-- Yosi Muhaemin
APA yang istimewa dalam karya sastra, isi atau kulitnya? Jika mengikuti konsep formalisme Rusia dan kaum strukturalisme, perhatian utamanya jelas pada kulitnya, yang biasanya tampak pada unsur-unsur semacam rima, ritma, irama, bait, serta persajakan dalam puisi. Atau tokoh, plot, latar dalam prosa fiksi. Aksentuasi terhadap unsur-unsur kulit inilah yang sering menjadi fokus utama pembelajaran sastra di sekolah-sekolah menengah (SMP dan SMA). Sementara itu, unsur isi (makna), justru dinomorduakan, bahkan diabaikan karena instrumen penilaian dalam pembelajaran sastra mensyaratkan adanya kunci jawaban yang objektif supaya nilai valid.
Mengapresiasi karya sastra merupakan masalah tafsir, sementara sastra bersifat multitafsir. Tafsiran pembaca satu dengan pembaca lain akan berbeda, tergantung pada pengalaman dan wawasan pembacanya. Seringkali pendidik (guru) memberikan pemahaman yang dangkal bahwa semua tafsiran adalah sah dan benar. Celakanya, hal ini dimengerti peserta didik sebagai main-main belaka. Jika sudah menganggap sastra dapat dimaknai secara sembarangan, yang muncul adalah persepsi yang �negatif� terhadap karya sastra. Dengan kalimat lain, peserta didik akan menganggap bahwa pelajaran sastra tidak lebih penting dibanding ilmu lain yang sederajat semisal Sejarah atau Sosiologi.
Kurikulum yang dijabarkan dalam setiap silabus, baik untuk SMP maupun SMA, nyatanya belum memberikan ruang yang memadai bagi bangkitnya kesusastraan Indonesia yang bebasis sekolah, terutama dalam aspek penulisan sastra kreatifnya. Untuk SMA saja, dalam satu semester, pembelajaran sastra hanya dialokasikan waktu 26 jam, sementara pembelajaran bahasanya 40 jam. Dalam pembelajaran sastra, alokasi waktu paling banyak adalah kemampuan mendengarkan sastra, 8 jam, sedangkan alokasi paling minim, kemampuan menulis sastra, hanya 6 jam. Kondisi yang tidak seimbang ini diperparah dengan tidak adanya komunikasi antara guru dan para kreator (sastrawan/budayawan).
Pembelajaran Melibatkan Sastrawan
Ada banyak karya sastra yang dijadikan referensi bagi pembelajaran sastra, yang pada umumnya adalah karya-karya sastrawan angkatan Balai Pustaka, Pujangga Baru, Angkatan �45, dan Angkatan �66. Sedangkan angkatan setelah �66, sedikit yang menjadi bahan pembelajaran. Padahal pengetahuan tentang perkembangan karya sastra tidak dapat diputus hanya pada generasi tertentu, tetapi perlu ditelusuri hingga karya-karya kontemporer, yang terkini. Jika tidak, yang terjadi adalah pembelajaran sastra yang ahistoris, peserta didik hanya akan menjadi pembaca karya-karya klasik yang gagap memaknai karya sastra baru. Pertanyaannya kemudian, dapatkah karya-karya terbitan baru menjadi bahan pembelajaran di sekolah?
Ada beberapa alasan mengapa karya-karya baru tidak atau ragu-ragu untuk dijadikan bahan pembelajaran. Pertama, kesulitan pendidik dalam memahami makna dalam sebuah karya sastra. Hal ini disebabkan banyaknya karya-karya sastra yang menyembunyikan makna di balik simbol-simbol unik, yang dapat ditemukan maknanya jika pembacanya memiliki dasar teori dan pengetahuan yang memadai mengenai karya sastra kontemporer. Kedua, kesulitan peserta didik mendapatkan buku-buku sastra terbaru. Hal ini biasanya disebabkan minimnya koleksi perpustakaan tentang bacaan sastra.
Kedua, masalah di atas sebenarnya dapat diatasi jika setiap unit dalam bidang pendidikan benar-benar konsekuen membangun character building, di mana salah satu media penempanya dengan mempelajari karya sastra. Dalam hal ini, solusi yang dapat ditawarkan adalah membangun komunikasi intelektual antara sastrawan dan pendidik dan peserta didik. Ada banyak sastrawan lokal dalam setiap provinsi, bahkan kabupaten, mengapa itu tidak dimanfaatkan sebagai upaya menjembatani keawaman para akademisi?
