Saturday, October 30, 2010

Jangan Takutkan Bahasa 'Alay'

GORONTALO (Ant/Lampost): Seorang pemerhati linguistik mengimbau kalangan pendidik tidak gelisah berlebihan karena menganggap perkembangan bahasa alay dapat merusak bahasa Indonesia.

"Bahasa alay yang kian banyak digunakan oleh generasi muda Indonesia ini hanya punya syarat mengancam dan merusak bahasa Indonesia, apabila digunakan pada media yang tidak pada tempatnya," kata Suleman Bouti dari Fakultas Sastra dan Bahasa Universitas Negeri Gorontalo, Jumat (29-10).

Bahasa kawula muda itu, menurut dia, akan mengancam bahasa Indonesia jika digunakan pada forum resmi, seperti seminar, perguruan tinggi, sekolah atau dalam tata cara surat menyurat resmi di perkantoran.

Namun, jika sekadar hanya digunakan sebagai bahasa pergaulan di media baru yang memilih cara interaksi baru, seperti jejaring sosial Facebook atau Twitter, tak ada alasan untuk mengkhawatirkan bahasa alay.

"Biarkan bahasa gaul itu berinteraksi pada tempatnya, malah, keberadaannya dapat memperkaya kajian para ahli linguistik," kata Suleman, yang tengah menyusun disertasi mengenai penggunaan bahasa gaul di jejaring sosial.

Oleh karena itu, kata Suleman, tidak perlu mengambil langkah berlebihan dalam melindungi bahasa Indonesia. "Bahasa Indonesia justru akan teruji dan berkembang sesuai zamannya, dengan adanya berbagai variasi bahasa di sekitarnya," ujarnya.

Menurut catatan Lampung Post, bahasa alay merupakan singkatan dari anak layangan, anak lebay, anak layu, dan anak kelayapan yang dihubungkan dengan anak jarang pulang. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan anak yang merasa keren dalam berbusana, musik, dan tingkah laku secara umum.

Kepala Kantor Bahasa Lampung Muhammad Muis mengatakan fenomena bahasa gaul dan bahasa alay muncul sejak 1970. Ketika tahun 1970-an, muncul istilah cutbrai untuk celana yang melebar di bagian kaki. Kemudian, bahasa gaul berkembang dengan banyaknya pelesetan.

Singkatan dan pantun dipelesetkan dengan maksud sindiran. "Misalnya, UUD dipelesetkan menjadi �ujung-ujungnya duit�. �Sambil menyelam minum air� menjadi �sambil menyelam minum kopi�," kata Muis, beberapa waktu lalu.

Menurut Muis, bahasa gaul muncul karena kepentingan kelompok. Misalnya, kelompok gay atau lesbian memiliki bahasa tertentu yang hanya dimengerti oleh mereka. Perkembangan teknologi juga memacu munculnya bahasa alay. "Situs jejaring sosial, seperti Facebook, Twitter, dan Friendster, menjadi tempat anak muda berkomunikasi dalam bahasa alay. Bahasa alay makin berkembang karena orang cenderung mengikuti tren bahasa yang ada," kata Muis.

Di sisi lain, Ketua Program Studi Indonesia Universitas Indonesia M. Josephine Mantik dalam makalahnya berjudul Bahasa alay merusak bahasa Indonesia menyampaikan awal 2000 menjadi titik penting perkembangan bahasa Indonesia, yaitu mulai dikenalnya istilah bahasa gaul, terutama di kalangan anak muda.

Menurut dia, kemajuan teknologi komunikasi turut mendorong perkembangan bahasa. Media cetak dan elektronik juga berperan penting dalam perkembangan bahasa dan maraknya situs jaringan sosial dunia maya yang ikut memicu munculnya ragam bahasa tersendiri.

Josephine menilai masyarakat pengguna internet memanfaatkan bahasa gaul untuk berkomunikasi secara online. Pengguna bahasa gaul pun tumbuh subur di dunia maya. "Konon asal usul alay diartikan sebagai anak kampung karena mereka rata-rata berambut merah dan berkulit sawo gelap karena kebanyakan main layangan," kata Josephine dalam diskusi di Jakarta, Sabtu (9-10).

Menurut dia, maraknya penggunaan bahasa alay menandakan bahasa tersebut diterima masyarakat luas. Di sisi lain, banyak kalangan menilai bahasa alay mengakibatkan bahasa Indonesia tumbuh tanpa arah. Ini merupakan hal rawan apabila dibiarkan tanpa rambu. "Bahasa alay menyebabkan masyarakat, khususnya generasi muda melupakan kaidah berbahasa," ujarnya. (S-1)

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 30 Oktober 2010

No comments: