-- Johan Wahyudi
PEMIKIRAN Hadratussyaikh Muhammad Hasyim Asy’ari atau lebih akrab dipanggil Kiai Hasyim merupakan representasi dari kondisi dialogis agama dengan tradisi dan budaya. Islam bukan hanya berkutat pada kesalehan ritualistik semata, tetapi lebih jauh sebagai sarana pemecah jalan buntu berbagai anomi sosial.
Sosok kiai asal Jombang dan peletak dasar Nahdlatul Ulama ini merupakan ulama yang mempunyai diskursus perjuangan yang interdisipliner. Baginya, ulama bukan hanya menjadi ”penjaga malam” umat lewat ajaran yang berkutat pada halal-haram, seperti kebanyakan ulama zaman sekarang. Menurut dia, ulama adalah mereka yang mampu menyintesiskan perjuangannya pada konteks sosial. Ulama bukan hanya memimpin umat, tetapi juga memberdayakan dan memberikan pencerahan kepada umat.
Buku Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari: Moderasi, Keumatan, dan Kebangsaan tidak hanya mengetengahkan sejarah hidup Kiai Hasyim, tetapi juga pemikiran dan kisah-kisah menarik yang menjadi oral history dari masa ke masa. Melihat kondisi dewasa ini, rasanya sulit mencari pengganti Kiai Hasyim. Baginya, tarekat untuk dekat dengan Tuhan tidak melulu menggunakan ibadah mahdh. Tarekat sebenarnya adalah menciptakan masyarakat yang damai, sejahtera, dan senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai kebangsaan.
Perjuangan dan moderasi
Yang menjadi pokok pemikiran Kiai Hasyim adalah bulir-bulir moderasi Islam yang dibingkai dengan kearifan lokal. Said Aqil Siradj (2009) memandang, ada sesuatu yang menarik dalam kubah pemikiran Kiai Hasyim. Pengetahuan agama yang didapat di Mekkah tidak serta-merta menjadikan Kiai Hasyim mengusung paham Wahabi yang cenderung puritan dalam beragama dan menolak berbagai tradisi lokal.
Salah satu tindakan moderatif Kiai Hasyim ditunjukkan ketika menerima kemajemukan sebagai realitas sosial-budaya dan sosial-politik bangsa ini. Sejatinya, dengan menerima kemajemukan, berarti mengakui bahwa negeri ini terdiri dari entitas-entitas agama, kesukuan, dan tradisi yang diferensiatif. Islam merupakan agama yang rahmatan lil ‘alamin, tidak hanya memberikan pencerahan bagi umatnya, lebih luas, juga menumbuhkan zeitgeist (semangat zaman) bagi segenap masyarakat Nusantara.
Kiai Hasyim menitikberatkan perhatiannya pada dunia pendidikan. Perjuangannya makin menguat setelah mendirikan Pesantren Tebuireng. Tak bisa dimungkiri, pesantren ini merupakan salah satu mahakarya Kiai Hasyim. Di lembaga pendidikan ini, Kiai Hasyim mencetak santri-santri yang siap berjuang dan berkarya di tengah masyarakat. Dalam mengajar, komitmen akan pentingnya kemandirian dan kepemimpinan sangat besar. Hal ini dibuktikan Kiai Hasyim dengan terlibat secara aktif dalam kegiatan koperasi, sebagai sarana perangsang ekonomi kerakyatan.
Kiai Hasyim bukanlah ahli agama yang hanya menyandarkan segala gerakan dan pemikirannya harus sesuai dengan dalil keagamaan. Dia juga menerima segala unsur baru di luar bingkai hukum agama yang positif, yang semakin memperkaya pilihan-pilihan akan instrumen perjuangan, baik itu yang sifatnya perjuangan fisik maupun perjuangan atas kebodohan.
Hal ini tecermin ketika menerima pengajaran bahasa Inggris dan bahasa Belanda yang merupakan inisiatif dari putranya, KH Abdul Wahid, yang merupakan ayah dari mendiang Gus Dur. Tindakan ini sesuai dengan kaidah fiqih yang berbunyi: al-muhafazah ‘ala qadimi ash-shalih, wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah.
