Sunday, July 05, 2009

Membaca Budaya Korea lewat Sastra

-- Tjahjono Widijanto

KOREA termasuk salah satu negara di kawasan Asia Timur yang hingga kini masih menyimpan berbagai misteri. Upaya memahami berbagai mis­teri berkaitan dengan manusia, bangsa, dan budaya Korea salah satunya da­pat dijangkau melalui upaya pe­nerje­mahan teks sastra, seperti apa yang dikatakan Puskhin bahwa pener­jemah­an karya sastra ibarat kuda beban yang membawa harta kebudayaan suatu bangsa dari satu negeri ke nege­ri lain. ''Kehadiran'' karya sastra Korea di dalam lingkaran masyarakat Indonesia dibandingkan dengan kehadiran karya sastra asing lainnya masih dirasa asing. Dibandingkan de­­­ngan karya sastra Jepang misalnya, novel-novel Kuil Kencana karya Yukio Mishama, Senandung Ombak dan Keindahan dan Kepiluan karya Ya­sunari Kawabata sudah banyak dibaca dan dibahas orang. Sedangkan novel-novel Korea semacam Kuburan Raja (Ha Geun Chan), Catatan Perjalanan ke Mujin (Kim Seung Ok), Desa Kami (Lee Moon Goo), hingga novel-novel Korea terkini seperti novel The Legend of the Earthling Heros karya Park Min Gyu, masih sangat asing di telinga pembaca sastra Indonesia.

Keasingan sastra Korea dibandingkan dengan karya sastra Jepang di Indonesia sebenarnya merupakan hal yang wajar, karena penerjemahan sastra Jepang sudah jauh-jauh hari dilakukan oleh pengarang dan sastrawan Indonesia. Sebut saja cerpen Yasunari Kawabata berjudul Suigetsu telah ditrerjemahkan ke bahasa Indonesia pada tahun 1953 dengan judul Bulan Dalam Kolam. Demikian pula cerpen Shookansai Ikkei yang ditulis pada 1912 telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada 1949 dengan judul Upacara Memperingati Para Pahlawan Perang. Juga puisi-puisi pendek Jepang, Haiku, karya para penyair Jepang terkemuka seperti Matsuo Basho (1644-1694), Taniguchi Buson (1715-1783), dan Isa (1763-1827) sudah dengan sangat gencar diterjemahkan dan diperkenalkan sejak tahun 1953 hingga 1963 oleh penyair Hartoyo Andang Jaya. Sedangkan seingat saya, karya prosa Korea baru dua kali diterjemahkan ke Indonesia yakni oleh penerbit Djambat­an pada tahun 1990-an dan kumpulan cerpen Laut dan Kupu-kupu (Gramedia, 2007).

Untuk puisi, dalam catatan saya, puisi-puisi sastra modern Korea karya penyair Lee Choong-Yi, Jang-hi Lee, Un-kyo Kang, Dong-Jip Shin dan Dong-ju Yun, ''baru'' mulai diterjemahkan dan dikenalkan kepada pembaca sastra Indonesia pada 1986 oleh sastrawan Motinggo Busye dan Sutardji Cazloum Bachrie melalui majalah sastra Horison nomor 12 tahun XX1, Desember 1986.

Kumpulan cerpen Laut dan Kupu-kupu diterjemahkan oleh Koh Young Hun, guru besar Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan, dan Tommy Christomy dari Universitas Indonesia yang pernah menjadi dosen tamu di Hankuk University. Membaca buku kumpulan cerpen Laut dan Kupu-kupu, kita dapat melihat perjalanan antargene­rasi cerpenis Korea modern mulai generasi 1950-an, generasi 1960-an, generasi 1970-an, generasi 1980-an, generasi 1990-an, hingga generasi terkini, generasi 2000-an.

Generasi 1950-an diwakili oleh Ha Geun Chan dengan cerpen Dua Ge­ne­r­asi Teraniaya, generasi 1960-an diwakili Kim Seung Ok dengan cerpen Seoul Musim Dingin 1964. Sastrawan Hwang Sok Yong dan Lee Moon Goo mewakili genarsi 1970-an masing-masing dengan cerpen Jalan ke Shampo dan Bung Kim di Kampung Kami. Cerpen-cerpen Dinihari ke Garis Depan karya Bang Hyun Suk, Sungai Dalam Mengalir Jauh karya Kim Yeong Hyun, dan Kerja, Nasi, Kebebasan karya Kim Nam II menja­di wakil generasi 1980-an. Generasi 1990-an juga diwakili tiga sastrawan, Shin Kyong Suk (Kisah Singkat tentang Pekarangan), Eun Hee Kyung (Pewarisan) dan Kim In Suk (Laut dan Kupu-kupu). Sedangkan generasi termuda, generasi 200-an, diwakili pengarang Park Min Kyu dengan cerpen Betulkah? Saya Jerapah dan Menyeberangi Perbatasn karya Jeon Sung Tae.

