-- Binhad Nurrohmat*
ILUSTRSASIi cerpen Kompas tak sebatas penghias cerpen, tapi bisa sekaligus menjadi ”penglaris”. Makin keren ilustrasi cerpen, makin besar daya pikat cerpen. Ya, mata tak bisa berdusta. Saat melihat lembaran cerpen Kompas, yang pertama kali merebut perhatian adalah gambar ilustrasi cerpen, lalu menyusul ke judul cerpen, nama cerpenis, dan baru kemudian teks cerpen.
Tampaknya, ilustrasi cerpen Kompas tak hanya ”gambar tamu” yang diundang menghias halaman cerpen, ilustrasi telah menjadi ”tuan rumah”, mirip bintang iklan sabun mandi yang lebih memikat perhatian ketimbang produk yang diiklankan. Ilustrasi cerpen Kompas makin tak terasa sebagai obyek sekunder bagi kehadiran cerpen.
Semula ilustrasi dipesan ”dalam rangka” menghias kehadiran cerpen, tapi karena ilustrasi cerpen tampil terlalu ”menor” membuat ilustrasi cerpen terasa lebih ”mejeng” ketimbang cerpennya, misalnya ilustrasi karya I Made Bakti Wiyasa untuk cerpen ”Smokol” karya Nukila Amal (cerpen terbaik Kompas 2008). Ilustrasi ini berupa sosok koki laki-laki besar-kekar yang sedang memasak mi. Bukan cuma warna merahnya yang membuat mencolok, tapi juga belalak sepasang mata dan mulut terbuka memamerkan barisan gigi, daging bibir tebal-lebar, dan liukan lidah, sehingga sosok koki itu terasa provokatif dan vulgar.
Sifat gambar yang visual membuat bisa ditangkap langsung oleh mata. Demikian pun gambar ilustrasi cerpen, dan ini berbeda dengan teks cerpen yang perlu ”membaca” untuk menangkap isinya, tak cukup dengan hanya ”melihat” bentuk huruf-hurufnya. Tentu berbeda cara antara mengakses teks cerpen dan kecantikan perempuan di depan mata Anda, bukan? Yang visual dan yang tekstual bisa berada di ruang yang sama tapi berbeda cara mengaksesnya karena sifat mediumnya tak sama.
Lukisan
Ilustrasi cerpen Kompas mengalami perluasan fungsi dan makna.
Saya mampir di studio lukis Acep Zamzam Noor di Cipasung (Jawa Barat) saat dia baru saja kembali dari berpameran lukisan di China. Penyair dan pelukis ini memberi tahu saya tentang sebuah karyanya yang menempel di salah satu dinding studionya. ”Lukisan ini pernah jadi ilustrasi cerpen Kompas,” katanya. Terasa ada semacam ”keistimewaan” dari informasi itu. Apakah keistimewaan itu karena lukisan itu pernah menjadi ilustrasi cerpen Kompas?
Tentu bukan urusan yang tak mendebarkan atau biasa-biasa saja saat pelukis dipesan membuat ilustrasi cerpen Kompas. Pemesanan ini bisa bermakna atau dianggap sebagai semacam pengakuan terhadap eksistensi, reputasi, kelas, atau mutu seorang pelukis. Sekurangnya, pemesan ini menjadi peluang ”khusus dan langka” bagi pelukis. Tak semua pelukis pernah menerima pesanan membuat ilustrasi cerpen Kompas. Adakah pelukis yang merasa turun gengsi atau malu melayani pesanan membuat ilustrasi cerpen Kompas?
Uniknya, ketika lukisan atau gambar asli yang semula dipesan ”dalam rangka” untuk ilustrasi cerpen itu dipamerkan secara mandiri, statusnya terasa bukan lagi sebagai ”ilustrasi cerpen”, melainkan ”lukisan”, setidaknya tak dianggap sebagai ”bekas ilustrasi cerpen”, meski tajuk pamerannya adalah ”Pameran Ilustrasi Cerpen Kompas”.
Ilustrasi cerpen Kompas itu bisa menjadi karya tersendiri ketika dipisahkan dari cerpen. Apakah pameran ilustrasi cerpen Kompas seperti deklarasi ”perceraian ilustrasi dari cerpen”? Dalam pameran ilustrasi cerpen itu, antara lukisan dan cerpen seperti tak ditemukan jejak hubungan apa pun lagi meski sebelumnya lukisan pernah tampil sebagai bagian dari kehadiran cerpen.
Pentingkah membincang ”status” lukisan sebagai ilustrasi cerpen atau lukisan yang mandiri? Menurut saya, cerpen dan ilustrasinya saling melengkapi dan ketika diceraikan tak saling kehilangan. Menurut saya, tak perlu pula menganggap lukisan itu sebagai ”bekas ilustrasi cerpen” sebab ketika lukisan tampil mandiri tak selalu mengingatkan kepada cerpen yang dulu diilustrasikannya. Pameran ilustrasi cerpen Kompas membuktikan hal itu. Tak perlu ada kerisauan, bukan?
Memang, ilustrasi cerpen Kompas melahirkan isu dan gosip (di kalangan) seni rupa dan sastra. Cerpenis bisa merasa bangga atau kecewa pada ilustrasi yang menghiasi cerpennya. Barangkali cerpenis kecewa karena gambar ilustrasi cerpennya dianggap jelek, tak nyambung dengan isi cerpen, atau tak memenuhi selera visual cerpenis. Kekecewaan ini kemungkinan besar tak terjadi bagi cerpenis yang membuat gambar ilustrasi cerpen sendiri untuk cerpennya, misalnya Danarto (cerpen ”Pantura”, 2008).
Agaknya, cerpenis cenderung ingin ilustrasi cerpen yang mampu menjadi peneguh eksistensi cerpen, maka ilustrasi cerpen diharapkan setepat mungkin ”menerjemahkan” isi cerpen dan sekaligus bermutu sebagai karya seni rupa. Tapi bisa jadi, ilustrator punya misi kreasi yang tak selalu ”patuh” terhadap kemauan cerpen(is). Tak ada kontrak atau perjanjian apa pun antara cerpenis dan ilustrator. Ilustrator membuat ilustrasi atas pesanan redaksi Kompas (pengelola rubrik cerpen). Ilustrasi cerpen Kompas bukan agenda cerpenis.
Bagaimana jika cerpenis memesan sendiri ilustrasi cerpennya yang dimuat di Kompas sebagaimana Danarto ”memesan” dirinya sendiri untuk cerpennya yang dimuat di Kompas?
Ada beberapa contoh modus operandi tentang ilustrasi cerpen. Ada cerpenis Kompas yang menerbitkan buku kumpulan cerpennya memesan gambar sampul dan ilustrasi ke pelukis atau ilustrator yang tak pernah dipesan membuat ilustrasi cerpen Kompas, misalnya cerpenis Damhuri Muhammad (Juru Masak, 2009). Ada juga cerpenis yang menyerahkan urusan itu kepada penerbitnya. Tapi, cerpenis Martin Aleida memakai gambar salah seorang ilustrator cerpen Kompas, Ipong Purnama Sidhi, untuk sampul buku kumpulan cerpennya (Mati Baik-baik, Kawan, 2009).
Modus operandi ilustrasi cerpen Kompas unik dan merangsang rasa penasaran. Semula ilustrasi cerpen dipesan untuk menjadi bagian dari kehadiran cerpen dan keduanya tampil dalam ruang-waktu yang sama. Tapi kemudian ilustrasi cerpen itu dipamerkan tanpa kehadiran cerpen. Barangkali cerpen dan ilustrasinya tidak melakukan perkawinan sehingga tak terjadi (dan memang tak ada) perceraian saat ilustrasi berpisah dari cerpen. Bila cerpen dan ilustrasinya berpisah, menurut saya, tak perlu ada tetesan air mata atau pertikaian….
* Binhad Nurrohmat, Penyair
Sumber: Kompas, Minggu, 5 Juli 2009
No comments:
Post a Comment