-- Ester Lince Napitupulu
HARAPAN orangtua untuk sedikit bernapas lega dari keharusan mengeluarkan biaya pembelian buku pelajaran, setidaknya hingga sepertiga dari biaya buku pada tahun-tahun sebelumnya, lagi-lagi kandas. Pihak sekolah belum juga merekomendasikan pemakaian buku-buku pelajaran yang sudah dibeli hak ciptanya oleh pemerintah, padahal gaungnya sudah dipakai juga dalam kampanye calon presiden dan calon wakil presiden beberapa waktu lalu.
Jika mendapatkan buku murah saja masih sulit, rasanya untuk membayangkan suatu saat orangtua dan siswa tidak perlu mengeluarkan uang buku juga akan sia-sia. Nyatanya, untuk pendidikan dasar sembilan tahun (jenjang SD-SMP sederajat) saja, yang seharusnya gratis, tanggung jawab penyediaan buku masih dibebankan kepada peserta didik.
”Idealnya, tiap murid dapat buku untuk tiap pelajaran. Bukan cuma buku teks, tetapi juga buku bacaan dan rujukan. Tetapi jika pemerintah bilang belum mampu menyediakan buku gratis untuk semua siswa, untuk pendidikan dasar mestinya paling tidak buku-buku teks wajib gratis,” kata Soedijarto, praktisi dan pengamat pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta.
Soedijarto yang juga Ketua Umum Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) mengatakan, dalam anggaran pendidikan harus jelas ada anggaran buku. Namun, kuat sekali kesan bahwa kenaikan anggaran pendidikan sekarang ini lebih sebagai akal-akalan untuk menyiasati UUD 1945.
”Kenaikan anggaran itu tidak berdampak pada peningkatan mutu pendidikan. Seharusnya anggaran pendidikan, ya, untuk pendidikan, bukan termasuk gaji guru yang juga menyedot lebih dari setengahnya,” kata Soedijarto.
Bagi Ade Irawan, Koordinator Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch (ICW), isu seputar buku pelajaran yang tiap tahun masih saja jadi beban masyarakat kian menunjukkan bahwa pendidikan di negara ini dipandang sebagai komoditas bisnis. Kondisi itu terjadi bukan semata-mata salah guru dan sekolah, tetapi karena pengelola negara ini yang tidak memandang penting pendidikan dan mengomersialkan pendidikan.
”Ketika pendidikan di negara ini masih dianggap sebagai komoditas, berbagai hal yang terkait di dalamnya, termasuk buku, juga dipandang sebagai bisnis. Siswa yang tidak berdaya, yang tentu saja tetap akan mengikuti buku teks yang dipakai di sekolah, mau tidak mau tiap tahun terpaksa membayar biaya buku yang mahal itu,” ujar Ade.
Adanya bantuan operasional sekolah (BOS) juga tidak sepenuhnya membebaskan siswa dari berbagai pungutan. Program BOS buku yang dikucurkan pemerintah sejak 2006 itu juga dinilai tidak sukses karena selalu telat.
Besaran dana BOS buku yang awalnya dipatok Rp 20.000 per siswa per semester masih terlalu kecil. Hanya cukup digunakan membeli satu buku. Dana BOS buku yang kecil tersebut kini bahkan diturunkan menjadi Rp 12.000 dengan alasan sudah ada buku murah dari program buku sekolah elektronik versi cetak.
Sekolah pun mesti ”mutar otak” untuk bisa menyediakan buku teks yang cukup di perpustakaan. Tetapi nyatanya tidak mudah karena dana pembelian buku yang tidak memadai. Adapun buku murah versi cetak dari program buku sekolah elektronik tak juga muncul di ruang kelas.
Sediakan buku gratis
Ade yang juga anggota Kelompok Independen untuk Advokasi Buku (Kitab) menegaskan, ketersediaan buku teks di sekolah sebenarnya bukan tanggung jawab murid. Pemerintah yang justru harus bertanggung jawab menyediakan buku gratis untuk setiap siswa.
”Anehnya, sekarang pemerintah mengeluarkan kebijakan buku murah. Lewat program buku elektronik yang masih susah diakses sebagian besar sekolah, kebijakan pemerintah itu jelas cuma coba-coba. Padahal, puluhan miliar uang rakyat sudah dipakai, tetapi sampai sekarang belum terasa dampaknya pada rakyat. Kebijakan buku sekolah itu harus buku gratis, bukan buku murah,” ungkap Ade.
Pada masa pemerintahan Orde Baru, setiap siswa pernah merasakan kebijakan yang menguntungkan dengan disediakannya buku gratis dari sekolah. Anehnya, di tengah kenaikan anggaran pendidikan yang diklaim sudah mencapai 20 persen dari APBN—sesuai dengan amanat UUD 1945—wacana buku gratis semakin sayup terdengar.
Pemerintah malah berkutat di program buku murah. Itu pun tidak juga kunjung langsung dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Padahal, kebijakan yang mengusung label reformasi di bidang perbukuan ini sudah berlangsung sejak 2007.
”Sosialisasi sudah dilakukan. Untuk perubahan ke hal baru butuh waktu. Jangan hanya berpikir saat ini dengan mengatakan secara buru-buru bahwa buku kebijakan sekolah elektronik gagal, tetapi harus dilihat beberapa tahun ke depan,” ujar Kepala Pusat Perbukuan Depdiknas Sugijanto.