Hampir semua cerpen dalam buku ini berbicara dan ''memuja'' tragedi dan luka manusia. Pada cerpen gene­rasi 1950-an dan 1960-an, tragedi dan lu­ka manusia yang ditampilkan muncul akibat kekejaman perang, baik me­lawan Jepang maupun perang Korea. Cerpen Dua Generasi yang Teraniaya merupakan monumen getir dan pilu dari sebuah peperangan. Tokoh bapak dan anak, semuanya tokoh-tokoh yang teraniaya, kalah dan tergusur aklibat perang. Si Bapak buntung lengannya dalam perang melawan Jepang dan si anak buntung kakinya karena perang Korea. Dengan gaya realis pengarang menggambarkan betapa tragiknya nasib sebuah keluarga. Tanpa tedeng aling-aling, pengarang melukiskan dengan sangat getir bagaimana bapak yang buntung lengannya terseok-seok menggendong anaknya yang buntung kakinya menyeberangi sungai.

Cerrpen kedua berjudul Seoul Musim Dingin 1964, berbeda dengan cerpen pertama yang berbicara tentang kegetir­an perang melalui tokoh yang menjadi korban perang yang secara langsung menderita secara jasmani dan rohani. Cerpen ini berbicara tentang tagedi akibat perang dari sisi lain. Dalam cerpen ini tidak digambarkan penderitaan jasmaniah namun digambarkan bagaimana akibat perang orang mengalami sebuah alienasi. Individu di tengah gegap gempita individu lain justru merasa asing baik terhadap dirinya sendiri atau terhadap orang lain.

Dalam Seoul Musim Dingin 1964 ter­gambar suatu pemekaran hidup dan ke­hidupan yang dijejali oleh manusia-manusia absurd. Muncul suatu pergaulan hidup yang tidak berwatak, tidak berkarakteristik, tidak bertemparemen, sama sekali tidak memperlihatkan kecenderungan-kecenderung­an dan karenanya nyaris tidak mem­punyai identitas apa pun. Tokoh Aku, Ahn, dan tokoh ketiga yang tidak jelas identitasnya merupakan manusia-ma­nusia yang murung, diam, dalam ke­ter­manguan seperti bayang-bayang yang bergentayangan dalam kabut ke­suraman. Ketiga tokoh ini sepertinya ingin membangun komunikasi tet­api pada hakekatnya mereka tidak ber­­hasil berkomunikasi satu dengan yang lain. Mereka asing satu sama lain, bahkan asing terhadap diri sendiri.

Akhirnya, yang bisa dicatat di akhir tulisan ini, cerpen-cerpen Korea yang terdapat dalam kumpulan cerpen Laut dan Kupu-kupu ini memperlihatkan sekaligus menceritakan kegelisahan sastrawan Korea mecatat, menanggapi, menggagas, dan merekonstruksi ulang perjalanan budaya mereka. Kumpulan cerpen ini juga menunjukkan bagaimana sastra secara efektif dapat dipakai untuk membangun atau membentuk sosok manusia masa kini yang mungkin berbeda dengan manusia masa lampau. Sastra hari ini bisa jadi berbeda dengan sastra masa lampau, sastra zaman ini berbeda dengan yang akan datang, hari ini berbeda dengan esok pagi. Namun karya sastra yang serius akan senantiasa mengha­dirkan manusia dengan segala problematika kemanusiaannya secara jujur. Di dalam buku kumpulan cerpen sastrawan-satrawan Korea ini kita dapat belajar menangkap semangat dan spiritnya, serta menjadikannya ilham untuk berbenah. (*)

* Tjahjono Widijanto, penyair Ngawi yang pada 16 Juni lalu diundang berceramah sastra di Hankuk University of Foreign Studie, Seoul, Korea

Sumber: Jawa Pos, Minggu, 05 Juli 2009

1 comment:

rufina said...

Terima kasih atas artikel ini..karena aku lagi pengen belajar lebih banyak lagi tentang budaya Korea..moga-moga ada lagi artikel yang membahas lebih detil tentang Korea!