-- Degung Santikarma*
GAMBARAN antropologis ”tradisional” tentang Bali berawal dari kehidupan masyarakat desa, dengan ritme kehidupan petani, sawah, penggembala, subak, dan ritus keagamaan. Bali dilukiskan sebagai masyarakat yang homogen, asli, unik, alamiah, dan tak terjamah oleh pengaruh luar.
Karena kebijakan ”politik etis” Belanda, Bali dikarantina sebagai ”kawasan khusus” yang perlu dilindungi dari pengaruh luar, umpamanya pengaruh dari agama besar dunia, Islam dan Kristen. Menurut mereka, Bali dianggap satu-satunya Pulau Hindu yang masih eksis, tak berubah, sebagai bukti peninggalan peradaban besar Nusantara setelah Jawa mengalami arus gencar islamisasi. Lalu rezim pascakolonial menjual Bali sebagai daerah tujuan wisata, citra ketakberubahan Bali dilestarikan dan dilanjutkan sampai sekarang dengan bungkusan baru disebut ”Ajeg Bali”. Genealogi ”Ajeg Bali” menunjukkan suatu ”bukti diri” bagaimana disiplin antropologi, bikinan kaum penjajah tanpa diperiksa, diteruskan begitu saja oleh rezim pascakolonial.
Pergeseran pendekatan
Antropolog mulai melakukan otokritik terhadap pendekatan yang terbuai akan eksotisme dan orientalisme dari para pendahulu mereka. Terjadi perubahan orientasi antropologi di negeri Barat, yang berdampak juga kepada kajian antropologi tentang Bali. Wilayah penelitian pun berbeda, yang dulunya berorientasi ”pusat” bergeser ke wilayah ”pinggir”, seperti masalah kemiskinan, ketidakadilan dan persoalan HAM, jender, kajian kaum gay, dan persoalan diskriminasi rasial. Mereka mulai tertarik melihat pengaruh globalisasi, kapitalisme dan ”state” pada kehidupan sehari-hari dan bagaimana perlawanan, siasat dan taktik orang-orang biasa dalam menyikapi itu.
Emma Baulch, antropolog dari Australia, tidak mudah terkecoh dengan usaha-usaha untuk mengeksotiskan kebudayaaan Bali. Dalam karyanya, Making Scenes; Reggae, Punk, and Death Metal in 1990s Bali, dia mulai menelusuri kegaduhan, kesemrawutan, hiruk-pikuk kemacetan Gang Poppies di Kuta. Pandangan Emma di tengah lalu lalang para surfer, wisatawan domestik, dan pedagang acung tersedot pada sebuah bar kecil yang menjadi tempat nongkrong pemuda lokal dengan rambut bergaya mohawk atau bercat warna-warni, beraksesori rantai, jaket penuh paku, dan sepatu bot. Bar ini bernama Twice Bar yang menjadi markas Superman is Dead dan tempat ”deep hangout” sang antropolog.
Teritori ini bukan sekadar tempat hedonis, tetapi bagi si peneliti juga sebuah site of cultural production yang selama ini dipandang sebelah mata oleh pengamat karena dianggap bukan bagian dari budaya ”adiluhung”. Di sini ada kreativitas, solidaritas, keakraban, interaksi, juga suasana informal seperti umumnya sebuah komunitas tradisional di Bali yang disebut sekeha. Bedanya, mereka sedang mencari bentuk lain dari ekspresi-ekspresi budaya yang telah ada, bukan terjebak pada wacana pelestarian seperti kesibukan aktivitas sekeha pertunjukan tradisional. Yang dipentaskan bukan pertunjukan mainstream barong dan rangda, melainkan musik impor yang diperkenalkan lewat print-capitalism, kaset, video, TV, dan majalah.
