Saturday, July 04, 2009

Michael Jackson, Sutarno, dan Kita

-- Saifur Rohman*

ADA dua peristiwa duka yang bermakna kultural pada akhir bulan Juni.

Sutarno, penerus komunitas Samin di Pati, Selasa (23/6/2009), meninggal pada usia 100 tahun. Dua hari kemudian, Kamis (25/6/2009), Michael Jackson, Raja Pop Dunia, meninggal di Los Angeles, AS.

Dua peristiwa itu bertolak belakang. Umur Sutarno dua kali lipat umur Jacko. Dari sisi ruang, Sutarno meninggal di Dukuh Bombong, Desa Baturejo, Pati, Jateng, jauh dari ingar-bingar duniawi. Jackson meninggal di jantung dunia, Los Angeles, pusat segala bentuk perkembangan peradaban.

Kepergian Jacko mendapat perhatian dunia, mulai dari lingkaran komunitas terdekat, kalangan artis, hingga lingkaran dunia. Sementara Sutarno cukuplah dikenal dalam komunitas sendiri sebagai Sesepuh Sedulur Sikep. Liputan kematiannya hanya dilakukan media lokal dan komunitas. Bahkan, Wakil Gubernur Jateng Rustriningsih yang melayat pun tertinggal dari ritual pemakaman.

Peristiwa diskontinu itu mengingatkan kita pada kerja keras Michel Foucault yang memberi tahu kita tentang metode diskontinuitas (ketidaknyambungan) dalam rangka mengembangkan ilmu-ilmu humaniora. Dalam bukunya, L’archeologie du savoir (1969), ditulis, ”Selalu ada sambungan dari peristiwa yang selama ini dipendam, disingkiri, bahkan dilupakan untuk menumbuhkan wacana pengetahuan kita hari ini” (1969: 78).

Bagaimanapun, metode itu telah mengarahkan rasio kita untuk memahami perkembangan terakhir wajah peradaban. Dalam struktur pemikiran manusia, sumber-sumber pengetahuan selalu didasarkan tiga hal: fakta-fakta empiris; rumusan rasionalitas; dan spekulasi simbolik.

Fakta-fakta di Los Angeles dan Pati adalah unsur yang saling sebar dalam ranah empiris, tetapi hal itu menjadi unsur yang memusat dalam kajian simbolik.

Resistensi

Michael Jackson lahir di sebuah keluarga miskin, berkulit hitam, dan kondisi lingkungan yang amat tidak menguntungkan. Miskin dan kulit hitam adalah ”kutukan” tersendiri pada masa kecilnya karena itu berarti pengucilan, diskriminasi, dan hambatan dalam perjuangan yang tidak kecil. Namun, kondisi itu tidak membuat sejarah Jackson tamat.

Jalur musik pop yang dirintis lalu sampai pada satu titik yang sulit dibayangkan. Pada 1982 dia meluncurkan Thriller, terjual 41 juta kopi, album terlaris sepanjang masa, dan mengubah wajah musik pop dunia. Di sana terpadu tontonan panggung, teknologi audiovisual, dan kemampuan menghibur. Hadirnya MTV dan budaya pop membuka lembaran baru dunia hiburan.

Jackson juga menjadi ikon pemberontakan terhadap diskriminasi atas warna kulit, budaya pop yang tersubordinasi atas budaya puritan, dan penciptaan dunia tontonan dengan cita rasa baru. Maka, bukan kebetulan ketika Daniel Bell (1989), filosof Amerika, menyebut perubahan itu sebagai titik awal lahirnya budaya pop. Budaya itulah yang melibas aneka bentuk puritanisme budaya yang selama ini dianggap adiluhung, sakral, tak tersentuh. Andy Warhol (1985) ikut menyusun riwayat kesenian avant garde sebagai bentuk resistensi atas konsep-konsep mapan di bidang filsafat, seni, dan budaya.

Sutarno

Sutarno adalah simbol lain dari resistensi, dibesarkan di sebuah komunitas yang didirikan Kiai Samin Surontiko pada 1890. Saat itu, setting sosial memosisikan komunitas Samin melawan Belanda di bidang perpajakan. Pada 1907, Kiai Samin ditangkap Belanda, dituduh memberontak. Mereka tidak mau membayar pajak. Warisan Gerakan Samin adalah ajaran-ajaran yang meliputi sikap hidup dalam lingkup sosial hingga politik dan kebudayaan.

Hingga kini, ajaran komunitas kecil itu dapat dilihat jejaknya dari perlawanan mereka terhadap rencana pembangunan pabrik Semen Gresik di tanah komunitas Samin atau Sedulur Sikep. Dengan sikap mempertahankan tanah leluhur, komunitas Samin mampu mementahkan kebijakan pemerintah Jateng yang mengatasnamakan investasi. Kajian amdal (analisis mengenai dampak lingkungan) yang menyatakan pembangunan itu amat kondusif digagalkan. Bahkan, yang lebih besar lagi, mereka melawan serbuan kapital yang dipenuhi semangat imperial swasta. Hingga kini, komunitas marjinal dan terisolasi itu tiba-tiba berdiri kokoh di tengah kebijakan yang memusat dan menguasai.

Sutarno dan Jackson membawa kita pada tipologi dan tipografi berpikir manusia tentang arti perlawanan atas segala hal yang selama ini dianggap mapan, dominan, kukuh tak tersentuh. Perlawanan Sutarno beranjak dari konservativisme kultural, sedangkan Jacko dari progresivisme kultural. Sutarno pada nilai lokal, Jackson pada nilai global. Sutarno eksklusif, Jackson inklusif.

Pengentalan identitas versus pengaburan identitas. Itulah parafrase strategi kebudayaan kontemporer. Dan kita berdiri di antara riuh rendah tekanan dalam konteks lokal-global, tradisional-modern, imperial-liberal. Sutarno dan Jackson mengingatkan kita.

* Saifur Rohman, Alumnus Pascasarjana Filsafat UGM; Dosen Universitas Semarang

Sumber: Kompas, Sabtu, 4 Juli 2009

No comments: