Judul: Pendekar Sendang Drajat (Pesisir Utara Majapahit di Abad Ke-16)
Penulis: Viddy AD Daery
Terbit : Mei 2009
Penerbit: Pustaka Alvabet
Tebal : 236 hlm
Raden Ahmad atau Pendekar Sendang Drajat, adalah potret pahlawan yang muncul demi membenahi situasi dengan keutuhan sifatnya manusianya.
BARANGKALI Pendekar Sendang Drajat termasuk salah satu novel silat berlatar sejarah yang gaya tulisannya paling berapi-api sejak awal cerita hingga klimaksnya. Meski penulis Viddy Ad Daery mengaku kalau proses penulisan Pendekar Sendang Drajat lebih lama dibandingkan novel karyanya yang lain -materi cerita sudah memenuhi otak penulis sejak kanak-kanak-, alur cerita mengalir begitu lancar seolah ditulis tanpa jeda karena pengarang seperti tak pernah kehabisan inspirasi.
Mungkin juga karena materi cerita sudah tertanam di benak penulis sejak kecil, ada daya tarik kanak-kanak karakter penceritaan Pendekar Sendang Drajat, yaitu gaya berkisah ceplas-ceplos penuh keyakinan dan keberanian yang jadi pesona novel silat yang satu ini. Berdasar kekuatan riset sejarah yang kemudian diracik bebas dengan fantasi mengenai pendekar muslim ideal, Viddy menyuguhkan dimensi masa lalu yang menyegarkan.
Sejak awal, pengarang sudah mengawali ceritanya dengan latar waktu masa-masa senja kekuasaan Majapahit Raya. Ini adalah era “kegelapan” yang menggiring wilayah-wilayah di bawah kekuasaannya masuk dalam kondisi chaos karena kehilangan pegangan. Termasuk sendi kehidupan dan sistem pemerintahan di wilayah otonom Sendang Duwur di daerah Kerajaan Pamotan, Tuban (kini Lamongan).
Di masa itulah, seperti dituturkan Viddy, yaitu sekitar tahun 1565-an, hidup seorang jagoan silat berusia 30-an yang mumpuni dalam olah kanuragan, olah perkelahian. Dialah Raden Ahmad yang lebih dikenal dengan sebutan Pendekar Sendang Drajat.
Kelihatan tak mau berbasa-basi dengan plot, setting kekacauan ini menghalalkan pengarang untuk langsung menampilkan Raden Ahmad di awal tulisannya. Pengarang langsung bergulat dengan konflik yang akhirnya juga menjadi seluruh pokok permasalahan yang mesti dihadapi sang pendekar.
Meski baru sedikit saja diulas tentang kepiawaian si tokoh utama, perkelahian dan interaksi yang kemudian terjadi akan segera mengungkap tentang kepribadian pendekar. Tentunya masih ada serapan karakter jagoan klasik seperti gagah, bijaksana, kharismatik, dan tentu saja berakhlak mulia. Bedanya, Pendekar Sendang Drajat agak galak dan tidak bertele-tele. Bisa jadi karena pengaruh suburnya pertumbuhan Islam yang menggantikan Hindu di masa itu, maka ciri khas pendekarnya pun lekat dengan budaya dakwah dan penegakan nilai Islam selayaknya para Sunan yang menyebarkan Islam di bumi nusantara.
Pendekar Sendang Drajat sesekali menghabisi lawan tanpa pertimbangan yang lambat jika ia yakin musuhnya hanya akan menambah maksiat di bumi. Misalnya ketika pendekar ini membantu Ki Suryadadi menghadapi gerombolan penjahat sadis pimpinan Ki Suradadu. Tanpa ragu-ragu, Pendekar Sendang Drajat memenggal kepala lawannya yang sudah menyerah karena segala kebejatannya terbongkar.
“Rupanya kau adalah manusia yang sangat berbahaya jika dibiarkan hidup, Darmo,” seru Raden Ahmad gusar mengetahui kalau musuhnya menculik banyak perempuan untuk dijadikan “penghibur”. Segeralah ia mencabut pedang dan menebaskannya ke leher laki-laki yang dipanggil Darmo tersebut.
Adegan yang lumayan sadis macam ini memang umum dijumpain dalam novel silat. Viddy pun mengemukakannya dengan gamblang selayaknya keputusan macam itu bukan sesuatu yang luar biasa. Untungnya, penulis mengimbangi kekelaman yang penuh adu cabut-nyawa ini dengan kejenakaan yang diselipkan di sana sini.
Humor menggelitik dalam novel ini tak membutuhkan eksistensi sosok konyol tertentu, karena sesungguhnya yang menggelitik adalah gaya tutur pengarang. Viddy terbilang piawai memilih timing yang tepat untuk melontarkan hal-hal yang lucu sehingga karakter mana pun bisa jadi lucu kapan pun dimana pun. Terkadang panas hati, lembut, humoris, atau konyol karena jatuh cinta, adalah sifat dasar manusia yang dipaparkan dengan jujur oleh pengarang denga membiarkannya terjadi pada beberapa tokoh cerita. Biasanya sisi manusia yang kompleks macam ini disederhanakan dalam sebuah cerita untuk mempertegas positioning peran dan karakter.
Makanya tak heran kalau Raden Ahmad yang berwibawa juga bisa bercanda dan tokoh jagoan lainnya macam Raden Khavid juga bisa bertingkah konyol luar biasa saat melihat gadis idaman. Yang juga kocak dengan masih sarat muatan sejarah adalah ketika pengarang menggambarkan reaksi masyarakat saat menerima kedatangan pertama pelaut Belanda di wilayah tersebut. Selain berkumpulnya masyarakat menonton keajaiban fisik bangsa asing yang merejka anggap raksasa, Viddy dengan santai menciptakan percakapan lintas bahasa yang mengundang senyum. Misalnya ketika bangsawan Belanda salah mengeja nama Raden Khavid.
“Ah…I see, you are David, young man of the richest man,” kata si bule beramah tamah. Setelah diralat, ia pun meminta maaf, “It’s so easy to call David, and so difficult to call Khavid.”
“Lhhaa, bisa gitu kok.”
“Hahaha..yeah yeah,” mereka semua tertawa atas kelucuan yang ditimbulkan keterbatasan pemahaman bahasa masing-masing. Barangkali hanya tertawa itulah bahasa universal yang bisa dimengerti oleh semua bangsa.
Adegan di atas sarat akan berbagai pesan yang dibawa pengarang dalam sastra silat ini. Pertama adalah kemampuannya memanfaatkan adegan menjadi perbincangan menarik yang tidak membosankan, kemudian penulisan bahasa Inggris yang apa adanya dan tidak terlalu muluk namun sangat kontekstual, lalu juga adanya relevansi gambaran penerimaan masyarakat terhadap bangsa asing dengan kondisi pengetahuan umum di zamannya, meskipun mungkin tidak terlalu akurat. Seperti yang diungkapkan sastrawan Eka Kurniawan dalam literatur mengenai sejarah dalam cerita silat di blog pribadinya bahwa salah satu sejarah menjadi elemen utama dalam novel adalah karena ia menjadi media yang dipergunakan untuk memperkuat unsur-unsur fiktif di dalam karya. Sejarah tidak menjadi elemen penting di sini meskipun ia mengambil porsi yang sangat signifikan.
Bagaimanapun, karya Viddy ini bukanlah novel sejarah seperti tujuan utamanya ia dibuat, melainkan sebuah kisah fiksi silat berlatar sejarah yang menurut kritikus sastra dan dosen Universiti Malaysia Mohamad Saleeh Rahamad: telah menjalankan perannya sebagai karya sastra yang membangunkan jiwa manusia untuk sadar akan tugasnya sebagai khalifah Allah di muka bumi. Meski begitu, penulis pentalogi Gajah Mada Langit Kresna Hadi, melihat kisah Raden Ahmad ini sebagai karya yang menempatkan pembaca untuk memahami sejarah tanpa pernah berniat mempelajarinya. (Sjifa Amori)
Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 12 Juli 2009
No comments:
Post a Comment