Judul Buku: Konstitusi Ekonomi
Penulis: : Prof Dr Jimly Asshiddiqie SH
Penerbit: Kompas Media Nusantara
Cetakan: Pertama, 2010
Tebal: xvi dan 440 halaman
SELAMA ini studi tentang konstitusi lebih banyak menghampiri masalah konstitusi politik. Karya Strong (1966) tentang Konstitusi-Konstitusi Politik Modern misalnya. Sementara itu, kajian konstitusi ekonomi relatif jarang disentuh. Studi ini berupaya menjembatani kesenjangan antara demokrasi ekonomi dan demokrasi politik dalam perspektif demokrasi konstitusional. Selain menjadi pelopor, buku ini membuka jalan bagi kajian konstitusi di bidang lain seperti konstitusi lingkungan dan konstitusi sosial.
Realisasi demokrasi politik dan ekonomi telah lama jadi perhatian para founding leader. Bahkan, di antara Soekarno dan Hatta yang -secara pemikiran- dibesarkan dalam tradisi sosialis terdapat perbedaan pemikiran yang cukup tajam.
Di satu pihak, Soekarno berpendapat bahwa demokrasi politik saja tidak cukup tanpa demokrasi ekonomi -kedaulatan ekonomi di tangan rakyat. Soekarno (1963) menyatukan demokrasi politik dan demokrasi ekonomi sekaligus dalam suatu konsep, yaitu demokrasi sosial. Soekarno kurang yakin demokrasi liberal dapat mewujudkan demokrasi ekonomi. Pasalnya, ketimpangan struktur ekonomi warisan kolonialisme dan feodalisme menghambat munculnya tatanan demokrasi. Bagi Soekarno, menciptakan demokrasi ekonomi dan politik sekaligus memerlukan perubahan sosial fundamental, yakni merombak susunan masyarakat melalui jalan revolusi.
Di pihak lain, Hatta percaya demokrasi politik dapat jadi sarana transformasi untuk mewujudkan demokrasi ekonomi. Hatta menjadi pendukung demokrasi liberal. Sebaliknya, Soekarno menjadi pengecam demokrasi liberal. Hatta menentang revolusi, sedangkan Soekarno mendukung program revolusi.
Singkat kata, menurut Wertheim (1976), perubahan sosial di Indonesia baru mengalami tahap revolusi nasional -terusirnya kaum penjajah oleh penduduk pribumi- tapi belum pernah mengenyam suatu revolusi sosial -jebolnya tatanan sosial lama. Tentu saja pilihan ''metode'' evolusi dan revolusi dalam merealisasikan demokrasi politik dan ekonomi di masa lalu hanya dapat dipahami dalam konteks era perang dingin, saat persaingan kepentingan dan ideologi berlangsung sengit. Sekarang, seperti diyakini buku ini, kebanyakan negara demokrasi modern menganut demokrasi konstitusional -demokrasi berdasar konstitusi/hukum tertinggi- cenderung menempuh jalan evolusi ketimbang revolusi.
Ilmuwan politik Robert Dahl (1985) misalnya, menekankan realisasi demokrasi ekonomi tidak bisa dilakukan hanya pada tataran makro, tetapi juga pada tingkat mikro (perusahaan). Dahl mengemukakan gagasan untuk mengembangkan sebuah tatanan ekonomi yang berisi sejumlah ''self governing enterprises'' agar tercipta kecocokan di antara demokrasi dan tatanan ekonominya.
Kajian konstitusi ekonomi jadi penting karena selama ini kebijakan ekonomi nasional dan daerah didominasi pendekatan ekonomi. Konstitusi belum dijadikan rujukan sistem perekonomian nasional. Kalaupun perumusan UU selama Orde Lama dan Orde Baru banyak mengutip pasal 33 dan 34 UUD 1945 sebagai dasar kebijakan ekonomi, substansinya bertolak belakang dengan semangat konstitusi. Singkat kata, perujukan konstitusi dalam UU terkait perekonomian hanya bersifat formalistis (viii).
