Sunday, July 05, 2009

[Buku] Jakarta Sebelum dan Sesudah Soeharto

Judul Buku: Ruang Publik, Identitas, dan Memori Kolektif: Jakarta Pasca-Soeharto
Penulis: Abidin Kusno
Editor: Manneke Budiman
Penerbit: Ombak Jogja
Cetakan: I, 2009
Tebal : xxiv + 208 halaman

BUKU karya Abidin Kusno ini menunjukkan bagaimana kota melalui bangunan arsitekturnya merupakan representasi politik yang sedang berjalan dan secara bersamaan juga menginginkan model partisipasi publiknya. Pada zaman pemerintahan Soekarno, Jakarta harus tampak sebagai kota modern dengan meninggalkan sekaligus menghapus gambaran kota kolonial sebelumnya, baik semasa Belanda maupun semasa Jepang. Kemodernan Jakarta ini ditandai dengan pendirian Hotel Indonesia beserta pancuran air yang legendaris di kawasan Jalan M. Thamrin, Senayan, Monumen Nasional, dan Gedung Perintis Kemerdekaan.

Apa yang dilakukan Bung Karno tidak lain ingin menunjukkan kepada dunia luar tentang kemodernan yang telah dicapai Indonesia dan menunjukkan kepada rakyat bahwa era baru untuk mengisi kemerdekaan tengah berlangsung. Dengan berbagai bangunan modern tersebut, Bung Karno ingin mengajak seluruh rakyat menatap ke masa depan dan melupakan penindasan yang telah dilakukan Belanda maupun Jepang.

Yang dilakukan Bung Karno dengan strategi mercusuarnya juga tak lepas dari gaya dalam komunikasi dengan rakyatnya. Selama era kekuasaannya --dan ini yang menjadi perbedaan nyata dengan era Soeharto-- adalah dengan memobilisasi massa dalam jumlah besar di sebuah ruang terbuka. Jalan dan lapangan terbuka merupakan situs di mana Bung Karno bertemu rakyatnya. Jalan dan lapangan pada era Bung Karno medan yang dipenuhi rasa akrab, karnaval, tempat gairah dalam berpolitik tumpah. Rakyat berupa massa yang haus akan sebuah pemimpin dan kepada Bung Karno-lah harapan itu tertuju.

Situasi ini bertolak belakang ketika Soeharto resmi menjadi presiden ke-2 RI menggantikan Bung Karno, mulai 1969. Ruang publik, terutama jalan, dibuat sebagai ruang untuk mendisiplinkan rakyat dalam kaitannya dengan negara. Tidak ada kegairahan --dan memang tidak diinginkan oleh rezim Soeharto-- berupa keterlibatan rakyat untuk berpolitik. Pemobilisian massa dalam rezim ini dianggap mengganggu ketertiban umum sebab sewaktu-waktu massa tak terkontrol dan bertindak liar seperti yang ditakutkan pada peristiwa Malari di Jakarta pada 1977. Peristiwa Malari semakin meyakinkan pilihan Soeharto dalam berkomunikasi kepada rakyatnya dengan menjauhi mobilisasi massa, jalan, dan ruang publik lainnya. Bisa dipastikan ruang publik pada masa Soeharto steril dari massa yang bergairah seperti yang lazim pada massa Bung Karno.

Abidin Kusno dengan menarik juga memberi penjelasan yang luas berkenaan dengan era pemerintahan pasca-Soeharto jatuh pada 1998. Pasca 1998 bisa disebut massa di mana tidak ada sosok yang cukup menonjol untuk menguasai ruang publik. Soeharto memang tidak menyukai spontanitas massa seperti pernah dilakukan Bung Karno. Smiling General ini menyukai ketertiban. Dalam pertemuan dengan rakyat seperti tampak dalam acara kelompok tani yang disiarkan TVRI masa itu, adalah ruang publik dengan kesantunan (ketakutan?) hubungan antara rakyat dan negara. Kecenderungan seremonial Soeharto tampak hampir di semua bangunan publik dan bagaimana ia menjalin komunikasi dengan rakyat. Ini sejalan dengan konsep pemerintahan yang memastikan adanya kestabilan politik demi kemajuan pembangunan.

