-- Triyono Lukmantoro*
NOVEL, kata Mikhail Bakhtin (1895-1975), adalah karya yang menghadirkan berbagai suara (polyphony). Kritikus sastra asal Rusia itu merujuk prosa yang ditulis Fyodor Dostoyevsky (1821-1881).
Sebagai novelis, Dostoyevsky tidak menampilkan pandangan tunggal. Ada banyak sudut pandang yang dihadirkannya. Pemikiran-pemikiran novel dramatisnya adalah aneka pendapat dan karakter yang mengalami pertikaian. Suara narator bergabung secara tidak kelihatan dalam nada bicara tokoh-tokoh yang diceritakannya.
Mungkinkah sifat polifoni ini ditemukan dalam media massa? Tentu saja, media, seperti surat kabar, televisi, radio, majalah, atau bahkan internet, tidak dapat dibandingkan dengan novel. Media, yang memproduksi berbagai jenis pemberitaan, dikelola dalam himpunan organisasional, sedangkan novel lebih bersifat personal. Media menyebarkan berita. Novel menyajikan cerita. Media menghadirkan fakta. Novel menyodorkan fiksi. Namun, fakta dan fiksi bisa diperdebatkan statusnya akibat hasil olahan imajinasi. Fakta tak selalu berbicara realitas. Fiksi tidak pasti bergelut dengan segala hal yang berkarakter khayali.
Namun, spirit polifoni itu relevan dicangkokkan dalam kinerja media. Problem kinerja media seakan-akan tuntas masalahnya ketika negara tidak lagi mengerahkan sensor dan pembredelan atas nama stabilitas. Masih ada kerja besar yang belum diselesaikan ketika media berhasil menghirup oksigen kebebasan. Agenda krusial itu ialah peran media dalam dialog antarbudaya.
UNESCO, institusi global yang bertanggung jawab pada dialog antarbudaya dan kebebasan berekspresi, menyatakan, media memiliki kapasitas sesuai misi lembaga itu. Media, menurut UNESCO, bisa bergerak melampaui stereotip-stereotip budaya yang mapan. Media dapat menyingkirkan kemasabodohan yang melahirkan ketidakpercayaan dan rasa curiga.
Media bisa mendukung toleransi dan penerimaan perbedaan yang muncul dari keanekaragaman nilai-nilai budaya. Sikap-sikap dan asumsi-asumsi terhadap pihak lain yang mengalami pengerasan mendapatkan tantangan.
Mungkinkah media bisa berkedudukan sebagai fasilitator dialog antarbudaya ketika institusi ini merupakan pewaris ideologi kebangsaan, terutama di negara-negara bekas jajahan?
Pewaris kebudayaan
Bangsa, bagi Benedict Anderson, adalah komunitas yang dibayangkan. Kebangsaan lahir bukan karena semangat peperangan para tentara. Kebangsaan hadir dari pembayangan yang dijalankan sebuah komunitas. Bangsa bergulir dari daya berimajinasi. Salah satu sarana yang mampu merepresentasikan imajinasi ini adalah media.
Melalui media yang diproduksi, didistribusikan, dan dikonsumsi oleh anggota-anggota suatu komunitas, bangsa lahir sebagai hasil imajinasi. Bangsa adalah imajinasi, tegas Anderson, karena anggota-anggota dari bangsa terkecil sekalipun tidak pernah saling mengenal. Bangsa juga adalah produk pembayangan karena bangsa paling besar pun mempunyai batas-batas geografis tertentu di antara bangsa-bangsa lain. Bangsa hadir menggantikan atau menggerogoti agama dan monarki yang terorganisasikan. Bangsa sebagai komunitas ialah perlawanan bagi ketidaksederajatan untuk digantikan perkawanan yang horizontal.
Berbagai media yang terdapat di Indonesia tak bisa menyangkal takdirnya sebagai pewaris ideologi kebangsaan, bahkan hingga saat ini. Media tetap berperan sebagai penyubur gagasan nasionalisme sekalipun tanpa dikontrol negara. Media, lebih dari itu, berposisi sebagai agen propaganda tanpa diperintah siapa pun. Inilah warisan ideologi kebangsaan yang amat sulit dihindarkan. Simaklah, misalnya, saat Malaysia menerabas Ambalat yang dinilai sebagai bagian Indonesia. Atau, saat lagu ”Rasa Sayange”, angklung, dan reog diklaim sebagai milik Malaysia.
Tidakkah ini produk komunitas dibayangkan yang diluapkan media?
Tiada dialog antarbudaya dalam media, kecuali monolog yang dibungkus sebagai berita.
Apa maknanya ketika dialog terhenti dan monolog menguasai ruang-waktu media? Ketika dialog berubah menjadi monolog, hal yang terjadi adalah interaksi menjadi statis, tertutup, dan mati. Proses dialog yang seharusnya mengalir dihentikan oleh monolog yang menghendaki finalisasi.
Dari epos ke novel
Fenomena itulah yang sering kali dilakukan media dalam melakukan reportase terhadap gesekan atau konflik yang melibatkan entitas antarbudaya. Pada kondisi ini, merujuk pemikiran Bakhtin, media lebih memerankan diri sebagai epos yang berbeda dengan novel. Epos sengaja menghilangkan kemajemukan suara. Epos, cerita yang menuturkan kepahlawanan, selalu berkehendak mengobarkan kemenangan dari sosok-sosok yang diagungkan. Pihak yang melawan figur pahlawan selalu dijungkalkan sebagai pecundang akibat berbuat maksiat dan berlaku bejat yang tak terampunkan.
Media hanya mampu menjadi tempat dialog antarbudaya apabila para jurnalis mengadopsi semangat novel, dan bukan spirit epos yang bertutur tentang pahlawan.
Mungkinkah keinginan itu direalisasikan? Tidak mudah memberikan jawaban. Media bukan karya sastra. Berita bukan cerita. Jurnalis tidak sama dengan novelis. Namun, tidak keliru berharap media menjadi novel yang memberi peluang kehadiran bagi aneka suara. Jadi dialog antarbudaya tidak lagi menjadi mimpi belaka.
* Triyono Lukmantoro, Dosen FISIP Universitas Diponegoro, Semarang
Sumber: Kompas, Sabtu, 4 Juli 2009
No comments:
Post a Comment