Kontitusi ekonomi berarti konstitusi memuat kebijakan ekonomi. Kebijakan itu akan memayungi dan memberikan arahan bagi perkembangan kegiatan ekonomi suatu negara. Dengan begitu, konstitusi ekonomi bermaksud menciptakan ekonomi konstitusi -perekonomian yang konstitusional. Konstitusi ekonomi sekurang-kurangnya mengatur, (1) tentang penguasaan dan kepemilikan kekayaan sumber daya alam sebagai warisan kehidupan; (2) tentang konsepsi hak milik perorangan; (3) mengenai peranan negara dan perusahaan negara dalam kegiatan usaha.
Sebelum amandemen UUD 1945 dilakukan, sebuah UU tidak dapat diuji. Pasalnya, mekanisme menguji konstitusionalitas undang-undang (UU) belum tersedia. Akibatnya, sebuah UU tidak dapat diganggu gugat kecuali DPR sendiri merevisi UU tersebut (legislative review). Penulis mencatat, selama 60 tahun belum pernah ada kebijakan ekonomi dipaksa tunduk kepada UUD 1945. Dengan kehadiran Mahkamah Konstitusi (MK), konstitusionalitas UU yang terkait dengan kebijakan ekonomi dapat diuji. Sekarang para perumus kebijakan di bidang ekonomi harus memerhatikan rambu-rambu konstitusi ekonomi (hlm. 56).
Penulis yang mantan ketua MK bersikap realistis dan melihat bahwa tiada sistem ekonomi yang sempurna. Sosialisme ataupun kapitalisme-liberalisme memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Runtuhnya negara-negara komunis menjadi bukti kelemahan sosialisme. Begitu pula krisis ekonomi yang melanda negara-negara liberal-kapitalis menunjukkan sistem tersebut belum sempurna. Sekarang tidak ada suatu negara menganut sosialisme atau liberalisme-kapitalisme murni. Mengutip pendapat Peter Berger, sistem ekonomi suatu negara cenderung lebih kapitalis atau lebih sosialis ketimbang yang lain. Misalnya, Korea Utara lebih sosialis jika dibandingkan dengan Korea Selatan, Swiss lebih kapitalis daripada Swedia, dan sebagainya.
Perekonomian di berbagai negara saat ini cenderung berpola campuran (mix economy). Salah satu ciri model perekonomian campuran adalah struktur kepemilikannya beragam: perorangan, koperasi, negara, dan sosial. Menurut Dahl, struktur kepemilikan beragam membuat dikotomi sosialisme dan kapitalisme menjadi kurang relevan lagi. Dalam pengamatan penulis, model ekonomi Inggris, Prancis, dan beberapa negara Eropa Barat lainnya menerapkan kapitalisme pasar terencana (planned market capitalism). Sementara Jerman, Belanda, Belgia, dan sejumlah negara Skandinavia menerapkan kaptalisme pasar sosial (social market capitalism) (hlm. 356). Penulis sendiri memberi istilah ekonomi pasar konstitusional (constitutional market economy).
Menurut buku ini, kata kunci untuk mewujudkan demokrasi ekonomi adalah membangun kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum yang dimulai dari peradilan. Secara normatif, jika substansi UU dan peraturan di bawahnya tegak lurus dengan semangat konstitusi disertai proses penegakan hukum yang menjamin independensi, ketidakberpihakan, profesionalitas, dan integritas dari para hakim dan aparat penegak hukum, secara perlahan demokrasi ekonomi akan dapat diwujudkan.
Justru di sini titik persoalan sekaligus tantangannya. Masih maraknya kasus korupsi dan terungkapnya kasus-kasus mafia peradilan menunjukkan usaha membangun kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum masih membutuhkan waktu yang lama.
Kehadiran buku ini patut diapresiasi dalam kerangka perubahan sosial yang lebih luas, yaitu memenuhi amanat konstitusi mewujudkan masyarakat adil, makmur, dan sejahtera dalam perspektif demokrasi konstitusional. (*)
Yudistira Adnyana, dosen FISIP Universitas Ngurah Rai di Denpasar
Sumber: Jawa Pos, Minggu, 28 Maret 2010
No comments:
Post a Comment