-- Silvester Petara Hurit
MANUSIA tak luput dari ancaman kebinasaan. Alam dan waktu menjadi realitas yang kadang begitu mencekam. Psikoanalis Otto Rank bicara tentang ketakutan manusia. Bahwa seluruh hidup manusia terombang-ambing di antara dua ketakutan yaitu ketakutan kehidupan dan ketakutan kematian.
Piramid Mesir atau obsesi bangsa Maya terhadap astronomi termasuk ritus pengorbanan besar manusia misalnya menyiratkan ketakutan atau kecemasan tertentu terhadap kebinasaan. Hasrat untuk meraih kekekalan adalah dambaan besar manusia.
Kecemasan tersebut kemudian membuat kisah tragedi menemukan eksistensinya di dalam kehidupan manusia. Jatuhnya pahlawan di dalam kisah tragedi klasik memberi penguatan bagi manusia dan masyarakat. Pengertian atau penyadaran sang tokoh (pahlawan) terhadap kejatuhan atau takdirnya memberi efek peneguhan. Model yang ideal dari bagaimana menyikapi kenyataan tragis dari hidup. Upaya pemaknaan membantu meredakan ketegangan akibat kecemasan dan keputusasaan hidup.
Tragedi dan kisah tragedi lantas menjadi alat ampuh dalam proses transformasi manusia dan masyarakat. Tragedi merangsang kewaspadaan dan kreativitas. Memaksa manusia menggali kemungkinan-kemungkinan kreatif, memikirkan langkah-langkah antisipasi dan tindakan-tindakan penguatan diri.
Kebudayaan Yunani klasik dirawat oleh drama-drama tragedinya yang memukau. Kisah perang Troya, tragedi Padang Kurusetra di dalam kisah Mahabrata menjadi acuan dan arah pandang sampai saat ini. Kisah akhir zaman, kiamat dan ramalan 2012 misalnya, meminjam Rollo May, "ibarat layar yang merupakan kutub obyektif untuk membangkitkan proses subjektif kesadaran". Rangsangan bagi individu untuk melihat ke dalam, menggerakkan imaji kreatifnya. Berbicara dengan diri, berkonsultasi dengan intuisi dan kebijaksanaannya ketika menghadapi kejadian-kejadian tragis yang membayang di depan matanya.
Kisah tragedi merupakan sajian dramatis yang memantik kreativitas. Lukisan dinding prasejarah di Gua Lascaux Prancis dan lukisan Surga Tlalok memperlihatkan bagaimana manusia Cro-Magnon dan bangsa Maya Kuno memandang ke masa depan secara kreatif. Monumen-monumen seperti Piramid Matahari di Amerika Tengah, Gerbang Singa di Mycena, Stonehenge di Inggris, Kuil Hindu di Neasden, Masjid Kubah Emas di Yerusalem merekam dambaan dan kreativitas manusia merengkuh keagungan dan kekekalan.
Kisah tragedi senantiasa lahir dari kenyataan sosial (obyektif). Negara Kota Yunani yang senantiasa bergejolak kemudian melahirkan banyak karya agung. Patung Apollo dengan mata awas, mata waspada menjadi salah satu contohnya. Perang Troya yang panjang dan mengerikan telah menjelma menjadi puisi indah di tangan seorang Homerus.
Tragedi aktual
Republik ini adalah sebuah panggung tragedi. Bencana alam, tragedi kemanusiaan, kebudayaan, sosial, politik jadi realitas keseharian kita. Mentalitas dan praktik buruk pengelolaan negeri ini mewabah, menjangkiti semua bidang kehidupan. Ironisnya realitas objektif (aktual) tersebut tidak malah menumbuhkan etos kreatif tetapi sebaliknya memperlihatkan konsumerisme dan selingkuh kepentingan yang terus menguat di kalangan elite pengelola negeri ini.
Tragedi aktual belum sepenuhnya ditransformasikan menjadi karya bagi penguatan dan kebangkitan mentalitas manusia dan masyarakat. Kehancuran dahsyat tsunami Aceh beberapa tahun lalu belum sampai mencuatkan karya kreatif individu yang membetot hati dan pikiran, menyeruakkan kegentaran, mencekam dan menghujam ke inti kemanusiaan dan dasar kesadaran terdalam.
Tragedi atau irasionalitas buruk dari kenyataan aktual justru kerap melahirkan respons sentimentil yang banal dan bahkan destruktif. Saling umpat, menghujat, tuding-menuding, proyeksi kesalahan sering dipertontonkan bahkan oleh para petinggi di negeri ini. Pembakaran, perkelahian, dan pengrusakan sudah merupakan bahasa protes yang lazim dalam demonstrasi-demonstrasi kita. Pengejaran, penggusuran terhadap kaum kecil seperti pedagang asongan sudah jadi kamus solusi pelbagai permasalahan sosial kita.
Kebutuhan hidup konkret sehari-hari, ketakutan akan ketidakmampuan meraih hidup yang lebih layak mendatangkan semacam rasa frustrasi. Identifikasi dengan figur-figur gemerlap seperti para selebriti dengan menduplikasi segala atributnya adalah sebentuk tindakan moderasi agar terhindar dari rasa putus asa. Ketidakmampuan mengelolah kenyataan konkret yang aktual lantas membuat orang menghablur ke kerumunan, memadati mal belanja, menggandrungi tayangan gosip dan lagu-lagu cengeng, membentuk kelompok geng tawuran dan aneka bentuk tindakan konsumtif-destruktif yang lainnya.
Inspirasi kreatif
Di Eropa pasca-Perang Dunia I ketika industrialisme dan kondisi mekanik (dunia mesin) menjadi sangat kuat, muncul gerakan ekspresionisme di bidang kesenian. Manusia ekspresionis bangkit mengawal dunianya, melakukan oposisi diametral terhadap dampak degradasi akibat dari mekanisasi yang melanda kehidupannya. Mencuat nama-nama seperti: Georg Kaiser, Ernst Toller, Bertolt Brecht, Karl Capek dan Sean O` Casey dengan karya-karyanya yang mendunia.
Idealnya, cekaman kesulitan dan kekacaubalauan realitas kita menjadi medan dan inspirasi pergumulan kreatif bagi lahirnya karya-karya besar. Tragedi aktual belum dapat dimanfaatkan dan ditransformasikan menjadi kisah atau monumen tragedi. Acuan bagi bangkitnya keterjagaan kolektif. Keterjagaan yang memantik aksi dan geliat kreativitas karya.
Malah sebaliknya kecemasan dan ketakutan terhadap hidup membuat kita begitu mudah marah dan mengagresi orang lain. Bahkan bunuh diri menjadi fenomena yang kian marak belakangan. Ini mengindikasikan lemahnya imaji kreatif kita. Bangsa yang lemah imaji kreatifnya, tidak punya daya hidup, cenderung menjadi konsumtif, sadistik, dan gampang putus asa.
Kisah tragedi adalah salah satu produk kreativitas yang memperlihatkan suatu visi hidup ke masa depan. Ia bukan respons sesaat melainkan kristalisasi dari pergulatan yang intens terhadap bencana, malapetaka, kengerian, dan kegetiran. Transendensi dan refleksi yang panjang dari ketidakutuhan hidup. Kisahnya adalah ramuan pahit yang berkhasiat menyembuhkan. Memberi cahaya kesadaran dan pengetahuan. Insight baru lewat cerita-cerita kejatuhan atau malapetaka.
Pada kisah tragedi ada tantangan, perjuangan, keteguhan, pengertian, dan kesadaran. Kegetiran, kejatuhan, dan bencana membuat berpikir, merangsang imaji, dan daya bayang. Menagih keberanian untuk cemplung ke dalam penderitaan. Menggeluti supaya bisa melihat esensi makna yang tersembunyi di baliknya. Aristoteles menyebut akhir dari kejatuhan sang pahlawan di dalam tragedi klasik sebagai "perubahan dari ketidaktahuan menuju kesadaran atas ikatan cinta dan benci".
Multidimensi krisis, bencana bertubi-tubi dapat mengawali sejarah baru kebangkitan. Kita bisa punya disposisi batin dan ketahanan mental yang lebih kuat menghadapi aneka persoalan yang menghadang di depan. Asal tidak lari dari dari realitas keterpurukan. Senantiasa bergairah menyetubuhinya. Menghasrati kedalamannya sehingga dapat melampauinya. Setiap individu punya tugas menarik ke dalam dirinya segala persoalan obyektif (eksternal), menginternalisasi, memberinya bentuk agar kemudian mengembalikannya sebagai acuan. Sumbangan atau kontribusi individu bagi arah pandang manusia dan masyarakat.
Silvester Petara Hurit, esais, pengamat seni pertunjukan
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 31 Oktober 2010
No comments:
Post a Comment