TIDAK banyak orang seperti perupa Gigih Wiyono (43). Atau mungkin dia satu-satunya yang mengkritik dan mengeksplorasi persoalan universal dengan penuh cinta.
Ka r y a seni rupa karya Gigih Wiyono dipamerkan di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (28/10). Pameran bertema "Rumah Cinta" tersebut akan berlangsung hingga 6 November 2010. (KOMPAS/WISNU WIDIANTORO)
Dibuka pasangan cinta Frans Tumbuan dan Rima Melati, yang pernah bermain dalam film Pondok Cinta pada 1980-an dan sukses, pameran Gigih Wiyono bertajuk ”Rumah Cinta” di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (28/10), cukup mengejutkan pengunjung.
Gigih menghadirkan patung- patung dan lukisan yang tidak saja unik, menggoda, eksotik dan menarik, tetapi juga sarat kritik. Hanya melalui idiom lingga, perupa peraih sejumlah penghargaan ini tak habis-habisnya melahirkan gagasan.
”’Rumah Cinta’ sebagai metafor tempat bersemayamnya benih yang seharusnya terus dijaga agar tidak tumbuh ’jamur’, bocor, atau bahkan dirawat orang lain karena kurang terurus, agar harmonis, setia, dan tetap produktif,” ujarnya.
Apa yang disampaikan Gigih dalam karya lukis dan karya patung, menurut Direktur Eksekutif Bentara Budaya Efix Mulyadi, menarik untuk dicermati dan direnungkan.
”Ia seorang perupa dari abad ke-21 yang terpikat oleh gagasan dan pencapaian dari kaum cerdik pandai yang hidup beberapa abad sebelumnya tentang cinta,” katanya.
Menurut Efix, seberapa gigih perupa Gigih Wiyono mengeksplorasi persoalan universal yang direngkuhnya lewat berbagai penelitian ke Candi Sukuh dan Candi Cheta bisa disimak pada pameran di Bentara Budaya Jakarta yang berlangsung hingga 6 November 2010.
Tegakkan lingga
Kurator Eddy Soetriyono mengatakan, dengan idiom lingga, Gigih tak hanya mengingatkan pentingnya ditegakkan lingga dalam soal kepemimpinan.
”Gigih juga mengingatkan, dengan lukisan ’Kakak Tua Mencari Cinta’ bahwa Garuda Pancasila telah tak dicintai lagi, telah dilupakan, telah diabaikan sehingga kepalanya yang lingga itu menjadi agak lunglai. Sekaligus meliuk bagai ular ganas hendak mencari mangsa,” paparnya.
Selain itu, dengan lingga, Gigih hendak memberi tanda bahwa agar berdiri Rumah Cinta yang sejati, lingga mesti dikembalikan kepada khitahnya bahwa ia punya fungsinya sendiri yang berbeda dengan yoni. (NAL)
Sumber: Kompas, Jumat, 29 Oktober 2010
No comments:
Post a Comment