juga: cinta, kasih sayang, keterasingan, kesunyian, kebimbangan, ketidakpastian, dan maut. Semua itu bisa saja kita sebut dengan kata-kata berbeda tergantung dari sudut mana kita melihatnya. Titik-titik spektrum itu merupakan bagian yang berproses dalam diri kita; kita merasa mengenalnya dengan baik, tentu dengan kadar yang bisa saja berbeda-beda. Itulah yang kita kenal sebagai yang "sehari-hari", yang "membelenggu", yang menyebabkan kita berusaha untuk menciptakan panggung lain nun di sana agar bisa memainkan kehidupan yang "tidak mungkin", yang tak bisa dicapai di sini dan saat ini.

Dalam buku yang menarik ini, Dinar telah menciptakan panggung yang tata busana, tata rias, dan berbagai properti lainnya sedemikian rupa sehingga memberi peluang bagi tokoh-tokoh yang diciptakannya untuk tampil sebagai makhluk "asing" di hadapan kita. Memang itulah pada dasarnya ciri dongeng: mengasingkan yang biasa. Dalam konsep ini, tokoh-tokoh Oedipus dan Kancil tidak ada bedanya. Mereka bermain di panggung yang tidak bisa kita capai, kita menjadi penonton yang membacanya, yang karenanya merasa telah terpenuhi hasratnya untuk lepas dari yang saat ini dan di sini. Lacrimosa, Igdrasil, Kasandra, Magainin dan yang lain-lain adalah tokoh-tokoh yang dimainkan oleh Dinar dengan cerdas di berbagai panggung yang memberi kesan bergeser-geser ke masa lampau dan masa depan.

Saya ambil contoh "Igdrasil" untuk membicarakan literary device "akal-akalan sastra" yang dipergunakannya. Katanya, nama itu dicongkelnya dari sebuah dongeng Skandinavia. Nah, Dinar telah melaksanakan tugas utama pencipta, yakni mencuri. Kenal atau tidak kenal nama itu sebelumnya, kita langsung dibawanya ke panggung Termagania yang dihuni oleh laki-laki yang ditakdirkan untuk hamil. Kita kenal konsep laki-laki dan juga pengertian kehamilan. Dan ketika di panggung dua konsep itu digabung, ia menjadi "asing" namun tetap bisa kita kenali seperti halnya Kancil yang bisa bicara dan Oedipus yang mengawini ibunya. Kita pun langsung bisa membayangkan laki-laki itu karena bentuknya "seperti kuda laut", meskipun dijelaskannya bahwa proses kehamilan itu sama sekali berbeda dengan yang kita kenal di kalangan manusia:

...pada bagian perutnya terdapat semacam kantung rahim, di bawahnya terdapat bukaan tempat sang istri menyimpan telur untuk ia buahi sesaat setelah mereka bersetubuh.

Lelaki hamil itu dibiarkannya hidup di sebuah "dunia" asing yang sedang mengalami masalah keamanan gara-gara perseteruan dengan suatu masyarakat lain yang dinamakan Drakonia. Ada pasukan perdamaian, ada pesawat terbang yang meledak, dan kapsul penyelamat yang bisa saja menggoda kita untuk membayangkan seri film Star Trek dan sebangsanya, ada radio, ada lorong bawah tanah yang disebut lorong musik, dan sebagainya. Melahirkan adalah konsep yang kita kenal, demikian juga musik --yang disebut terakhir itu justru merupakan alasan kenapa masyarakat itu mempunyai hubungan dengan bumi kita ini yang memiliki berbagai alat musik. Dan juga ada adegan penutup yang boleh saja mengharukan kita, yakni ketika sesaat sebelum dibunuh musuh, pemimpin Termagania itu melahirkan seorang bayi yang dinamakan Igdrasil, nama yang sama dengan si narator, yang berhasil diselamatkan dari planet asing itu dengan pesawat ke bumi. Igdrasil menyelamatkan Igdrasil, "membawa Igdrasil dalam pelukanku".

Pengantar yang ditulis Dinar menjelaskan proses penulisan cerita-cerita ini. Dongeng melahirkan dongeng, begitu seterusnya sehingga tumbuh hutan rimba dongeng yang meluas ke mana-mana. Musik, fiksi, film, dan mitologi merupakan sumber yang tersedia untuk dicuri atau dicontek karena lewat benda budaya tersebut kita bisa mengintip dunia yang ingin kita masuki, yang dalam kehidupan sehari-hari kita tidak terjangkau, tidak akan terjalani. Dinar telah menciptakan dunia lain tempat ia mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar manusia yang dalam penghayatannya bisa disimpulkan dalam salah satu larik cerita yang menjadi judul buku ini, "Aku menjadi kehidupan satu-satunya di angkasa, entah di mana. Mengetahui ada kehidupan lain tapi tak dapat mengatakannya kepada siapa pun". Ia, entah di mana, berada di tahap akhir sebuah proses laboratorium "penciptaan", langsung menghadapi masalah komunikasi. Pada pembacaan saya, itulah wisdom yang mendasari cerita-ceritanya.

* Sapardi Djoko Damono, penyair

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 26 Juli 2009

No comments: