-- Silvia Galikano
TAK ingin hanya terbawa gelombang globalisasi, Belitong pancangkan terus kearifan lokalnya.
Hai rondeng si paku tanding
Kepiting dirasa-rasa
Bawang putih bawang merah
Siang kampit tutup mata
Lagu satu bait itu dinyanyikan anak-anak dalam satu putaran permainan Hai Rondeng, permainan menebak nama anak yang berhasil ditangkap oleh satu anak yang berdiri di tengah lingkaran, sambil menutup mata. Merupakan permainan khas anak-anak Belitong.
Hai Rondeng dimainkan di hari pertama Festival Tradisi Bahari di Pantai Tanjongpendam, Kota Tanjongpandan, Belitong Barat. Festival yang dilaksanakan dari 1 hingga 5 Juli itu merupakan penyelenggaraan yang ke-5, sejak tahun 2004. Sebelumnya digelar di Mataram (2004), Manado (2005), Takallar (2006), dan Lombok Timur (2007). Istimewanya, festival kali ini bertepatan dengan hari jadi Kota Tanjongpandan yang ke-171, yakni pada 1 Juli.
Festival Tradisi Bahari merupakan kerja sama Direktorat Tradisi, Ditjen Nilai Budaya, Seni, dan Film Deparatemen Kebudayaan dan Pariwisata dengan Pemda Kabupaten Belitong. “Laut merupakan alat pemersatu bangsa, ruang hidup, ruang juang, alat juang, dan kondisi juang bangsa Indonesia. Pulau Belitong memiliki keanekaragaman budaya dan nuansa kebahariaan yang sangat menarik,” ujar Direktur Jenderal Nilai Budaya, Seni, dan Film Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Tjetjep Suparman.
Belitong pulau kecil, luasnya 4.889 kilometer persegi dengan 14 kecamatan, hampir semua kecamatan punya pantai, maka budayanya adalah budaya bahari. Dipertunjukkan dalam festival ini, antara lain upacara Buang Jong, lomba Dayung Sampan, lomba Tarik Tambang Sampan Beregu, lomba Merajut Jaring, diskusi kebaharian, dan seperti di awal tulisan ini, Permainan Anak-anak.
Selain Hai Rondeng, di tanah lapang itu dimainkan juga Pok-pok Gerinang (Cublak-cublak Suweng di Jawa), Bit-bit til (Injit-injit Semut di Melayu), dan Cak Munci Pai Kului (dua kelompok menebak siapa anak yang memegang batu, lantas saling tarik untuk mempertahankan/menambah anggota kelompok).
Senasib dengan daerah-daerah lain di Nusantara, permainan anak khas Belitong juga sudah jarang dimainkan. Karena itu Pemda Kabupaten Belitong mendata permainan anak-anak Belitong, dan didapatlah 25 permainan. Dari jumlah itu, dipilih 10 permainan yang sudah sangat lama, bahkan orang Belitong pun sudah lupa.
Sepuluh permainan anak-anak itu kemudian dijadikan film dokumenter berdurasi 27 menit dengan judul Menapak Hijau Bumi tanpa Alas Kaki. Film dokumenter ini dimainkan oleh 10 pemain anak-anak Belitong, dengan dua muka yang sudah akrab bagi masyarakat Tanah Air, yakni Suhendri dan Yogi Nugraha, pemeran A Kiong dan Kucai di film Laskar Pelangi yang juga berlatar belakang budaya Belitong.
“Anak-anak Laskar Pelangi kami pilih karena mereka punya pengalaman berhadapan dengan kamera, jadi punya ‘tugas tambahan’ membangun suasana bagi teman-teman lainnya,” kata sang sutradara, M Ismaya N yang dipanggil anak-anak dengan sebutan Om Moyo. Moyo adalah putera asli Belitong. Sebelumnya, dia asisten sutradara di film Laskar Pelangi sekaligus meng-casting 3.800-an anak untuk mencari 12 anak sebagai pemain inti Laskar Pelangi.