Kiai Hasyim juga mampu memecah stigmatisasi hitam yang mengatakan, ulama pesantren adalah mayoritas diam (silent majority). Baginya, ideologi Islam harus mampu ikut serta dalam membangun kehidupan bernegara. Golongan pesantren, walaupun berjuang dalam ranah kultural dan terkesan berada dalam kabut, tetaplah merupakan kekuatan masyarakat. Perjuangan bukan hanya mengangkat senjata, tetapi juga mampu menciptakan, meminjam istilah Habermas, budaya komunikatif.
Budaya komunikatif mensyaratkan adanya dialog khusus antara penguasa dan rakyatnya. Dalam konteks perjuangan Indonesia pada tahun-tahun sebelum kemerdekaan, budaya komunikatif menjadi ajang elaborasi para kiai dengan para elite nasionalis yang banyak bernegosiasi dengan pihak penjajah.
Dalam menciptakan budaya komunikasi yang baik, tentu disyaratkan penguasaan ilmu dan kepribadian yang dewasa. Nah, NU yang berposisi sebagai corong masyarakat akar rumput mempunyai kelebihan dalam hal ini. Prinsip moderasi yang dianut NU mampu menembus batas setiap perbedaan kesukuan. Terbukti, gerakan NU mampu melebarkan sayapnya ke seantero Nusantara dan menjadikan organisasi ini sebagai organisasi Islam terbesar di dunia saat ini.
Secara umum, NU mempunyai sebuah paradigma pemikiran yang dirumuskan dalam lima hal. Pertama, pola pikir moderat, artinya NU senantiasa bersikap seimbang dan moderat dalam menyikapi berbagai persoalan. NU tidak ekstrem kanan dan tidak pula ekstrem kiri. Kedua, pola pikir toleran, artinya NU dapat hidup berdampingan secara damai dengan pihak lain meskipun akidah, cara pikir, dan budayanya berbeda.
Ketiga, pola pikir reformatif, artinya NU senantiasa mengupayakan perbaikan menuju arah yang lebih baik. Keempat, pola pikir dinamis, artinya NU senantiasa melakukan kontekstualisasi dalam merespons berbagai persoalan. Kelima, pola pikir metodologis, artinya NU senantiasa menggunakan kerangka berpikir yang mengacu pada manhaj yang telah ditetapkan oleh NU.
Komprehensif
Penyajian buku ini sangat komprehensif karena tidak hanya mengedepankan historisitas Kiai Hasyim, tetapi juga ajaran Islam moderatnya. Penulis menambahkan berbagai muatan yang memperkaya pemahaman keagamaan lewat mutiara-mutiara yang diperas langsung dari kitab karangan Kiai Hasyim, seperti ajaran tentang pentingnya menjaga tali persaudaraan yang disarikan dari kitab at-Tibyan: fin Nahyi ‘an Muqhata’atil Arham wal Aqarib wal Ikhwan (hal 238).
Menurut Kiai Hasyim, bahwa seorang Muslim sejatinya harus membangun persaudaraan yang tulus. Jika ada hal-hal yang dapat menghambat persaudaraan, sejatinya bisa dihindari dengan cara membangun komunikasi persahabatan.
Begitu pula muatan reflektif-edukatif sangat menonjol dalam karya ini. Para pembaca tidak hanya diajak bernostalgia dalam alur tutur perjuangan Kiai Hasyim. Tetapi, kekuatan dari buku ini adalah refleksi keagamaan yang diembuskan lewat kaidah-kaidah fiqih yang menghiasi hampir setiap halaman.
Kelemahan buku ini terletak pada pembahasan tentang pemikiran Hadratussyaikh yang terlampau singkat. Misalnya, pembahasan paradigma Ahlussunnah wal Jamaah yang semestinya dapat dibedah secara lebih detail, terutama apa yang membedakan antara NU dan kelompok-kelompok Muslim lain. Apalagi di tengah pasar pemikiran yang menyajikan paham Ahlussunnah wal Jamaah pula sehingga terasa sulit untuk membedakan antara versi NU dan non-NU.
* Johan Wahyudi, Mahasiswa Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Sumber: Kompas, Minggu, 28 Maret 2010
No comments:
Post a Comment