[JAKARTA] Penyimpangan dana pungutan yang mencapai jutaan bahkan puluhan juta rupiah di sekolah negeri rintisan berstandar internasional (SBI), makin terkuak. Selain untuk tunjangan transpor kepala sekolah, guru dan tenaga administrasi, ternyata digunakan pula untuk membiayai studi banding kepala sekolah ke luar negeri.
Informasi penyimpangan tersebut, terungkap dari beberapa orangtua siswa di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 68 Jakarta, salah satu sekolah yang berstatus SBI. Pungutan yang sangat besar di SMA tersebut, tidak hanya terjadi ketika pendaftaran siswa baru (PSB), ketika sudah naik kelas pun, siswanya masih dipungut biaya dengan alasan kebutuhan operasional SBI itu tinggi.
Orangtua siswa yang tidak mau ditulis identitasnya yang ditemui SP di SMA 68 Jumat (3/7) menuturkan, pungutan yang fantastis dari siswa ketika masuk di sekolah itu, tidak masuk akal penggunaannya. Alasannya, proses belajar mengajar berikut fasilitas di sekolah itu, biasa-biasa saja.
"Yang paling mencolok hanyalah pemanfaatan dana untuk renovasi sekolah dan penyediaan fasilitas, yakni seperti ruang kelas, renovasi raung administrasi, AC, Laptop dan komputer. Malah saya, dengar laporan anak saya, sebagian dari dana pungutan itu, juga untuk membiayai studi banding kepala sekolah ke luar negeri, selebihnya untuk kegiatan belajar mengajar sendiri tidak terlalu dirasakan oleh siswa," ujarnya.
Disebutkan, tahun lalu untuk biaya KBM anaknya dikenakan biaya sebesar Rp 11,8 juta untuk tahun pertama dan untuk tahun kedua Rp 12 juta, dengan total biaya yang harus dikeluarkan hampir Rp 24 juta, itu pun setelah melalui sedikit proses tawar-menawar. Orangtua siswa ini juga menyebutkan, uang masuk di SMA 68 tersebut mencapai Rp 35 juta. Bahkan bisa jadi, ada yang lebih tinggi dari jumlah itu.
Kepala SMA Negeri 68 Jakarta, Drs H Sunarno yang hendak dikonfirmasi untuk kedua kalinya, Jumat siang, tetap mengelak. "Kebijakan itu sudah merupakan kebijakan SBI. Kebutuhannya memang besar," katanya tanpa memerinci untuk apa saja penggunaan biaya tersebut. Wakil Kepala SMAN 68, Sipana yang ditemui pula, juga tidak memberikan jawaban yang jelas soal alokasi dana di sekolah negeri itu.
Sementara itu, seorang siswa, Andi (bukan nama sebenarnya) menuturkan, SMA 68 tersebut, disebut-sebut mendapat lisensi dari Cambridge University. Namun, dia menyangsikan lisensi tersebut.
Pasalnya, guru-guru yang mengajarnya di sekolah itu, sebagian besar tidak memiliki kemampuan berbahasa Inggris melebihi siswa didiknya. Buktinya, kegiatan berlajar mengajar sering menggunakan bahasa campuran antara bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Padahal ,menurut keterangan sumber, para guru tersebut juga mendapatkan pelatihan bahasa Inggris gratis ditunjang dengan uang transport. [DDS/M-15]
Sumber: Suara Pembaruan, Sabtu, 4 Juli 2009
No comments:
Post a Comment