Agar filmnya tetap natural, Moyo hanya menentukan alur cerita, sedangkan setting dan dialog sepenuhnya diserahkan pada anak-anak. Menapak Hijau Bumi tanpa Alas Kaki rencananya akan diputar di sekolah-sekolah di Belitong untuk mengenalkan lagi permainan anak-anak yang jadi budaya Belitong sejak lama. Sebagai perkenalan, anak-anak itu memainkan sebagian permainan tersebut di festival ini.
**
Yang tak dapat dimungkiri dari beragamnya budaya laut adalah dikenal dan diakuinya unsur-unsur magis dalam keseharian masyarakat yang kemudian dijadikan atraksi seni, seperti Antu Bubu. Antu Bubu adalah permainan menggunakan ilmu hitam dengan peralatan bubu yang diisi roh halus.
Bubu adalah alat penangkap ikan, dibuat dari bilah bambu yang disatukan dengan anyaman tali hingga berbentuk silinder berdiameter 30 sentimeter. Panjang bubu beragam, ada yang 50 sentimeter, ada pula yang hingga 2 meter.
Untuk permainan Antu Bubu, bubu dipasangi “kepala” dari batok kelapa, lantas diselimuti kain kafan, baru kemudian ujung atas kafan diikat. Seorang pawang membaca mantera sambil menaburkan kemenyan ke atas pedupaan, mengasapkannya ke sekeliling bubu untuk meminta roh masuk ke dalam bubu. Begitu pawang memberi isyarat permainan dapat dimulai, lawan yang sudah siap dengan bertelanjang dada/ bersinglet mulai melawan bubu yang sudah berpenghuni ini.
Antu Bubu dimainkan di hari kedua festival (2/7), tepat malam Jumat, di pasir pantai Tanjongpendam. Di tengah lingkaran penonton, seorang laki-laki bergelut dengan bubu. Berguling-guling, kadang dia seperti dibanting, ada kalanya laki-laki ini sanggup berdiri, tak lama, terjatuh lagi, berguling lagi. Penonton senyap.
Pemain pertama kalah setelah permainan berjalan 5 menit. Dia kerasukan, badannya mengejang, dan dibawa ke pinggir lapangan untuk disadarkan. Pemain kedua dinyatakan kalah akibat kelelahan setelah lebih dari 10 menit bubu tak juga dapat ditegakkan dan jalinan bubu koyak. Bisa menegakkan bubu adalah tanda pemain menang, dan hantu bubu dapat dikalahkan.
Pak Geridi, 56 tahun, adalah pawang Antu Bubu. Ilmu yang berasal dari kakeknya lantas diturunkan ke ayahnya, dan sekarang dialah satu-satunya di Belitong, bahkan mungkin di dunia, yang menguasai ilmu Antu Bubu. Ilmu ini sekarang sedang dia ajarkan ke putranya, tak dibagi ke orang lain.
Cerita Pak Geridi tentang asal muasal permainan ini, di tahun 1970, seseorang meletakkan bubu di sungai. Setelah sepekan, dia datang lagi untuk menengok berapa ikan yang berhasil masuk perangkap bubu. Sampai di sungai, laki-laki ini mati tanpa sebab, dan rohnya jadi penghuni bubu, karena itu disebut antu bubu (hantu bubu). Mulai tahun 1971, kakeknya menjadikan Antu Bubu sebuah tontonan.
Karena menggunakan ilmu hitam, beragam syarat harus dipenuhi untuk memainkan Antu Bubu. Untuk menyebut beberapa, Pak Geridi harus berpuasa mutih selama 21 hari, bambu untuk bubu hanya boleh diambil dari bambu yang terdampar di pantai dengan posisi tidak sejajar dengan garis pantai, dan harus menggunakan kafan bekas alas jenazah. “Kalau pakai kafan baru, masih di rumah saja, belum dibawa ke tempat pertunjukan, dia sudah bergerak-gerak,” kata Pak Geridi, usai permainan. Dia sudah membawa Antu Bubu ke kota-kota di Sumatera dan Jawa, mengenalkannya sebagai permainan khas Belitong.
Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 05 Jul 2009
No comments:
Post a Comment