Masalah yang lain, yang juga tidak kalah pentingnya dalam pembelajaran sastra, ialah minat guru Bahasa dan Sastra Indonesia dalam penelitian. Selama ini, tenaga pendidik hanya dilatih untuk bagaimana mereka mentransfer materi dan melakukan evaluasi belaka, di mana acuan utamanya hanya sebatas silabus, modul, atau buku mata pelajaran yang sudah tersedia. Jika referensi para pendidik hanya itu-itu saja, pengetahuan dapat dikatakan terbatas. Semestinya, para guru bahasa dan sastra Indonesia akif membaca karya-karya sastra hingga perkembangannya yang terbaru. Selain itu, mereka perlu mengapresiasi karya-karya itu dengan riset kecil-kecilan. Sehingga dari hasil riset itu, para guru mendapat tambahan ilmu dan media pembelajaran sastra yang tepat sesuai dengan konteks estetik dan etika sastra yang terbaru.
Sungguh sangat disayangkan jika lulusan SMA ternyata hanya tahu sajak Chairil Anwar, itu pun yang berjudul Aku. Atau hanya paham roman Siti Nurbaya karya Marah Rusli. Sementara sajak-sajak Afrizal Malna, Mustofa W. Hasyim, atau Joko Pinurbo, misalnya, tidak mereka ketahui. Adapun upaya yang dilakukan majalah Horison yang konon dijadikan �barometer� sastra Indonesia pun sebatas membantu menyemangati anak-anak sekolah untuk membaca sastra yang hanya ada dalam majalah itu. Sedangkan keterlibatan Horison dalam mereformasi kurikulum belum ada gaungnya.
Taufiq Ismail, misalnya, sebagai dedengkot majalah Horison, hanya mengkritik tentang minimnya daya baca siswa (masyarakat) kita terhadap sastra. Tetapi ia tidak menyadari bahwa persoalan daya baca juga persoalan konsumsi. Bagaimana siswa dapat membaca karya sastra terbitan baru, sementara harga setiap buku tidak cocok untuk saku mereka. Mereka tentu tidak mau dibebani dengan biaya tambahan hanya untuk memperoleh bacaan sastra, sementara biaya hidup dan sekolah mereka sendiri pun harus dipikirkan.
Butuh Buku Sastra Murah
Beberapa sastrawan dari daerah Surakarta mungkin dapat dijadikan teladan. Misalnya, penerbit indie semacam Pawon yang menerbitkan buku kumpulan cerpen Samin karya Kuspriyanto Namma. Buku tersebut berisi beberapa cerpen yang pernah terpublikasi di media cetak, baik lokal maupun nasional dengan harga jual seribu rupiah.
Pengadaan buku murah sangat perlu jika memang pemerintah berniat memperbaiki mutu pembelajaran sastra. Harapannya, dari buku murah tersebut, peserta didik dapat mengonsumsi buku-buku sastra terbaru tanpa harus terbebani harga yang tinggi. Celakanya, tabiat penerbit di Indonesia memang bermain ala kapital, di mana karya-karya sastra yang tergolong Best Seller dipatok harga hingga 50 ribuan ke atas. Harga tersebut tentu saja tergolong tinggi untuk ukuran masyarakat kita yang rata-rata hidup dalam kelas menengah ke bawah dengan upah minimum per hari di bawah satu dolar.
Dengan adanya buku sastra dengan harga murah, tentu saja tidak serta mengurangi kualitas kesastraannya. Pemahaman masyarakat kita selama ini bahwa rega nggawa rupa, yang artinya sesuatu yang berkualitas atau bagus pasti harganya mahal. Persepsi semacam ini tentu dapat diminimalisasi dengan kompensasi bahwa buku-buku sastra itu dikaji dan dipresentasikan kepada masyarakat sehingga akan diketahui sejauh mana bobot kesastraan suatu karya.
Dari tulisan ini, ada beberapa kesimpulan yang ingin saya sampaikan kepada sidang pembaca, salah satu kegagalan bangsa membangun karakter dan peradaban generasi disebabkan kelalaian terhadap hasil budaya (sastra). Kelalaian ini diperparah lagi masih minimnya inisiatif para tenaga pendidik bahasa dan sastra Indonesia untuk melakukan mini-research sebagai bahan pembelajaran di kelas. Imbasnya, peserta didik tidak mendapat petunjuk untuk mengapresiasi dan memahami lebih jauh tentang kekayaan sastra Indonesia yang berujung pada keawaman budaya. Jika kondisi semacam ini tidak segera diatasi, sastra Indonesia hanya diproduksi tanpa apresiasi, yang dapat menimbulkan kematian sastra itu sendiri. Tabik.
Yosi Muhaemin, Direktur Giri�s Writing Academy (Gowa) Pemalang
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 23 Oktober 2010
No comments:
Post a Comment