-- Hendriyo Widi
DI mata Profesor Pierre-Yves Manguin, sebuah bongkahan papan kapal atau perahu dapat berkisah tentang sejarah maritim suatu kerajaan atau negara. Bongkahan itu juga mampu mengukur sejauh mana kualitas cipta, karya, dan rasa bangsa itu berkembang dan mempertahankan hidup menjelajah berbagai pulau.
Di Desa Punjulharjo, Kecamatan Rembang, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, akhir Juni lalu, Manguin, arkeolog maritim asal Perancis itu, membuktikan pernyataannya. Bersama Balai Arkeologi Yogyakarta, dia meneliti perahu kuno yang ditemukan di lahan tambak warga yang berjarak sekitar 1 kilometer dari pantai.
Berdasarkan teknologi pembuatan perahu, Manguin mengatakan, perahu itu berasal dari zaman peralihan Kerajaan Mataram Kuno ke Sriwijaya, 670 Masehi-780 Masehi. Teknologi pembuatannya masih sederhana, menggunakan tambuktu atau balok tempat pasak yang diperkuat ikatan tali ijuk.
”Meski begitu, perahu selebar 4 meter dan panjang 15,6 meter itu mampu mengarungi berbagai pulau. Perahu Punjulharjo merupakan jenis perahu perdagangan,” kata Manguin.
Melalui perahu atau kapal, sebuah bangsa melepas belenggu isolasi samudra, membuka komunikasi, dan berinteraksi dengan bangsa lain. Mereka bertukar pengetahuan, barang, budaya, dan pangan.
Melalui perahu, sebuah bangsa membangun politik dan ekonomi maritim. Mereka mengembangkan kekuasaan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui perdagangan dan aneka hasil laut.
”Di bumi Nusantara, Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit telah membuktikan keberhasilan politik dan ekonomi maritim yang dipadukan dengan ekonomi berbasis agraris,” ujar Manguin.
Cinta kapal
Pierre-Yves Manguin lahir di Portugis, 30 Juni 1945. Dia berasal dari keluarga Perancis yang tinggal di Portugis. Ayahnya, Henri Manguin, bekerja sebagai pengusaha ban dan ibunya bernama Antoinette Manguin.
Sejak kecil hingga tamat Lycee francais Lisboa atau sekolah lanjutan tingkat atas bagi anak-anak Perancis, Manguin menghabiskan waktu di Portugis. Setiap kali ada waktu senggang, dia pergi berpesiar dengan kapal pesiar milik sang ayah.
Dia juga kerap mengunjungi berbagai galangan kapal tradisional di Portugis. Waktu itu dia sempat belajar membuat perahu berbahan baku kayu sepanjang 6-13 meter. Ketika pindah ke Perancis, Manguin tetap meneruskan kebiasaan itu. Pantai barat Perancis dan galangan perahu di sekitar pantai itu menjadi salah satu bagian hidupnya.
”Saya kerap membaca literatur tentang maritim dan kapal,” kata Manguin yang saat itu masih menjadi mahasiswa Jurusan Kimia Universitas Marseille.
Manguin mulai tertarik kepada Asia ketika perang Vietnam sedang berkecamuk. Media massa banyak menyiarkan berita tentang Vietnam. Beraneka buku tentang Vietnam juga mudah dia dapatkan.
Menurut Manguin, yang menarik dari Vietnam adalah kehidupan masyarakatnya, terutama mereka yang tinggal di sepanjang daerah aliran Sungai Mekong. Masyarakat di kawasan ini benar-benar bertahan hidup melalui pertanian dan sumber daya sungai. Perahu menjadi alat transportasi untuk menjual hasil bumi dan mencari ikan.
Untuk itu, tahun 1965 Manguin meninggalkan jurusan kimia dan beralih ke jurusan bahasa di Langues’O, Paris. Di perguruan tinggi bahasa itu, dia belajar bahasa Vietnam, Melayu, dan Jepang. Bersamaan dengan itu, Manguin belajar tentang sejarah antropologi Asia Tenggara di Sorbonne. Namun, dia belum juga mempunyai kesempatan mengunjungi Vietnam.
Pada 1970, setelah merampungkan program S-2 dan S-3 bahasa dan sejarah maritim, Manguin bergabung dengan Ecole francaise d’Extreme-Orient (EFEO). Di lembaga pusat studi Perancis-Asia itu dia memperdalam pengetahuan tentang sejarah maritim dan perahu tradisional.
Manguin sempat mengunjungi kawasan pesisir di Indonesia dan Malaysia. Setiap kali menemukan industri galangan kapal di kawasan itu dia selalu mempelajari teknik pembuatan berbagai perahunya.
Kapal Nusantara
Manguin mengenal Indonesia tahun 1977. Waktu itu EFEO bekerja sama dengan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional membuka cabang EFEO di Indonesia. Pada 1981 mereka menggarap program penelitian perahu Bukit Jakas di Pulau Bintan.
Manguin mengatakan, waktu itu tim peneliti hanya mendapat bongkahan-bongkahan perahu. Dari teknologi pembuatannya, diketahui perahu itu buatan abad XVI, dengan pengaruh China yang kuat. Penyambung papannya menggunakan pasak dan paku besi, tak lagi memakai tali ijuk.
Delapan tahun kemudian Manguin bersama Profesor Wolters, pakar Sriwijaya dari Universitas Cornell, mengadakan penelitian di situs Sriwijaya, Palembang, Sumatera Selatan. Dia meneliti sebuah kolam di Bukit Seguntang dan sempadan Sungai Musi di bawah Jembatan Ampera.
Di kolam Bukit Seguntang dia menemukan bongkahan-bongkahan perahu Sriwijaya. Perahu dari abad V itu menggunakan teknik tambuktu dan ikatan tali ijuk. Adapun di sempadan Sungai Musi dia menemukan sisa-sisa kampung rakit.
Perahu itulah yang menjadi bukti pertama keberadaan perahu Nusantara yang pernah disebut-sebut pendeta Buddha yang pernah berkunjung ke Sriwijaya. Dalam sebuah literatur abad VIII, pendeta itu menyatakan, ada perahu papan yang diikat dengan tali ijuk, bertiang tiga, lain dari perahu China, panjangnya sekitar 40 meter, dan memuat 500 orang.
”Kerajaan Sriwijaya merupakan pusat perdagangan dan negara maritim. Sriwijaya memperluas kekuasaan hingga Asia Tenggara dan pernah berkontribusi untuk populasi Madagaskar sejauh 3.300 mil dengan kapal,” kata Manguin.
Dia juga menemukan situs kota China dan bongkahan perahu abad XI-XII di Medan, Sumatera Utara, dan galangan perahu tradisional serta kemudi perahu abad VII di Sambirejo, Palembang. Tahun 1996-2002, Manguin mengadakan penelitian di situs Oc Eo (dulu negara Funan) di Ho Chi Minh, Vietnam. Dia menemukan kota kuno, candi, dan kanal di delta Sungai Mekong.
Pada 2006 Manguin bersama Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional meneliti situs Batujaya di daerah aliran Sungai Citarum, Karawang, Jawa Barat. Di dalam makam masyarakat Buni, dia menemukan pecahan tembikar sezaman dengan Kerajaan Tarumanegara, abad I-X.
”Temuan itu membuktikan, sebelum zaman Sriwijaya, warga Nusantara sudah melakukan kontak dengan India melalui hubungan laut,” ujarnya.
Manguin mengatakan, sejarah dan arkeologi maritim Nusantara sangat kaya. Melalui bidang studi dan penelitian itu, bangsa Indonesia dapat becermin dan belajar tentang kemandirian maritim sebuah bangsa atau kerajaan.
Sayangnya, bidang studi itu belum mendapat perhatian penuh, sementara ekonomi Indonesia semakin menjauh dari ekonomi maritim.
Sumber: Kompas, Selasa, 7 Juli 2009
No comments:
Post a Comment