-- Mursyid Burhanuddin
BUKU menjadi pijar peradaban umat manusia. Bahkan, tak jarang perubahan besar di dunia ini bermula dari lembaran-lembaran kertas itu. Buku unggul karena tidak hanya bisa menyebarkan ilmu pengetahuan dan teknologi, tapi juga efektif untuk menancapkan ideologi atau pemikiran kontroversial sekalipun. Singkatnya, buku mampu menyajikan informasi, mengubah mindset, dan menanamkan suatu keyakinan yang kadang tak disadari oleh pembacanya.
"Perubahan sosial sering disebabkan empat hal. Yakni, ide besar, tokoh besar, gerakan sosial, dan revolusi," kata Jalaluddin Rahmat, pemikir. Maka, bila ada ide besar yang ditulis oleh tokoh besar, itu bisa menjadi alat perubahan sosial yang hebat.
Sejarah mencatat kontribusi buku dalam perubahan sosial tersebut. Buku-buku yang ditulis tokoh besar seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles benar-benar bisa mengubah pemikiran masyarakat Yunani kuno saat itu, dari mistis menuju ke logis. Bahkan, salah satu karya Plato, The Republic, misalnya, meski ditulis pada 380 SM, disebut-sebut sebagai karya paling berpengaruh di dunia hingga kini.
Begitu juga Das Capital yang ditulis Karl Marx, merupakan buku lintas geografis dan budaya. Bayangkan, buku itu hampir dibaca dua pertiga masyarakat dunia! Maka, tak heran bila mampu menginspirasi berbagai perubahan tatanan sosial di beberapa negara.
Yang menggembirakan, buku tasawuf dan buku pemikiran Islam memberikan kontribusi yang tidak kalah penting. Namun, Tahafut al Falasifah yang ditulis Al Ghazali, misalnya, justru dituduh sebagai buku antiintelektual. Bahkan, buku itu disebut-sebut sebagai biang pemutusan mata rantai intelektualitas di kalangan muslim.
Pasalnya, isi buku itu mencerca dan menghujat kerja filsafat rasional hanya sia-sia dan berbahaya bagi keyakinan agama. Meski kebenarannya masih membutuhkan penelitian lebih mendalam, tetap saja berpengaruh massif pada benak pembaca.
Dus, alangkah hebatnya sebuah buku! Karena itu, wajar jika Napoleon Bonaparte sangat ketakutan dengan kekuatan tulisan ketimbang ratusan tentara di medan laga. Bahkan, dalam tradisi Islam, tinta seorang ulama lebih sakral ketimbang tetesan darah seorang martir (syuhada).
Lantas, bagaimana kondisi buku-buku pemikiran Islam di Indonesia? Kini, semakin sulit menemukan buku terbitan baru yang bisa membawa perubahan besar. Apalagi, karya para filsuf atau pemikir Islam kian jarang diterbitkan. Celakanya, penerbit yang dulu menerbitkan buku-buku filsafat dan pemikiran Islam kini justru lebih dikenal sebagai penerbit buku tren, buku sastra, atau buku-buku how to.
Mengapa? Sebab, sejak 2000, terjadi pergeseran sosial politik yang luar biasa di Indonesia. Hingga akhirnya para penerbit mengerem terbitan buku-buku pemikiran Islam.
Kondisi itu sangat berbeda pada era 1980-2000. Saat itu, buku-buku pemikiran Islam tumbuh bak cendawan pada musim hujan. Banyak penerbit memilih jalur tersebut. Di antaranya, penerbit Al-Ma'arif, Bulan Bintang, dan Bina Ilmu. Lalu, disusul penerbit Pustaka Salman, dan Shalahuddin Press.
Ciri khas keduanya tak lagi membahas seputar ibadah praktis, tapi justru menerbitkan buku-buku pemikiran Islam. Pustaka Salman sangat gencar menerbitkan buku-buku terjemahan karya Fazlur Rahman, sang pembaru Islam. Begitu juga Shalahuddin Press yang memopulerkan buku-buku terjemahan karya Ali Syari'ati.
Kemudian, penerbit Mizan muncul belakangan. Penerbit tersebut bukan main hebatnya karena bisa memetakan berbagai corak pemikiran Islam di Indonesia setelah Orde Baru. Salah satu buku andalannya adalah Seri Cendekiawan Muslim. Lewat buku itu, Mizan mendapat respons pasar yang menggembirakan sekaligus bisa mengumpulkan tulisan seluruh cendekiawan Muslim di Indonesia. Bersamaan dengan itu, di Jogjakarta muncul penerbit LKiS dan di Jakarta muncul penerbit Paramadina.
Yang menggembirakan, dalam kurun waktu 20 tahun itu, buku-buku pemikiran Islam kritis bisa menjadi best seller. Sebut saja, Islam Otentitas Liberalisme (David Sigiv), Islam Pasar Keadilan (Robet W. Hefner) Islam dan Demokrasi (Fatima Mernisi), Post Tradisionalisme Islam (Muhammad Adeb A.), kelimanya diterbitkan LKiS yang dikenal memiliki tradisi kritis yang pekat. Begitu juga buku Islam dan Etnisitas (LP3ES), Relasi Islam dan Negara (Indonesia Tera), Renaisans Islam (Rosda Karya), dan Islam dan Doktrin Peradaban karya Nurcholish Madjid (Paramadina).
Ciri utama buku-buku pemikiran Islam era 1980-2000 adalah memuat konten yang bersifat intelektualitas. Sedangkan yang terbit setelah itu rata-rata lebih menekankan pada sisi praktikal. Buku La Tahzan: Jangan Bersedih!, Mukjizat Sholat Tahajud, Seri Keajaiban Sedekah, Seri Manajemen Qalbu, dan Panduan Sholat Khusyuk merupakan contoh buku-buku yang berciri praktikal itu. Singkatnya, buku pemikiran Islam yang praktikal berupaya mengulang kesuksesan buku-buku pemikiran Islam era 1980-2000.
Turning Point
Ada dua faktor penentu keberhasilan buku pemikiran Islam jenis praktikal. Pertama, kemasan yang menarik, gaya selingkung yang kreatif, dan ketebalan yang tepat. Saking praktisnya, buku tersebut dapat diselesaikan dalam sekali duduk. Agaknya, ciri-ciri itu memenuhi salah satu common sense minat baca. Yakni, membaca buku adalah pekerjaan orang yang memiliki waktu senggang.
Kedua, tema buku sangat empatif karena sesuai dengan situasi dan kondisi yang tengah dihadapi pembaca. Yakni, ketidakmenentuan politik, sosial, dan ekonomi. Futurulog Fritjof Capra menyebutnya sebagai turning point (titik balik). Ekses modernitas telah menyeret manusia pada kegersangan rohaniah. Karena itu, dibutuhkan serapan nilai-nilai normatif dan religiusitas.
Tapi, dengan hanya mengandalkan buku pemikiran Islam berciri praktikal, bisa mengakibatkan menciutnya buku yang berwacana kritis. Dengan demikian, akan turut menciutkan cakrawala pemahaman dan lingkup pendarasan pembaca. (*)
* Mursyid Burhanuddin, general manager JP Press Surabaya
Sumber: Jawa Pos, Minggu, 21 Maret 2010
No comments:
Post a Comment