[JAKARTA] Kidung adalah rekaman momentum-momentum reflektif. Kidung adalah pesan, yang disampaikan secara horizontal. Kidung adalah buku yang membuat pembacanya pintar. Pernyataan-pernyataan itu muncul dalam bedah buku, acara terakhir dalam peluncuran buku Kidung, sebuah novel, karya terbaru Mohamad Sobary, penulis esai yang acap dipanggil Kang Sobary di Jakarta, baru-baru ini.
Mohamad Sobary (SP/Sotyati)
Rangkaian acara yang berlangsung di Puri Agung Hotel Sahid Jaya Jakarta dari pukul 12.00 -16.00 itu, ibarat upacara pelepasan Sobary, setelah memimpin Partnership mulai 6 Juni 2006 sampai 30 Juni 2009. Acara yang dihadiri dua menteri, sahabat, relasi, mantan pemimpin, mantan orang-orang yang dipimpinnya itu, dimeriahkan pementasan teater. Bedah buku dilakukan Hermawan Kertadjaya, Apsanti DS, Tommy F Awuy, dan Karlina Supelli.
Rekaman Pengalaman
Bagi Sobary, yang sebelumnya dikenal sebagai peneliti kebudayaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan memimpin Lembaga Kantor Berita Nasional Antara periode Maret 2000 - Juli 2005, Kidung adalah buku ke sekian. Penulis esai produktif itu sudah menelurkan banyak karya, di antaranya Kang Sejo Melihat Tuhan, Sang Musafir, Moralitas Kaum Pinggiran, Sasmita Tuhan, dan Fenomena Dukun dalam Kebudayaan Kita dan Kebudayaan Rakyat.
Kidung, seperti dikemukakan Sobary, merupakan rekaman pengalamannya memimpin tiga tahun di Partnership, yang dibagikannya kepada masyarakat. Ia mengupas masalah manajemen, politik, hingga kepemimpinan, dengan gayanya yang khas.
Merujuk pada tulisan di sampul yang berbunyi "sebuah novel", Apsanti menyebutnya sebagai novel eksperimental. Sobary memberikan kebebasan kepada pembaca dalam melabeli bukunya, termasuk jika karya terbarunya itu disebut otobiografi. Dia sendiri mengatakan karyanya itu lebih tepat disebut sebuah esai. "Saya ini tukang kata-kata," katanya, dalam pertemuan dengan wartawan.
Baginya, Kidung adalah bentuk ucapan terima kasih. "Banyak cara kita mengucapkan terima kasih. Banyak cara kita memberikan penghargaan tinggi atas sesuatu yang memang layak ditinggalkan di mata dan di hati khalayak," katanya, seperti tertulis dalam sampul buku.
Partnership, dan segenap tokoh penting di dalamnya, membukakan kesempatan baginya menikmati momentum-momentum reflektif, ketika ia sedang suka dan bergairah, maupun saat duka, kehilangan inspirasi, dan membutuhkan teman untuk tertawa. Tertawa, yang disebut Sobary sebagai sesuatu yang mewah dalam kehidupan manusia modern, yang "dijajah" agenda demi agenda yang dibuatnya sendiri.
Ia mengaku menyelesaikan karya itu dalam waktu satu bulan. "Membuat karya ini keterpanggilan bagi saya, untuk membuat 'barang-barang' yang berserak menjadi rekaman sejarah yang bisa dipelajari," katanya. Ia mengakui menentukan judul sebagai proses tersulit dalam menyelesaikan karyanya ini. [A-18]
Sumber: Suara Pembaruan, Rabu, 8 Juli 2009
No comments:
Post a Comment