-- Aguk Irawan MN
MENJELANG hajatan besar Nahdlatul Ulama, baik juga mendengar keluhan sejumlah selebriti. Mereka mengaku merasa resah dengan adanya beragam fatwa. Misalnya, fatwa soal hukum haramnya penggunaan jejaring sosial semacam Facebook dan Twitter, melakukan rebonding, foto pre-wedding dan beberapa hal lain yang berkaitan dengan ”gaya hidup modern”.
Mereka berharap, pesantren bisa menghadapi dan memberikan solusi bijak mengenai persoalan ini.
Maklum saja, bila dirunut dari sejarahnya, pesantren adalah semacam ”rumah besar”, lembaga sosial tempat setiap anggota masyarakat—tanpa peduli jenis, kelas, ras, usia, atau penggolongan lainnya—dapat berkumpul untuk belajar dan mengajar, atau sekadar bersilaturahim. Bisa juga ”curhat” (curahan hati) tentang segala masalah hidup yang kian pelik belakangan hari. Meskipun demikian, lembaga tradisional itu sekarang ini seperti mendapat tantangan, bahkan ancaman tidak ringan yang mempertaruhkan tidak hanya peran, tetapi juga eksistensinya.
Sebagai sebuah lembaga tradisional, pesantren sebenarnya sudah ada jauh sebelum Islam masuk ke negeri ini. Sebagai sebuah tempat untuk ”berkumpul, berembuk dan mengaji” (Karel A Steenbrink, 1986).
Mengapa kemudian pesantren dapat bertahan sampai hari ini, di saat banyak lembaga pendidikan Islam tradisional di dunia lain berguguran? Hal ini tidak lain karena wataknya yang akomodatif dan apresiatif terhadap (ekspresi) budaya lokal. Tidak mengherankan jika pesantren segera diterima secara luas.
Tembang lokal
Karakter dasar pesantren itu dibangun oleh sebuah kemampuannya dalam membangun relasi yang empatik dan mutualistik, antara Islam dengan adab dan adat lokal (Nusantara). Sebuah relasi atau perkawinan yang akhirnya melahirkan semacam larutan baru: Nusantara yang Islam atau Islam yang Nusantara. Hal itu, antara lain, ditandai oleh banyaknya nadzaman dan tembang-tembang yang menggunakan bahasa lokal dan biasa dilantunkan di pesantren atau majelis taklim di masjid-masjid. Demikian juga sebaliknya, tidak sedikit nadzaman dan tembang-tembang lokal yang bertemakan Islam.
Meskipun demikian, munculnya beragam fatwa oleh satu atau dua pesantren menimbulkan pertanyaan, apakah muncul ”wajah baru” pesantren? Apakah pesantren kehilangan kemampuan adaptif dan apresiatifnya pada perkembangan sosial di sekitarnya? Apakah pesantren sudah tidak lagi memiliki kemampuan yang adekuat untuk berdialog dengan zaman, menyerap kenyataan mutakhir yang sedang berkembang di sekitar masyarakatnya? Padahal, karakter dasar itulah yang selama ini menjadi kebanggaan kaum tradisionalis.
Karakter dasar itu, oleh Martin van Bruinessen, dilihat karena didasari oleh self-consciousness traditionalism, tradisionalisme yang sadar diri. Khususnya karena kaum sarungan ini memiliki kesadaran tinggi pada pelestarian tradisi.
Dalam tradisi terdapat tiga hal yang fundamental dalam meneguhkan eksistensi, sebagai pribadi maupun kelompok, yakni nilai, simbol, dan strategi kebudayaan. Nilai yang membuat manusia memiliki makna hidup. Makna itu kemudian disimpan oleh tradisi di dalam sebuah simbol, tempat nilai pun direproduksi, didaur ulang, dan diwariskan.
Strategi kebudayaan
Bagaimana sebuah tradisi berkembang dan bertahan, tidak bisa tidak, membutuhkan apa yang disebut dengan sebuah strategi kebudayaan.
Pesantren menempatkan dirinya sebagai sesuatu yang di atas struktur. Pada posisi inilah pesantren memiliki watak yang toleran, pluralis, populis, dan independen. Bila pun ia berfatwa, fatwa itu segera dapat diterima, karena ia mengakomodasi kehendak, pikiran dan mimpi konstituennya. Bahkan, lebih dari itu, ia mampu menjadi semacam karantina atau benteng pertahanan pada saat negara menjadi otoriter dan represif.
Untuk itu, sebagai bagian dari penguatan tradisi, pesantren harus punya strategi kebudayaan. Pemahaman akan dinamisme kebudayaan yang berubah-ubah itulah yang mestinya dipahami oleh kalangan pesantren sehingga dengan sendirinya pesantren turut mengawal dan mengikuti perubahan dari waktu ke waktu. Dan, tentu saja, perubahan ke yang lebih baik harus sama ditonjolkan dengan mempertahankan budaya lama yang baik.
Diktum klasik Sunni yang sering dijadikan pedoman pesantren, ”menjaga tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik,” mesti dipraktikkan bukan semata berhenti pada upaya konservasi (al-muhafadzah ala qadim as-shalih), melainkan juga pada ”kreasi dan inovasi baru” (al-akhdzu bil jadid al-ashlah).
Fleksibilitas yang membuat negeri dan bangsa ini lentur, bertahan, bahkan jauh berkembang, setidaknya sebelum ia dicengkeram dan dibius oleh kapitalisme yang kasar belakangan ini. Sayang, bila hanya karena nafsu material (dari kapitalisme) dan akhirnya ambisi kekuasaan dipakai sebagai landasannya, harus membuat pesantren tiba-tiba menjadi polisi moral yang kesiangan.
Maka Islam-Nusantara itu akan layu dan gugur karenanya. Karena kita.
* Aguk Irawan MN, Pemimpin Redaksi Jurnal Budaya Kalimah-Lesbumi, Yogyakarta
Sumber: Kompas, Sabtu, 6 Maret 2010
No comments:
Post a Comment