Namun semuanya berubah pasca 1998. Sistem pemerintahan parlementer dengan banyaknya partai yang ikut pemilu pada 1998 mengubah pula sistem sosial, terutama kaitannya dengan kapital yang tidak memiliki induk seperti era Soeharto. Sistem liberalisme kini menjadi jantung perekonomian Indonesia. Kapital menjadi begitu penting untuk mengukur kesejahteraan rakyat. Salah satu pengaruh kapital terhadap ruang publik berupa munculnya berbagai bangunan berupa mall, baliho komersial di setiap penjuru kota, apartemen tumbuh bak jamur di musim hujan, kebijakan harga ditentukan dengan harga pasar di internasional. Sebaliknya, kemiskinan subur di mana-mana, gelandangan dan pengemis muncul di sudut-sudut jalan, kian meningkatnya sektor informal sebagai akibat PHK dan terbatasnya jumlah pekerjaan di sektor formal.

Era pasca 1998, kekuasaan dalam penguasaan terhadap jalan sebagai ruang publik masih ada tetapi kekuasaan tidak lebih kolaborasi antara modal dan negara. Salah satunya proyek transportasi masal busway di Jakarta. Proyek ini merupakan konsorsium antaraswasta dan negara. Salah satu pembacaan Abidin Kusno dalam pengadaan busway ada pada keberhasilan pemerintah DKI Jakarta yang saat itu gubernurnya adalah seorang purnawirawan jenderal, Sutiyoso. Jalan-jalan Jakarta yang terancam kemacetan total menyadarkan pihak negara bahwa kerusuhan bisa timbul sewaktu-waktu jika hal tersebut tidak segera diatasi. Busway merupakan pilihan paling baik sebab setelah terjadi kontroversi, nyatanya rakyat sangat menyukai alat teransportasi tersebut. Selain rakyat yang tidak mampu membeli mobil pribadi perlahan menyukai busway, mereka bisa dengan bangga setengah mencibir memandang para pemilik mobil kelas menengah-atas berjalan merambat di antara kemacetan dari balik kaca busway.

Di sini lagi-lagi negara berperan menghindarkan kekacauan dari kemacetan yang mendera jalan-jalan di Jakarta. Namun bagi Abdin Kusno, sisi lain dari keberhasilan mengatasi kemacetan tersebut juga meneguhkan bahwa negara kembali memiliki peran sekaligus melakukan pendisplinan atas rakyat kelas bawah dari tindakan chaos yang pernah melantakkan Jakarta pada 1998 hingga Soeharto pun jatuh. Peristiwa kerusuhan Jakarta pada 1998 salah sumbernya berawal dari tiadanya kontrol lapisan masyarakat kelas bawah. Ketidaaan kontrol tersebut berakibat pada penjarahan, pembakaran, serta pemerkosaan. Akibatnya, pusat perdagangan elektronik di kawasan Glodok menderita pukulan yang paling parah.

Ruang publik, terutama jalan di kota terbesar dan ibu kota negara seperti Jakarta, jalan tempat yang paling strategis dalam rangka mengontrol, mengelola, dan mendisiplinkan rakyat. Sebab jalan tempat beradanya rakyat yang secara langsung mengekspresikan aspirasinya kepada negara. Soekarno, Soeharto, dan pemerintahan masa sesudah 1998 dalam menghadapi jalan tak ubahnya menghadapi pelatuk pistol apakah kekuasaannya direstui rakyat atau tidak. (*)

Imam Muhtarom, pemerhati masalah-masalah perkotaan

Sumber: Jawa Pos, Minggu, 05 Juli 2009

No comments: