-- M. Abdullah Badri
UNTUK menjadi bangsa yang maju harus memiliki masyarakat yang maju, yakni masyarakat baca (iqra), yang gemar membaca (reading society). Tidak lain, terciptanya masyarakat iqra menjadi satu-satunya pintu utama menuju advanced society. Perpustakaan adalah sarana paling efektif untuk membuka pintu tersebut.
Perpustakaan menjadi sarana strategis membangun bangsa karena di sana setiap orang bebas membaca dan mengakses data secara cuma-cuma di tengah terbelitnya kebutuhan hidup yang semakin mahal, ketika tidak semua orang bisa menyisihkan uang untuk membeli buku, dibaca. Dengan membaca, masyarakat menjadi pandai dalam menggunakan bahasa, melek literasi, mengerti hak-haknya, kreatif dalam menyiasati hidup dan kritis terhadap lingkungan. (Kompas, 14-2-2009).
Cerminan reading society seperti di atas tentu tidak bisa dicapai dengan mudah. Bahkan harus disertai dengan kesabaran, karena, diakui atau tidak, indeks pembangunan nanusia (IPM) Indonesia masih di bawah standar. Jauh dari negara-negara tetangga. Pada 2007 saja, IPM Indonesia yang sebesar 0,728 ternyata masih menempati urutan 108 dari 179 negara yang ada. Meski angka itu mengalami peningkatan bila dibandingkan pada 2005 (0,697), prestasi tersebut belum memuaskan. Filipina berada di urutan 84, Thailand: 73, dan Malaysia: 61.
Dalam titik ini, perpustakaan tidak bisa ditawar lagi kehadirannya. Sebab, dari sanalah muncul orang-orang brilian yang siap berkompetisi dalam konstelasi global. Seakan menjadi ruh, perpustakaan tidak bisa dipisahkan dari pembangunan bangsa dari berbagai aspek, yang ditunjukkan dengan peningkatan kualitas serta kuantitas sumber daya manusianya.
Para kaum profesional, cerdik-cendekia, hanya bisa lahir dan dapat menyumbangkan pemikirannya kepada negeri ini jika perpustakaan mampu memerankan diri sebagai pusat pengayaan data, bank data.
Gerakan Budaya
Gerakan budaya yang perlu dilakukan untuk menuju reading society adalah dengan mengkriya habitus pustaka. Habitus (Latin) menurut Pierre Bourdieu adalah kebiasaan sosial yang telah menjadi insting perilaku, mendarah daging, bersifat spontan dan tidak disadari pelakunya, baik ataupun buruk. (Binawan: 2007). Kemudian pustaka, secara semiotik merujuk pada tempat dan upaya pengayaan pengetahuan untuk mencapai keluhuran (Paus Abdillah: 2006). Jadi, habitus pustaka adalah kebiasaan alam bawah sadar untuk terus kreatif memperkaya pengetahuan sehingga mencapai keluhuran bersama. Lalu, strategi apa yang harus dilakukan?
Pertama, membongkar ekslusivitas elitisme membaca. Selama ini masyarakat awam menganggap bahwa membaca adalah pekerjaan orang-orang pandai dan berduit. Kultur budaya yang terbangun dalam paradigma mereka menyatakan bahwa membaca tidak memiliki nilai guna secara meteri, apalagi investasi. Logika yang dipakai sederhana: lebih baik bekerja daripada membaca. Adanya perpustakaan keliling sangat membantu dalam membongkar ekslusivitas tersebut.
Kedua, membangun kesadaran berkompetisi. Semua mengetahui, bangsa kita masih mengejar matahari, dan akan terus mengejar. Namun tidak banyak yang peduli untuk mempercepat langkahnya, dengan banyak membaca. Banyak yang melek aksara, tetapi tidak banyak yang berupaya memperkaya wacana, dengan membaca. Akibatnya, pola pikir masyarakat kita belum beranjak dewasa. Kita masih sibuk berkelahi dengan sesama, sementara negara tetangga telah melukis pelangi di malam hari, hal yang mungkin dianggap mustahil.
Ketiga, di tataran kebijakan, hendaknya pemerintah harus mengalokasikan anggaran yang memadai untuk penelitian di segala bidang. Kita bisa belajar kepada bangsa Jepang. Pascatragedi pengeboman di Nagasaki dan Hirosima pada 1945, yang dilakukan penguasa ketika itu bukan langsung memperbaiki infrastruktur negara, melainkan mencari guru atau pengajar untuk generasi selanjutnya. Anggaran yang digunakan untuk penelitian mencapai empat puluh lima persen dari total anggaran negara. Hasil penelitian itulah yang kemudian bisa dinikmati generasi bangsa Jepang sekarang.
Jika hal tersebut terwujud, membaca bukan lagi pekerjaan sulit. Ia justru menjadi kenikmatan hidup yang melahirkan ekstasi dan sublimasi kebahagiaan. Yakni ketika kenikmatan memahami makna teks bacaan (plaisir), sebagaimana dikatakan Roland Barthes, berubah menjadi kenikmatan ekstatik karena efek-efek tak terduga dari yang dibacanya (jouissance).
Di sini, habitus pustaka bukan hanya membaca dengan akal, melainkan juga dengan hati, karena sudah mendarah daging. Membaca bukan lagi pekerjaan, melainkan kebutuhan. Pada tahapan selanjutnya, membaca akan membebaskan diri dari budaya eksploitatif akibat hedonisme hidup, membebaskan diri dari kegelapan peradaban, untuk berekspresi, berkreasi, berekspresi, dan bertanggung jawab dalam rangka membangunkan putra-putri ibu pertiwi dari tidur panjangnya, akibat penjajahan, baik dari bangsa sendiri maupun orang lain.
Dalam tahapan ini, berkompetisi, akibat pengayaan data dari membaca, tidak menjadi sebuah beban, tetapi naluri yang hidup yang menyenangkan, yakni habitus pustaka. Itulah yang akan membangun kemajuan bangsa. Pandir Karya mengatakan: Manusia membangun habitus secara perlahan, dan kemudian habitus itu membentuk nasibnya.
* M. Abdullah Badri, Direktur Kelompok Studi Mahasiswa Walisongo (KSMW), peneliti di Idea Studies Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang.
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 4 Juli 2009
No comments:
Post a Comment