Kebijakan pemerintah saat ini lewat pembelian hak cipta buku-buku teks pelajaran, kata Sugijanto, bertujuan untuk menjamin tersedianya buku murah di masyarakat. Adapun penyediaan buku secara gratis dilakukan dengan menggunakan dana bantuan BOS buku, subsidi pemerintah daerah, atau oleh pihak-pihak lain.
Saat ini ada 3.000-an jilid buku teks pelajaran dari sejumlah penerbit yang beredar di pasaran. Buku-buku tersebut sudah lolos penilaian Badan Standar Nasional Pendidikan dan layak pakai selama lima tahun.
”Sementara buku sekolah elektronik baru 598 jilid untuk SD-SMA/SMK. Jumlah itu masih kecil dibandingkan buku yang ada di pasaran,” ujarnya.
Kebijakan buku murah lewat pembelian hak cipta, kata Sugijanto, sebagai jalan tengah yang dilakukan pemerintah. Sebab, tambahnya, ketika dulu pengadaan buku dimonopoli pemerintah lewat Balai Pustaka, buku-buku yang dibagikan ke sekolah mubazir karena dinilai tidak sesuai dengan kebutuhan.
Kebijakan buku murah lewat program buku elektronik itu dinilai solusi yang baik dari kacamata pemerintah. Hanya tinggal menunggu waktu untuk bisa dimanfaatkan lebih luas lagi oleh masyarakat.
Sekolah yang sudah memiliki jaringan internet dapat mengunduhnya dari jaringan pendidikan nasional (jardiknas). Yang belum tersentuh internet bisa mendapatkan versi cetak dengan harga eceran tertinggi antara Rp 4.000 dan Rp 29.000, bergantung pada jenis dan ketebalan buku. Secara rata-rata, harga buku di kisaran Rp 8.000-Rp 12.000.
Namun, bagi Soedijarto, mestinya yang dilakukan pemerintah memperbaiki hal-hal yang keliru dari pengadaan buku gratis dan bukan menghentikan buku gratis ke sekolah-sekolah. ”Dananya disiapkan pemerintah, lalu serahkan ke sekolah untuk memilih buku yang mau dipakai,” ujarnya.
Evaluasi serius
Kebijakan buku teks yang berganti-ganti dirasa masih bagus di atas kertas, tetapi nihil dalam implementasi. Buku masih dibisniskan, sekarang dengan dalih buku murah.
Bagi pemerintah, sah saja jika masyarakat mampu dibebani pungutan pembelian buku. Dalihnya, dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, masyarakat boleh berperan serta dalam penyelenggaraan pendidikan.
”Yang penting, sekolah harus menyediakan buku untuk siswa tidak mampu,” kata Sugijanto.
Akan tetapi, bagi pihak-pihak yang kritis terhadap pelaksanaan pendidikan, tersedianya buku gratis di sekolah adalah suatu kewajiban. Cara itu untuk menghentikan pungutan buku teks yang berganti tiap tahun.
Belum berhasilnya program buku elektronik meringankan beban masyarakat soal buku pelajaran, kata Ade Irawan, mesti dievaluasi secara serius. ”Jangan cuma menuding sekolah, dinas pendidikan daerah, dan penerbit sebagai sumber masalah. Depdiknas juga harus berani mengakui jika kebijakan untuk buku pelajaran masih belum pas. Penyediaan buku pelajaran harusnya mendapat subsidi penuh supaya tidak ada peluang pembisnisan buku pelajaran oleh siapa pun,” kata Ade.
Sejumlah lembaga swadaya masyarakat bahkan mengajukan judicial review (uji materi) ke Mahkamah Agung terhadap Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 2 Tahun 2008 tentang Buku. Pertimbangannya, peraturan tersebut melegalkan pemerintah melepaskan tanggung jawab dalam penyediaan buku gratis.
Fitriani Sunarto selaku Koordinator Kitab mengakui bahwa pemerintah memang melakukan hal yang baik dengan membeli hak cipta buku, lalu mengunggahnya ke internet sehingga bisa diakses siapa saja untuk dipakai sebagai sumber belajar. Akan tetapi, dalam perspektif kebijakan pendidikan dasar, pendidikan itu gratis, termasuk dalam penyediaan buku teks pelajaran.
”Di sinilah ironinya. Kebijakan buku sekolah elektronik adalah bukti bahwa pemerintah melepaskan tanggung jawabnya secara perlahan-lahan dalam pelaksanaan pendidikan dasar gratis berkualitas,” ujarnya.
Menurut Ade, yang justru perlu dilakukan pemerintah adalah menambah jumlah BOS buku sehingga buku teks wajib bisa tersedia secara gratis di sekolah. Cara ini juga menghargai otonomi sekolah karena sekolah tidak dipaksa untuk memakai buku-buku tertentu.”Pemerintah terlalu menyederhanakan persoalan dalam hal pengadaan buku teks pelajaran. Sifatnya hanya jangka pendek. Kondisi ini tidak kondusif untuk pendidikan,” ujarnya. (ine)
Sumber: Kompas, Jumat, 24 Juli 2009
No comments:
Post a Comment