Wednesday, July 08, 2009

Pendidikan Luar Negeri: Tak Ada Ampun bagi Plagiarisme Mahasiswa di Australia

-- Ester Lince Napitupulu

PLAGIARISME dideteksi ketat di perguruan tinggi di Australia. Untuk meminimalkan tindakan plagiat dalam mengerjakan tugas-tugas kuliah, perguruan tinggi menyediakan software pendeteksi dugaan plagiat yang bisa mengetahui seberapa besar kadar penjiplakan karya yang mungkin dilakukan mahasiswa.

Ketatnya aturan soal plagiarisme yang diterapkan di perguruan tinggi-perguruan tinggi di Australia itu merupakan salah satu poin yang ditonjolkan Australian Education International (AEI) di Indonesia saat kunjungan Kompas ke sejumlah perguruan tinggi di Melbourne dan Brisbane pada Juni lalu. Kebijakan tidak kompromi dengan plagiarisme itu demi menjaga integritas akademik di perguruan tinggi, mulai dari staf, dosen, hingga mahasiswa.

Berkembangnya teknologi internet yang kaya sumber informasi dan diakses gratis bisa semakin menyuburkan plagiarisme di dunia akademik. Dengan copy-paste, plagiat karya, baik beberapa bagian paragraf, ide, maupun keseluruhan karya, semakin mudah dilakukan.

Tanda tangani pernyataan

Kebijakan perguruan tinggi yang antiplagiarisme itu disebarluaskan secara terbuka kepada mahasiswa sejak awal. Implementasi sehari-harinya dalam kehidupan kampus dengan membuat surat pernyataan tidak melakukan tindak plagiat.

”Tiap kali pengumpulan tugas, mahasiswa mesti menandatangani formulir khusus. Isinya menyatakan, kita tidak melakukan plagiat dalam pengerjaan tugas,” tutur Andre Yohanes Rumenta, mahasiswa jurusan pemasaran di Universitas Deakin, Melbourne, Australia.

Pemanfaatan internet dalam perkuliahan dan komunikasi dosen-mahasiswa di perguruan tinggi Australia sangat intensif. Setiap mahasiswa memiliki account untuk bisa terkoneksi dengan berbagai fasilitas di kampus, termasuk dalam pengiriman tugas-tugas kuliah.

”Tugas kuliah seperti esai yang dikirim secara online langsung bisa terdeteksi berapa besar plagiat-nya. Kadang-kadang kita tidak merasa plagiat, tanpa disadari ada kalimat yang dideteksi plagiat,” ujar Nitya Wityasmoro, mahasiswa dual degree atau gelar ganda Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia yang kini berkuliah di Universitas Melbourne.

Kadar persentase plagiat dari karya tulis mahasiswa yang dikirim secara online itu, antara lain bisa dideteksi dengan software TurnItIn, yang cukup populer di dunia. Pendeteksian itu, misalnya, bisa merespons jika esai mahasiswa ternyata mencontek dari temannya atau sumber lain.

Andre punya kiat agar terhindar dari dugaan plagiat. Saat hendak mengirimkan tugas kuliah secara online, dia langsung bisa tahu berapa persen dari tugasnya yang diduga plagiat.

”Saya coba untuk perbaiki lagi dengan kalimat sendiri. Pokoknya, berusaha seorisinal mungkin dari buah pemikiran kita sendiri,” kata Andre.

Mahasiswa pun akhirnya terpacu untuk bisa mengolah sendiri kalimat-kalimat hasil pemikiran mereka dalam pembuatan karya tulis. Jika mengutip dari sumber lain, mahasiswa mesti secara jelas mengakuinya dengan mengikuti kaidah-kaidah pengutipan atau pemanfaatan hak atas kekayaan intelektual.

Sanksi untuk mahasiswa yang terbukti melakukan plagiat bisa dikatakan tegas, mulai dari teguran hingga dinyatakan tidak lulus. Mahasiswa itu akan dimintai penjelasan terlebih dulu untuk mengetahui mengapa karyanya bisa terdeteksi plagiat.

”Biarpun aturan plagiat di kampus keras, ada saja mahasiswa yang melakukannya. Tetapi, karena sanksinya tegas dan tidak pandang bulu, lebih baik jangan main-main dengan plagiarisme. Kebijakan itu juga untuk membantu mahasiswa bisa jadi orang jujur dan bertanggung jawab,” kata Dimas Wisnu Adrianto, penerima beasiswa Pemerintah Australia di Universitas Queensland, Brisbane.

Memahami plagiarisme

Plagiarisme mungkin saja tak bisa dihilangkan sama sekali. Adanya software pendeteksi plagiarisme juga bukan jaminan meniadakan 100 persen peniruan atau penjiplakan karya yang dilakukan orang-orang berpendidikan tinggi di Australia.

Namun, upaya untuk meminimalkan plagiarisme di perguruan tinggi, mulai dari jenjang diploma hingga doktor, harus terus dilakukan. Informasi itu gencar dilakukan tiap kampus lewat website mereka atau pelatihan kepada staf kampus.

Seperti di website Center for the Study of Higher Education Universitas Melbourne, pedoman untuk meminimalkan plagiarisme di kalangan akademik Australia cukup lengkap. Pemahaman yang komprehensif itu utamanya harus dimulai dari staf dan dosen.

Untuk bisa membuat antiplagiarisme berjalan dengan baik, kebijakan itu harus merupakan kolaborasi di setiap level kampus dan individu di dalamnya. Pendidikan untuk mahasiswa tentang konvensi kepengarangan dan penghargaan hak atas kekayaan intelektual terus disosialisasikan.

Plagiat itu beragam bentuknya, seperti mencontek saat ujian dari mahasiswa lain, menggunakan catatan yang tidak diperbolehkan, atau pertolongan lain. Bisa juga mengunduh informasi atau material lain dari internet dan mempresentasikannya sebagai milik sendiri tanpa mengakuinya.

Dari kajian yang dilakukan, ada beragam alasan mahasiswa untuk plagiat. Bisa karena tekanan individu untuk sukses dan takut gagal, harapan untuk dihargai, atau adanya kesempatan untuk tidak jujur.

Dalam menjalankan kebijakan antiplagiarisme itu, perguruan tinggi tidak berfokus untuk menangkap dan menghukum mahasiswa. Pencegahan dinilai lebih baik.

Oleh karena itu, pada tahun pertama kuliah mahasiswa lokal dan internasional diberi pemahaman yang mendalam soal plagiarisme. Bahkan, mahasiswa yang punya kesulitan belajar diminta untuk mendapat bantuan di unit pelayanan mahasiswa yang disediakan kampus.

Sering kali mahasiswa terbatas pemahamannya soal plagiarisme. Mahasiswa perlu diberi keterampilan untuk menyimpulkan, membuat paragraf, membuat kutipan, hingga menggunakan referensi. Selain itu, mereka juga perlu diajari soal manajemen waktu, beban kerja, dan manajemen stres.

Software pendeteksi plagiarisme hanyalah alat. Yang terpenting, dosen dan staf tidak jera untuk membangun sikap antiplagiarisme di lingkungan perguruan tinggi.

Sumber: Kompas, Rabu, 8 Juli 2009

No comments: