GEDUNG Kesenian Jakarta (GKJ) mendapat tamu istimewa. Tamu yang mampu mengisi semua kursi di GKJ yang sering kali kekurangan penonton. Sebagian dari tamu istimewa itu malah berdiri di sisi panggung dan sebagian lagi di barisan kursi penonton terakhir.
Lebih dari soal mengisi kursi, tamu istimewa itu mampu mengingar-bingarkan gedung tersebut. Dari kedua sayap balkon terdengar teriakan dan tawa mereka. Mereka bertepuk tangan saat perwakilan dari daerah mereka diperkenalkan satu per satu.
Tamu istimewa itu bukan aktris terkenal. Bukan musisi atau penari manca negara. Mereka anak-anak dari 28 daerah tingkat I yang datang atas undangan Direktorat Kesenian Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Anak-anak itu hadir untuk mengikuti Festival Nasional Kesenian Musik Tradisi Anak-Anak 2009 di GKJ baru-baru ini.
Pembukaan dilakukan Direktur Jenderal Nilai Seni, Budaya dan Film, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Tjetjep Suparman di GKJ, baru-baru ini. Tjetjep memberikan pidato pendek yang menyenangkan anak-anak. Ia mengajak semua anak-anak untuk menampilkan alat musik tradisional daerahnya masing-masing dengan riang.
Penampilan anak-anak akan dinilai tim pengamat yang terdiri dari pekerja seni terkenal di negeri ini. Mereka adalah Rahayu Supanggah, Ben Pasaribu, Marusya Nainggolan, Doni Hermawan, dan Wayan Sadre.
Pada hari pertama pertama tampil anak-anak dari daerah Nusa Tenggara Barat, Jambi, Bali, Jawa Tengah, Sumatera Utara (Sumut) , Nusa Tenggara Timur, Maluku, Sulawesi Barat, dan Jawa Barat. Semua anak-anak bermain baik dan dalam suasana riang tentunya. "Saya akan memainkan kecapi dari Palu. Ini pengalaman pertama saya tampil di gedung besar ini (GKJ, Red), " kata Fiki, siswa SMP I Palu, Sulawesi Tengah (Sulteng) dengan penuh semangat.
Rara, temannya, tidak mau diwawancarai. Ia lebih banyak tersenyum dan bersendau gurau dengan teman-temannya di balkon GKJ.
Anak-anak dari Sulteng Jumat sore ini akan menampilkan tari dan musik bernama Rego Mpae yang menurut Direktur Kesenian Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Sulistyo Tirtokusumo sudah nyaris punah. Rego Mpae adalah salah satu bagian dari upacara tradisi saat panen padi. "Jangankan ikut upacara panen padi, di sebagian besar daerah di Indonesia, anak-anak sudah tidak tahu proses memanen padi. Upacara Rego Mpae itu selain menampilkan alat musik tradisional, seperti rebana, kecapi, suling, dan instrumen tradisional lainnya, mempunyai kandungan filosofi tinggi tentang bersyukur kepada Sang Maha Pencipta," kata Sulistyo.
Gembira
Menyaksikan kegembiraan anak-anak yang mengenakan pakaian daerahnya masing-masing sambil menentang alat musik tradisional, jelas pemandangan langka di Jakarta. Di bagian belakang panggung, terlihat beberapa anak-anak dari Sumut membawa suling pendek dan memegang alat pemukul gondrang.
Saat di panggung, penampilan mereka luar biasa. Selain menampilkan kegembiraan, mereka dengan mahirnya memainkan Gorbang Sembilan berupa sembilan gendang, gong, serunai dan beberapa alat musik lainnya. Anak-anak dari Nusa Tenggara Timur malah berhasil mengundang tepuk tangan panjang usai menampilkan gambaran anak-anak bermain di kampungnya.
" Saya senang melihat kebanggaan anak-anak pada alat musik tradisinya. Ini sejalan dengan tema festival yaitu Aku Bangga dengan Musik Tradisi Indonesia. Jangan lupakan kenyataan bahwa saat ini banyak kesenian tradisional yang mengalami stagnasi dan malah ditinggalkan masyarakat pendukungnya, " tambah Tjetjep.
Festival yang menampilkan kemahiran anak-anak memainkan alat musik tradisional yang hampir hilang dari pemandangan di Ibukota memang menyegarkan. Apalagi jika kegiatan serupa bisa dilakukan dengan lebih cermat dan berkesinambungan. [A-14]
Sumber: Suara Pembaruan, Rabu, 8 Juli 2009
No comments:
Post a Comment