Bentuk perlawanan
Lewat buku ini Emma melihat, di balik ”ketertundukan” dan ”kepolosan” yang telah melekat pada diri orang Bali, ternyata bukan suatu yang mulus berjalan sepi-sepi saja tanpa ada gugatan. Ketika penguasa Orde Baru mulai keropos, protes tak lagi dilakukan secara kasak-kusuk dan sembunyi-sembunyi, tapi justru pada panggung terbuka yang disebut ”geger underground” yang waktu itu dianggap sebagai ranah yang ambigu antara butuh dan tak butuh izin. Ini menjadi ”anarkis yang dipestakan”, antara penonton dan yang ditonton menjadi satu kesatuan penggugat ”identitas arus utama” yang mereka anggap telah terkooptasi oleh pasar dan kuasa. Rezim kebapakan ini tak berdaya menjinakkan mereka yang ada pada wilayah ”liminalitas”, mereka adalah para ”remaja”, ”pemuda”, ”anak gaul”, ”anak borju”, dan ”cewek matre”. Untuk meng-etnografi-kan kerumitan, mereka perlu observasi dan partisipasi karena dunia kontemporer ini pada waktu itu belum dijamah oleh para baliolog.
Untuk melihat bentuk-bentuk perlawanan terhadap kekuasaan, terutama kuasa Orde Baru yang licik, diperlukan kecerdasan tersendiri. Seperti biasa, keroposnya kekuasaan rezim otoriter karena sang kuasa sendirilah yang sering ”tak sadar” memberikan celah-celah perlawanan. Rakyat di bawah tirani sekalipun kelihatan ”tunduk dan patuh”, namun mereka punya taktik dan siasat tersendiri karena mereka tahu kekuasaan yang berbedil kalau ditentang akan berakibat fatal. Cara terbaik adalah dengan pura- pura menerima kemudian mengunyahnya ketika sang kuasa lengah lalu dimuntahkan. Kalau di Bali disebut dengan istilah merta matemahing wisia, perlawanan mengunyah tanpa menelan.
Para punker dan head banger di Bali mengonsumsi produk kapitalisme global yang diberikan lewat tayangan MTV, tapi pada saat yang sama menolak bukan dengan demo atau mogok makan, tapi melalui ”carnival kegaduhan” yang disebut ”total uyut”. Mereka memarodikan, mengejek, menjungkirbalikkan praktik- praktik rumusan manusia Bali yang ”sapta pesonik” karena telah menjadi ”wacana identitas yang dominan”—retorika ”Ajeg Bali” pada waktu itu belum sepopuler sekarang. Karya Emma memberi pelajaran bahwa pada era tahun ’90-an kaum muda penggemar pop culture di Indonesia tidak bisa lagi didepolitisasi menjadi ”massa mengambang”, tapi mereka sebuah ”tanda mengambang” yang harus disimak dengan saksama.
Yang menggelitik dari dunia underground ini, mereka mengkritik identitas yang dominan, yang dianggap tidak lagi otentik, namun mereka juga terjebak pada wacana yang sama, yaitu otentisitas diri mereka sendiri. Bergumul dengan persoalan tentang siapa yang paling punk dan siapa yang paling metal dengan barometer mayor atau label indie dan status fans mereka. Sudah menjadi cerita umum di kalangan mereka bahwa ”otentisitas” ke- punker-an atau ke-headbanger- an mereka digugat ketika mereka masuk label mayor, apalagi digemari oleh ”cewek matre”. Di sini otentisitas mereka dipertaruhkan, sudah dianggap terkontaminasi menjadi ”musik gaul” yang sell out. Ironisnya, sejarah reggae, yang identik dengan perlawanan terhadap kulit putih, di Bali pengagum rastavari ini tak diusik oleh rezim. Justru dipakai menarik pelancong kulit putih karena sekaligus memperkuat image ”tropikalitas” Bali.
* Degung Santikarma, Antropolog dari Bali
Sumber: Kompas, Minggu, 5 Juli 2009
No comments:
Post a Comment