Judul Buku : The Rug Merchant, Pedagang Permadani
Penulis : Meg Mullins
Penerbit : Bentang Jogja
Cetakan : I, Mei 2009
Tebal : viii + 314 halaman
JIKA Anda tengah patah hati, agaknya novel ini layak menjadi teman. Betapa tidak, novel ini, The Rug Merchant (Pedagang Permadani), juga mengisahkan patah hati Ushman Khan, sang tokoh utama, seorang pedagang permadani Iran yang beremigrasi ke Amerika atas cinta sejatinya.
Diceritakan Ushman beremigrasi ke Amerika demi kehidupan yang lebih baik bagi dirinya dan istrinya, Farak. Ushman selalu memimpikan suatu saat dapat membawa istrinya ke New York, meninggalkan Tabriz. Kebahagiaan Faraklah satu-satunya tujuan ia berkelana sejauh itu. Bayangannya akan Faraklah yang membuatnya bertahan menahan keras dan sepinya sendirian di negeri orang.
Apa mau dikata, Farak pujaan hatinya ternyata mengkhianatinya. Ia mengandung janin laki-laki lain setelah ditinggalkan suaminya merantau. Ushman sangat berharap janin itu tidak akan selamat, seperti lima janin lain darinya yang pernah dikandung Farak sebelumnya, yang selalu mengalami keguguran. Namun, takdir berkata lain, janin yang ini justru bertahan.
Kejadian ini ternyata tidak mampu menghapus cinta Ushman begitu saja. Ushman mau menerima keadaan itu dan masih meminta istrinya bergabung dengannya di Amerika. Ia berjanji akan merawat bayi itu seperti anaknya sendiri. Ushman tak pernah bisa membayangkan hidup tanpa istri.
Tapi istrinya menolak karena ia telah mengajukan perceraian dan akan hidup dengan ayah bayi itu di Istanbul. Ini membuat Ushman mengerti pada akhirnya, bahwa keengganan istrinya bergabung dengannya selama ini bukanlah karena tidak yakin Amerika akan cocok untuknya, tapi karena ia tidak yakin telah mencintai Ushman.
Cinta sejati sepertinya memang tak bisa dimusnahkan begitu saja, apa pun yang terjadi, karena jauh setelah kejadian itu, Ushman masih sering bolak-balik ke bandara, mengkhayalkan akan menemukan istrinya di antara para penumpang yang turun dari pesawat. Di bandara inilah --saat kesepian tak tertahankan-- Ushman bertemu Stella, gadis Amerika yang berusia separo usianya. Stella dengan jiwa mudanya mengingatkan Ushman akan keceriaan yang tak lagi dimilikinya. Stella-lah kemudian yang membuatnya sadar bahwa memaafkan --di samping pengorbanan-- adalah juga bagian yang tak terpisahkan dari cinta. Ushman pada akhirnya dapat berdamai dengan cinta yang tak pernah bisa digapainya.
Melalui novel yang segera akan difilmkan oleh Fox Searchlight Pictures, produser Slumdog Millionaire, ini sang penulis dengan fasih menuturkan lika-liku hidup imigran di Amerika. Tentang gegar budaya (culture shock) yang hampir selalu dialami mereka yang menjejakkan kakinya di negara yang mereka percayai sebagai ''tanah harapan'' yang menjanjikan kehidupan yang lebih baik ini.
Meg Mullins, penulis jebolan Universitas Columbia ini, menggambarkan dengan lugas inferioritas dan kecanggungan yang kerap dirasakan para imigran di Amerika yang tak jarang menganggap diri mereka adalah warga negara kelas dua di negara adikuasa itu.
Perbenturan antara budaya konvensional serta restriktif khas Timur Tengah, khususnya Persia, tentang relasi antarinsan dengan budaya bebas, ekspresif, dan spontan gaya Amerika ditampilkan dengan menawan dalam novel ini. Riset penulis mengenai corak serta seluk-beluk sejarah permadani --background novel ini-- yang menjadi salah satu kekayaan dan kebanggaan Persia juga patut diacungi jempol.
Namun sayangnya, seperti novel-novel serupa, sebutlah The Kite Runner atau A Thousand Splendid Suns, novel ini juga menceritakan hanya sisi-sisi gelap serta sikap hipokrit (baca: munafik) sebagian budaya dan penduduk muslim Timur Tengah. Novel ini, misalnya, seperti juga dua novel yang tadi disebut, menceritakan bahwa perselingkuhan dan perzinahan toh ternyata juga bisa terjadi di negara yang memberlakukan hukum Islam dalam pemerintahannya.
Ini mungkin sah-sah saja dan tidak akan dianggap berpihak pada budaya Barat yang diklaim superior jika saja juga dibarengi dengan penggambaran mengenai sisi-sisi positif budaya serta perilaku muslim di negara-negara Islam seperti halnya Iran dalam novel ini atau Afghanistan dalam dua novel lainnya tadi. Tapi absennya hal ini dalam novel-novel tersebut bisa menjadi pembenaran anggapan sementara kalangan yang menuduh bahwa novel-novel semacam ini adalah alat propaganda untuk menyudutkan Islam dan mengagungkan budaya Barat.
Bagaimana pun, jika kita bisa mengesampingkan segala macam prasangka serta mampu melihat dari sudut pandang yang netral dan jernih, novel ini tetap layak dibaca karena mengingatkan kita untuk mengakui kelemahan-kelemahan dan sifat-sifat manusiawi kita. (*)
Eka Kurnia Hikmat, alumnus Fakultas Psikologi Unpad. Bekerja di Sekolah Cikal, Jakarta Selatan
Sumber: Jawa Pos, Minggu, 12 Juli 2009
No comments:
Post a Comment